15
Romeo James Watson
Semuanya sudah selesai. Ternyata semuanya selesai jauh lebih cepat dari yang aku duga. Masih ada banyak waktu yang tersisa. Namun, satu-satunya hal yang kuinginkan sekarang adalah pulang. Aku ingin bertemu dengan Katrina dan menyiapkan pernikahan kami. Aku lelah, aku sangat lelah.
Pintu hotelku diketuk, “Masuk!” kataku.
Matthew mmasuk ke dalam, dia mengenakan pakaian formal. Wajahnya tenang dan tanpa memperlihatkan ekspresi. Tapi, ketika berbicara terdengar nada kesal,“Maaf, Romeo Pesawat pribadi kita sedang mengalami kerusakan dan sepertinya akan butuh waktu lama untuk memperbaikinya. Aku tidak ingin kalau dunia tahu jika pesawat kita sedang mengalami kerusakan. Ini sesuatu yang sangat memalukan.”
“Apa?” kataku terkejut. Aku harus cepat-cepat kembali ke Inggris. Jika tidak, aku tidak akan bisa membeli sesuatu untuk Katrina. “Apa tidak bisa cepat? Kau tahu aku harus membeli cincin untuk Katrina. Jika tidak, semua rencanaku akan gagal. Aku harus pergi ke Perancis untuk membeli cincin pernikahan kami.”
Matthew tidak berkata apa-apa. Tapi, aku tahu dia sedang berfikir, ini sudah rencana yang kususun sejak lama. Jika nanti aku kembali ke Inggris. Aku akan segera mengadakan pidato kenegaraan. Lalu, ditengah-tengah pidato itu aku akan mengumumkan bahwa aku dan Katrina akan menikah di depan seluruh rakyat Inggris. Aku yakin, pasti akan sangat mengagumkan. Tapi, jika yang dikatakan Matthew itu benar. Rencanaku bisa gagal, Matthew melihatku yang gusar dan memberi sebuah solusi yang menarik.
“Bagaimana kalau begini, Anda pergi saja ke Perancis dengan pesawat biasa. Lalu, belilah cincin di sana. Sambil menunggu pesawat selesai diperbaiki, anda juga bisa membeli barang-barang lainnya. Jika nanti pesawat selesai diperbaiki, aku akan menghubungi anda dan menjemput Anda di Perancis. Setelah, itu kita ke Inggris seolah tidak tejadi apa-apa.”
“Berarti aku harus pergi diam-diam?”
“Tentu saja. kalau nanti anda ketahuan pasti akan jadi masalah besar. Lagipula, kunjungan ini lebih cepat dari yang kita duga. Kenapa tidak kita katakan saja kalau kau akan berada di Indonesia dan liburan?”
Aku terdiam sebentar. Perkataannya ada benarnya juga. Akhirnya, tanpa pikir panjang aku langsung menyetujui usul tersebut. Aku mengenakan setelan sederhana dan meninggalkan baju-baju mewahku. Kupikir lucu juga. Aku seperti seorang mata-mata yang sedang menyamar. Aku mengenakan kaos berwarna putih dan celana jeans. Sebuah tas gendong yang agak besar.
Matthew memesankan sebuah taksi dan diam-diam pergi lewat jalan belakang. Dia menyerahkan paspor, tiket pesawat, uang dalam berbagai mata uang dan juga hal-hal lainya yang kuperlukan. Matthew adalah seorang pekerja yang efisien, cepat dan tidak banyak bicara. Dia adalah salah satu dari sedikit orang kepercayaanku. Aku sering menyuruhnya berbagai macam pekerjaan yang tidak dapat kuselesaikan sendiri.
“Kau jaga jangan sampai ada yang tahu jika aku pergi. Jika ada apa-apa. Hubungi aku segera! Kalau kau tak bisa melakukannya sendiri, jangan hubungi sembarang orang yang salah. Terutama, ayahnya Katrina. Dia tak perlu tahu apapun.” kataku.
“Apa kau tak apa-apa pergi sendiri?” tanyanya.
“Tidak, pokoknya yang paling penting jaga keadaan supaya tetap stabil.”
Dia mengangguk. Aku masuk ke dalam taksi dan meminta supir untuk pergi ke bandara. Sepanjang jalan tidak banyak yang kupikirkan, mataku memandang bangunan-bangunan megah, tapi, kumuh di Jakarta. Sejujurnya, aku senang melihat perempuan-perempuan berhijab di negara ini. sebab jauh di dalam hatiku aku ingin sekali bertemu dengan wanita berhijab itu.
#####
Aku melihat ke sekelilingku dan terkejut melihat betapa kotor dan kumuhnya tempat ini. Bagaimana bisa ada orang yang tinggal di tempat seperti ini? Tempat ini tidak terlalu luas, cat yang terkikis, perabotan-perabotan rusak. Aku tidur di sebuah kursi besar yang jelek dan rusak. Di kursi yang lain, ada seorang laki-laki yang tinggi besar dan juga menyeramkan. Dia tertidur dengan lelap.
“Kau sudah bangun?” tanya seorang wanita. Dia berada di kursi lain. Matanya memperhatikanku dengan seksama.
Aku memandangnya curiga. “Dimana ini?” tanyaku. Dia menjawab dengan suaranya yang merdu,“Kau ada di apartemen milikku. Sepertinya, kau terluka parah sekali.”
Apa dia gila? Jelas-jelas aku sedang terluka parah. Perempuan itu masih menatapku dan berkata, “Namaku Lauren.”
Dia menatapku lama sambil tersenyum, “Siapa namamu?”
Saat itu membuka mulutku dan menyebutkan sebuah nama yang sebenarnya bukan namaku. Nama itu, nama orang lain yang kupakai. Saat itu, aku benar-benar tak tahu, jika nama itu akan terus menempel di dalam kenangan perempuan itu. Nama itu akan menjadi salah satu dari kenangan yang mengikat di antara kami berdua.
“Aku Lucius Jones.”
156Please respect copyright.PENANAfQBphd7l0K
156Please respect copyright.PENANAFxPGbLpIvL
156Please respect copyright.PENANAgwAMJOOWm3
156Please respect copyright.PENANAR3FC626piH