Sri Ayu Dewi Kirana Kusumawardhani
Kami berjalan menuju ke halte. Kami akan naik bus, lalu, kembali ke Paris. Kupikir, akan lebih baik jika begitu. Laki-laki itu berjalan di sampingku. Kami berjalan bersisian.
“Kau.... namamu, Romeo James Watson, kan?” tanyaku. Orang di sampingku mengangguk. Aku tak tahu apa yang harus aku katakan selanjutnya. Dia tiba-tiba menatapku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Membuatku terkejut dan memundurkan kepalaku.
Maka kami bertatapan.
“Jika, kau memang mau. Panggil saja aku dengan sebutan Romeo.”
Dia memundurkan kembali kepalanya dan tersenyum tulus padaku. Aku mengerutkan keningku, ada apa dengannya? Tapi, akhirnya, aku memilih diam saja sebab terminal sudah ada di depan mata.
Sebuah bus berwarna hijau dengan tulisan-tulisan yang tak kumengerti berhenti di depan terminal. Kami berdua masuk ke dalamnya. Aku sedikit merasa aneh waktu melihat busnya. Sangat bersih dan juga rapi. Bangku-bangku berseret di samping dan bagi yang tidak kebagian bisa berdiri di tengah-tengah. Ada sebuah kotak di samping tempat supir.
Ketika aku hendak duduk. Tiba-tiba si supir langsung berkata dengan suara yang sangat berat, “Nona, kau harus membayarnya!” katanya. Aku mengerutkan kening, aku sama sekali tak mengerti apa yang dia katakan. Tiba-tiba James langsung mengambil uang dari sakunya dan memasukkannya ke dalam kotak. Aku memalingkan wajahku padanya, “Apa kau mengerti apa yang dia katakan?”
Romeo menggeleng, “Tentu saja. aku mengerti maksudnya. Kau harus membayar dulu baru naik, Nona.”
Dia tersenyum nakal, dia mempermainkanku! Aku kesal dan langsung mengambil tempat duduk di bagian kedua. Sebab hanya itu yang kosong. Romeo mengambil bangku disampingku dan tertawa perlahan. Dia sepertinya senang karena telah mempermainkanku. Aku semakin cemberut dan bibirku bertambah monyong beberapa sentimeter. Bus melaju perlahan-lahan dan semakin lama semakin cepat. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, apa aku saja yang merasakannya atau memang bus ini berjalan terlalu cepat? Orang-orang di sekelilingku bergerak-gerak mengikuti gerakan bus yang keterlaluan cepatnya.
“Apa bus di tempat kalian memang selalu secepat ini?” tanyaku. Romeo menggeleng, dia memegang pegangan di samping kursi dan berkata dengan agak khawatir, “Aku tidak tahu, yang jelas aku tidak pernah menaiki bus yang seperti ini.”
“Apa kau tidak pernah naik bus?” tanyaku. Dia memalingkan wajahnya padaku, kedua alisnya terpaut, “Apa maksudmu? Apa kau pikir aku tidak pernah naik bus?” Aku menatapnya, “Ya. Aku tidak pernah berfikir ada laki-laki sepertimu. Sehebat atau sekaya apa kau sampai tidak pernah naik bus?”
Tiba-tiba bus membelok dengan gerakan yang sangat cepat dan membuat badannya terdorong ke samping. Wajahnya yang sedang menatapku, tiba-tiba bergerak mendekatiku tanpa bisa kutahan. Dia sendiri terkejut dan wajah kami hanya tinggal beberapa millimeter.
Kalau boleh jujur, kami nyaris berciuman.
Begitu bus itu berada di jalur lurus. Nafasku menjadi seperti orang yang baru lari seratus meter, aku terengah-engah. Aku memegang dadaku dan berusaha bernafas dengan tenang. Ada apa tadi? Kami hampir berciuman! Aku memalingkan wajahku padanya dan dia juga seperti merasakan hal yang sama denganku. Tapi, anehnya, dia malah tersenyum.
Entah kenapa, tiba-tiba aku menjadi kesal.
Bus berhenti di depan terminal berikutnya, aku langsung berdiri dan tak lupa menginjak kaki Romeo. Dia menjerit dan membuat beberapa penumpang melihat ke arahnya. Tapi, aku sama sekali tak perduli dan melangkah keluar dari bus.
“Tunggu!” teriaknya. Aku sama sekali tak menoleh dan tetap keluar dari bus. Begitu keluar, aku melangkahkan kaki lurus ke depan. Mencari terminal lainnya, tindakan bodoh karena sebenarnya sama saja. Tapi, aku tak mau bersama dengannya. Bagaimana jika kami tadi nyaris berciuman?
Dasar orang barat! Aku tak mau dekat-dekat lagi dengannya! Romeo mengikutiku dari belakang, tapi, aku tak acuh padanya. Tiba-tiba dia memegang bahuku dan secara refleks aku langsung memegang lengannya yang tertutupi jaket dan menariknya dengan kuat. Lalu, membantingnya dengan bahuku. Sekilas, tampak seperti bantingan dalam judo. Karena, selain bisa aikido, aku juga cukup mahir dalam judo –dan malah pencak silat juga.
Laki-laki kurang ajar itu terbanting di jalan.
“Aww......” teriaknya.
Rasakan!
Aku tetap berjalan dan ketika melihat sebuah taksi yang berada di pinggir jalan, aku langsung melintasi jalan. Lebih baik, pakai taksi daripada bus. Aku akan memintanya mengantarku ke Menara Eifel atau langsung ke KBRI sekalian.
Jalanan sedang ramai, tapi aku sama sekali tak perduli. Aku langsung berjalan ke seberang jalan, khawatir jika taksi itu terburu-buru pergi. Tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke arahku. Aku terkejut. Badanku gemetar dan kakiku, seperti tak bisa bergerak dan menempel dalam tanah. Aku memejamkan mata...
Tiba-tiba sebuah tangan yang kuat memegang lenganku dan menarikku ke dalam pelukannya. Sesaat,aku merasa seperti waktu berhenti bergerak. Aku merasakan badanku berputar dalam pelukannya. Dada orang itu, bidang dan kokoh. Memelukku dengan kuat, tapi, juga sangat lembut seolah-olah aku akan terlempar jauh jika dia tidak melakukannya dengan kuat. Juga seolah-olah aku akan terluka jika dia tidak melakukanya dengan lembut.
Wangi laki-laki ini, yang sekarang sedang memelukku, entah kenapa seperti pernah kucium di waktu yang dulu sekali.......
144Please respect copyright.PENANAynjU5IERwT
144Please respect copyright.PENANAzVbC8sdnC5
144Please respect copyright.PENANAfQUEEqMK9b