Barakallahu laka wa baarakaa alaika wajamaa bainakuma fii khoir192Please respect copyright.PENANA3HlmUT0VVE
(Mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik dalam suka maupun duka dan selalu mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan)
“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq.”
192Please respect copyright.PENANAcobg2R6jFA
Syaf berhasil mengucap kabul dengan lantang dan dalam satu nafas. Helaan nafas lega keluar dari mulutnya dan juga orang-orang yang sedari tadi ikut tegang menyaksikan prosesi akad Syaf dan Alysha.
Setelah doa bersama selesai, Alysha diantar oleh Dania dan Fida untuk duduk di samping Syaf. Mempelai wanita ini begitu anggun dengan gaun putihnya, selaras dengan warna pakaian yang Syaf kenakan.
Cincin pernikahan telah tersemat manis di jari keduanya. Dua orang yang siap melalui fase baru dalam kehidupan mereka. Bukan perkara mudah untuk bisa bertahan sampai di titik ini. Begitu panjang alur dari Allah untuk mempertemukan mereka dalam satu ikatan pernikahan.
Alysha mencium punggung tangan Syaf dengan khidmat. Surganya telah berada pada sosok laki-laki di depannya ini. Dulu, mereka sempat mencoba saling mengikhlaskan, namun rencana Allah begitu sulit diterka, bukan?
Syaf meletakkan tangan kanannya di puncak kepala Alysha dan memejamkan matanya, mengurai doa semoga kebaikan selalu bersama istri terkasihnya. “Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih.”
Alysha mengangkat kedua tangannya, meng-aamiin-kan apa yang imamnya semogakan. Air matanya mengalir seiring kebahagiaan yang bermuara di dasar hatinya.
Selesai dengan doanya kepada Sang Pemilik Hati, Syaf mengecup dahi Alysha dengan penuh ketulusan. Setelahnya, ia menangkup wajah Alysha yang tertutup sebagian oleh nikab dengan kedua tangan kekarnya. Alysha menatap tepat di mata Syaf. Begitu juga dengan Syaf yang menatap mata Alysha dalam, sepasang mata indah yang sering ia adukan pada Rabb-nya.
Syaf berkata pelan, “Terima kasih telah bersedia menjadi istriku, menjadi pendamping hidupku, dan menjadi ibu dari anak-anakku nanti. Akan aku bahagiakan kamu dengan apa yang aku bisa. Tetaplah bersamaku dan menjadi bidadariku, untuk dunia sampai ke surga-Nya.”
Sahabat dan kerabat hadir untuk memberi doa dan ucapan selamat. Semuanya menampilkan raut wajah kebahagiaan, tak kalah bahagia dengan sepasang pengantinnya.
“Selamat ya, Bro Syaf,” Jojo memeluk Syaf sebentar, “akhirnya nikah juga.”
“Makasih, Jo.” Ucap Syaf.
“Semoga cepet nyusul punya bayi juga, ya.” Ucap Nadia dengan perutnya yang sudah mulai membesar.
“Aamiin.” Syaf dan Alysha meng-aamiin-kan ucapan Nadia bersamaan.
Sebagai suami siaga, Jojo selalu berada di samping Nadia. Begitu juga Abigail yang selalu di samping Zivanna yang tengah hamil juga.
“Alysha!!!” Zivanna memeluk erat Alysha antusias.
“Ziv, baby-nya kegencet. Jangan kekencengann meluknya.” Ucap Abigail dari belakang Zivanna.
“Iya, maaf,” Zivanna mengurai pelukannya, “Selamat, ya, Lysh. Akhirnya nikah juga sama Syaf.”
“Makasih, Ziv.”
Zivanna adalah salah satu saksi perjalanan cinta Alysha. Mengenal sosok Zivanna sebagai sahabat rasa keluarga adalah anugerah yang tak henti ia syukuri.
“Wisnu gimana?” Tanya Abigail.
“Nggak bisa dateng, dia ada jadwal operasi.” Jawab Syaf.
“Kita doain, semoga hasilnya yang terbaik buat Wisnu.” Ucap Jojo.
Sheana datang dengan wajah cerianya, “Wah, lagi pada kumpul di sini ternyata.”
