Kami naik lagi ke dalam bus, kali ini bus yang kami naiki lebih tenang dari bus yang tadi. Aku sudah memikirkan jika jalan yang terbaik saat ini adalah pergi ke kedutaan besar. Dewi tadi berpendapat, jika lebih baik kami pergi ke Menara Eiffel dan menjadikannya sebagai patokan. Keluarga dan temannya pasti akan ke sana dan mereka juga akan berpikir hal yang sama dengannya.
“Baiklah.” kataku.
Aku duduk di bangku paling depan dan Dewi duduk di bangku paling belakang. Dia tak mau hal sebelumnya terjadi lagi, tapi aku hanya tertawa geli. Seorang pria dengan pakaian lusuh dan rambut agak berantakan masuk ke dalam bus, dia menggandeng wanita yang sedang hamil. Wanita itu berkulit putih pucat, tapi, rambut berwarna kemerahan. Dia memegang perutnya yang buncit. Wajahnya meringis dan kelihatan lelah sekali. Dia mendekatiku dan berkata dengan nada memohon, “Maaf, pak. Bisakah anda duduk di belakang, saya tidak bisa membiarkan istri saya duduk sendiri.”
Aku mengalah dan pindah ke samping Dewi. Aku tahu dia kesal dan kali ini benar-benar menjaga jarak. Tapi, tentu saja dia tidak bisa melawan, aku melakukannya untuk membantu orang, kan? Mana mungkin dia memarahiku gara-gara pindah ke sini.
Diam-diam aku melirik ke arahnya, kulihat dia sedang melamun. Aku berkata dengan santai, “Apa yang sedang kau pikirkan?” dia menggeleng, lalu tersenyum, “Dulu aku juga pernah tersesat seperti ini.”
Aku terdiam, tapi akhirnya aku bertanya padanya, “Benarkah? Di Perancis?”
Dia menggeleng, “Bukan. Di London.”
Aku terdiam lagi. Pura-pura tidak tahu. Kudengar dia menghela napas panjang, “Waktu itu aku masih remaja. Aku berencana liburan menghabiskan waktuku di Eropa, tapi aku malah tersesat di London.”
“Aku diselamatkan oleh seorang laki-laki bernama Oliver. Dia membawaku ke rumahnya dan mengizinkan aku tinggal di sana. Terkadang, dia pulang dalam keadaan luka parah, terkadang dia membawa makanan. Selain aku, dia juga membawa seorang laki-laki yang usianya lebih tua dari aku. Laki-laki itu berambut hitam dan gagah. Aku tak tahu kenapa dia ada di sana juga. Tapi, aku senang, karena setidaknya aku punya teman untuk diajak bicara. Lebih baik daripada sendiri.”
Aku menelan ludah, lalu bertanya, “Siapa namanya?”
Dewi memalingkan wajahnya padaku, “Lucius Jones.”
ns 15.158.61.20da2