“Hay, Sheana.” Ucap Jojo.
“Hay, Mas Jo.”
“Oh ya, kafe kamu gimana, Na?” Tanya Abigail.
“Gitu deh, Pak. Masih banyak yang harus dibenahi. Tapi, sambil jalan aja. Mohon doanya, ya.”
Abigail mengangguk sebagai respons.
“Oh ya, Bang Syaf sama Alysha dicariin Ayah.” Ucap Sheana.
Syaf mengangguk merespons Sheana. “Makan dulu sana gih, gue ke Ayah dulu.” Ucap Syaf pada teman-temannya.
“Ibu-ibu hamil, makan yang banyak, ya,” Alysha mengusap lengan Nadia dan Zivanna, “inget, sekarang udah ada baby di perut.”
Dalam hati kecilnya, sebenarnya Sheana bertanya-tanya kenapa di hari sepenting ini Wisnu tidak hadir. Apa laki-laki itu sangat tidak ingin bertemu dengan dirinya? Tapi, apa salahnya? Bukankah seharusnya ia yang marah dan kecewa karena laki-laki itu hilang bak ditelan bumi tanpa memberi penjelasan?
Rasa bahagia juga tergambar jelas di wajah Dewi karena operasi putranya berjalan lancar. Apa yang Allah gariskan untuk Wisnu akan diketahui beberapa hari lagi.
“Terus berdoa ya, Bu. Semoga operasinya benar-benar berhasil.” Ucap seorang dokter.
“Iya, Dok. Terima kasih.” Ucap Dewi dengan senyum yang melekat pada wajahnya.
Dewi terus menatap putranya yang matanya tertutup perban. Tubuhnya bergerak tenang mengikuti setiap hembusan nafasnya.
“Andai kamu di sini, Mas,” Dewi berucap lirih, “kita bisa jaga Wisnu bareng-bareng. Aku butuh kamu.”
Tak ingin larut dalam rasa sepi yang menghampirinya, Dewi memutuskan pergi ke musala rumah sakit untuk salat dan bermunajat kepada Sang Maha Penyayang. Cukup lama ia bersimpuh menangis, hingga ia bangkit melepas mukena setelah kantung matanya ia rasa mulai bengkak.
Sampai di ruang rawat inap Wisnu, Dewi sedikit terkejut mendapati seorang pria dengan punggung kokohnya berdiri tegap di samping ranjang Wisnu. Pria itu nampak sedang mengamati Wisnu dalam diamnya.
“Permisi?” Ucap Dewi.
Mendengar suara Dewi, pria itu membalikkan badannya, sempurna menghadap Dewi.
“Assalamualaikum.” Pria itu memberi salam dengan senyum indahnya.
“Waalaikumsalam,” Dewi menutup mulutnya tak percaya, “Mas Bima?”
“Apa kabar?” pria itu berjalan mendekati Dewi masih berdiri kaku di tempatnya. “Maaf, aku baru pulang.”
Bima mendekap Dewi erat, menyalurkan kerinduan yang selalu tertahan waktu dan jarak. Dewi tak bisa menahan tangisnya lagi dalam dekapan suaminya yang sudah lama tak ia jumpai secara langsung.
“Kamu pulang, Mas. Akhirnya kamu ada di sini.” Ucap Dewi di sela tangisannya.
“Maaf,” Bima mengeratkan pelukannya, tak ingin meninggalkan keluarganya lagi, “maafin aku.”
Selama ini Bima terlalu sibuk dengan perjalanan bisnisnya yang mengharuskan dia keliling dunia. Sosok workaholic satu ini, bukannya tak peduli dengan keluarganya. Justru, ia amat menyayangi keluarganya. Ia tak ingin keluarganya kesulitan dengan cara menumpuk harta benda. Namun, perlahan ia sadar. Apa yang ia miliki di dunia ini hanya sementara karena semuanya sebatas titipan dari Yang Maha Kuasa.
Sekian lama ia tak menginjakkan kakinya di Indonesia. Hingga tiba saat di mana Dewi memberitahunya tentang keadaan Wisnu. Bima sangat terpukul dan kecewa terhadap dirinya sendiri. Tapi apa boleh buat? Waktu tak bisa diputar lagi. Namun, bukankah dalam setiap kesalahan ada kesempatan untuk memperbaiki?
“Mulai detik ini, aku akan ada di sini. Aku, kamu, Wisnu. Aku akan belajar jadi suami dan ayah yang baik.”
Dewi mengangguk dalam dekapan Bima sebagai jawaban.
Berbeda dengan keluarga Wisnu, keluarga Sheana tengah dihujani kebahagiaan setelah kedatangan Alysha di rumah mereka sebagai istri Syaf. Sheana terus menempel pada Alysha yang entah sejak kapan sudah ia panggil dengan ‘Mbak Alysha’.
“She, kamu jangan nempel-nempel Alysha terus, dong,” Fida mencubit gemas pipi Sheana, “biarin Alysha sama Syaf berdua.”
Sheana mencebik kesal, “Orang Bang Syaf masih sibuk kerja kok, Bu. Tuh liat aja.”
Fida melirik sekilas pada Syaf yang tengah fokus pada laptop di hadapannya.
“Itu gara-gara kamu,” Fida menarik tangan Sheana paksa, “udah malem, ayo tidur!”
“Belum ngantuk, Bu.” Ucap She tak terima.
“Besok harus ke kafe, bangun pagi!” Ucap Fida.
“Biasanya kan juga bangun pagi.”
Perdebatan ibu dan anak itu berhasil dihentikan oleh suara Syaf.
“She, ini Abigail chat Abang. Katanya tadi chat kamu tapi nggak dibaca-baca. Dia mau nanyain soal dokumen.”
“Kok nanya She, si?”
Syaf mengedikkan bahunya tak acuh dan kembali fokus pada pekerjaannya.
“Dokumen proyek waktu kamu masih jadi sekeretarisnya mungkin, She. Kan proyeknya ada yang belum selesai,” Alysha memandang Sheana yang masih bertahan pada posisi tangan ditarik Fida, “dia butuh pertimbangan kamu atau dia nggak nemu dokumennya mungkin.”
“Ya udah, deh. She ke kamar dulu.”
Fida segera melepaskan tangan Sheana dan tersenyum penuh kemenangan. Sheana melangkah menuju kamarnya dengan bibir yang mengerucut sebal.
Setelah Sheana pergi ke kamarnya, Fida langsung duduk di samping Alysha. Setelah memastikan Syaf fokus pada pekerjaannya, Fida mulai bertanya kepada Alysha dengan suara setengah berbisik.
“Lysh?”
“Iya, Bu?” Alysha sedikit aneh dengan tingkah laku ibu mertuanya ini.
“Kamu …sama Syaf udah, kan?”
“Udah apa, Bu?” Alysha mengerutkan keningnya tak mengerti dengan yang Fida tanyakan.
“Itu … udah, kan?”
“Apanya, Bu? Lysha nggak ngerti.”
“Suami sama istri itu, loh. Udah, kan?”
“Ha?” Alysha membuka mulutnya bingung dengan apa yang harus ia katakan sebagai jawaban. Ia takut salah tangkap!
“Ibu,” suara Syaf membuat Fida dan Alysha menoleh bersamaan, “Syaf denger, loh.”
“Terus? Udah?” Tanya Fida dengan nada penasarannya.
“Emang kenapa?”
“Ibu pengin cucu.” Fida segera berlari kecil meninggalkan Syaf dan Alysha yang hanya bisa saling pandang kikuk di ruang tamu.
“Ekhem,” Alysha berdehem untuk menetralkan suaranya, “mau aku buatin minum, Syaf?”
“Boleh,” Syaf melepas kacamata yang bertengger di hidungnya, “teh manis anget aja. Bawa ke kamar, ya.”
“Iya.”
Setelah mendengar jawaban Alysha, Syaf beranjak membawa laptopnya menuju kamar tidurnya yang sekarang sudah menjadi milik Alysha juga.
Sampai di kamar, Alysha menutup pintu, meletakkan secangkir teh manis hangat di atas meja, dan melangkah menuju balkon tempat di mana Syaf tengah berdiri memandang langit dengan bulan dan beberapa bintang nampak di sana.
“Syaf, tehnya aku taruh di meja,” ucap Alysha setelah berada di samping Syaf dan ikut memandang langit.
Syaf mengalihkan pandangannya ke wajah Alysha yang masih tertutup sebagian oleh nikab, “Iya, makasih.”
Setelah mengucapkan terima kasih, Syaf kembali menegadah memandang langit, “Kamu masih segan ya sama aku?”
“Ha?” Alysha sama sekali belum mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan Syaf yang satu ini.
“Kamu masih belum berani buka kerudung, buka nikab pun jarang,” Syaf tersenyum kecil, “nggak apa-apa. Asal kamu nyaman hidup sama aku aja, aku udah bersyukur.”
“Maaf.” Alysha berkata lirih.
“Nggak perlu minta maaf,” Syaf memutar tubuhnya menghadap Alysha, “aku kan udah bilang nggak apa-apa.”
Alysha ikut memutar tubuhnya hingga mereka berdua sejajar dengan jarak yang cukup dekat.
“Coba liat mata aku.” Pinta Syaf pada Alysha.
Alysha mendongakkan kepalanya pelan. Sudah lewat tujuh detik dan Syaf hanya diam saja.
“Pegel?” Tanya Syaf.
“Ha?”
“Kamu dari tadi liatin aku nggak pegel?” Syaf tertawa kecil.
“Iya, tau. Kamu tinggi dan emang rada bikin pegel, sih.” Alysha memutar tubuhnya menghadap ke depan namun dicegah oleh Syaf.
Syaf memegang kedua lengan Alysha, menatap matanya dalam, dan menyelami keindahan yang ada di sana.
Perlahan, Syaf melepas ikatan nikab Alysha hingga sekarang dirinya benar-benar bisa menatap utuh wajah cantik istrinya, “Cantik. Makin cantik sejak terakhir kali aku liat wajah kamu.”
Alysha mengalihkan pandangannya dari wajah Syaf, berusaha menetralkan debar yang hadir di hatinya.
Syaf mengusap pelan pipi kiri Alysha dengan ibu jari tangan kanannya, “Nggak apa-apa aku lepas?”
“Nggak apa-apa,” cicit Alysha.
Syaf mengangkat dagu Alysha hingga sepasang mata indah milik istrinya kembali menatapnya.
Perlahan, Syaf mengikis jarak yang memisahkan mereka berdua dan ia mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Alysha.
“Mbak Alysha!”
Alysha terperanjat dan langsung mendorong dada bidang Syaf hingga kembali tercipta jarak antara keduanya.
“Maaf, Syaf,” ucap Alysha tak enak hati.
“Mbak, bantuin dong!” Sheana masih asyik mengetuk pintu kamar Syaf.
“Iya, She. Sebentar.”
Alysha melangkah menuju pintu kamar, namun tangannya ditahan oleh Syaf hingga mau tidak mau ia harus menghadap laki-laki itu lagi.
“Aku pengin kamu panggil aku ‘Mas’.”
Setelah mengucapkan itu, Syaf melepas tangan Alysha dan Alysha segera melangkah membuka pintu kamar.
Setelah melihat kakak iparnya muncul, Sheana langsung menarik tangan Alysha menuju ke kamarnya.
“Lama banget buka pintunya,” Sheana mendudukkan Alysha di kasur empuk miliknya, “lagi ngapain, sih?”
Semburat merah muncul di kedua pipi Alysha, “Nggak ngapa-ngapain. Ngobrol aja sama Syaf.”
“Bagus, deh. Aku jadi batal merasa bersalah.” Ucap Sheana dengan senyum yang menampakkan deretan giginya dan tanpa ada penyesalan sedikit pun.
Di balkon kamarnya, Syaf masih setia memandang langit. Namun, bukan lagi Alysha yang menemaninya, kini secangkir teh manis hangat yang ada pada genggaman tangan.
Malam ini, bulan, beberapa bintang, dan secangkir teh manis hangat menjadi saksi bagaimana seorang Syafril Rivai hanya mampu mengecup senyap dalam ramainya gemuruh perasaan yang membuncah di dalam hati.
192Please respect copyright.PENANAxKvW6GiYqn