Aku tak tahu kenapa kemarin aku roboh. Mungkin, karena aku kelelahan. Aku membuka mataku perlahan-lahan. Cahaya matahari masuk ke dalam mataku dan membuatku silau. Aku mengangkat tanganku dan menutup sebagian mataku. Silau sekali, pikirku. Pelan-pelan aku mengangkat tanganku dan berusaha bangkit dari tidur.
Kami ada di sebuah ruangan yang penuh dengan tulisan Arab. Aku tak tahu kami ada di mana. Sementara wanita itu sedang bersujud dan kemudian bangkit. Dia sedang sholat, aku berusaha tidak membuat suara berisik apapun. Aku tidak ingin mengganggunya. Aku berjalan keluar dan aku baru sadar jika kami sedang berada di sebuah mesjid.
Aku berjalan perlahan ke arah kamar mandi yang ada di samping mesjid. Kupikir, tak salah kalau aku hanya ikut buang air. Ketika aku masuk, tampaklah bederet kamar mandi. Aku masuk ke salah satunya dan memutar keran air. Tapi, airnya tidak muncul. Aku mencoba ke beberapa kamar mandi yang lain. Tapi, tetap saja airnya tidak mau keluar.
Aku keluar dari kamar mandi pria dan melihat sekeliling. Tak ada siapa-siapa. Kamar mandi wanita tak berada jauh dari kamar mandi pria. Hanya dibatasi oleh dinding besar. Tapi, masih berada di satu tempat. Tidak seperti kamar mandi pria yang lebih sederhana. Kamar mandi wanita terlihat lebih rumit. Kamar mandi berada terpisah dan sampingnya berderet keran-keran. Di atasnya terdapat cekukan ke dalam yang sepertinya digunakan oleh orang untuk menyimpan sesuatu seperti dompet dan juga barang lainnya. Aku mendekat ke salah satu keran dan air keluar dengan deras.
Entah kenapa, tiba-tiba aku seperti mendengar suara yang dulu kukenal sekali.
Bukan kau yang akan mencari dia....
Aku membasahi lagi wajahku dengan air dan suara itu semakin terdengar jelas.
Juga bukan dia yang akan mencarimu...
Kesejukan air mulai masuk ke dalam pori-pori wajahku. Menghilangkan rasa pusing yang sejak malam terus menghantuiku dan menggantinya dengan kejernihan. Tapi, suara itu lagi-lagi terdengar.
Percayalah padaku....
Aku menghela nafas panjang sambil menundukkan kepalaku. Membiarkan air berjatuhan dari wajahku. Suara itu adalah suara Oliver sewaktu dia masih hidup. Oliver adalah suami pertama Laura. Laki-laki yang dulu dia cintai sekali. Suara itu adalah suara yang dia ucapkan saat kami masih tinggal bersama. Aku menundukkan badanku sampai ke bawah keran dan kuputuskan untuk membasahi rambutku secara keseluruhan. Aku meletakkan tanganku di cekukan sebagai pegangan dan tiba-tiba ada yang tersentuh oleh tanganku.
Sebuah cincin.
Aku mengangkat kepalaku dan aku terkejut.
Cincin itu terbuat dari emas putih dengan ukiran-ukiran di sampingnya. Cincin itu berkilauan dan akan membuat kagum siapapun yang melihatnya. Mataku seolah-olah sedang membodohiku dan sebagian diriku mengatakan ini semua hanya kebohongan.
Tapi, ini bukan kebohongan.
Cincin itu adalah cincin yang sama dengan yang aku miliki.
Napasku memburu, aku segera keluar dari kamar mandi. Aku berlari sekuat tenaga naik tangga ke tempat wanita itu berada. Lalu, semuanya seperti terjadi lagi...
Dulu aku juga berlari keluar dari mobil.
Aku terus berlari sekuat tenaga berharap dia masih ada di sana.
Dulu juga, aku berharap dia masih ada bandara dan melihatnya menggunakan cincin itu.
Sekarang, aku benar-benar berharap dia masih ada di sana.
Dulu, juga aku berharap dia masih ada di sana.
Tapi, dia tak ada di bandara.
Dia pergi meninggalkanku.
Aku terus berlari sekuat tenaga, lupa akan segalanya. Berharap hal ini nyata, berharap ini bukan mimpi. Berharap dia masih ada di sana. Ketika aku sampai di lantai atas. Dia berdiri di sana sambil tersenyum padaku. Di matanya ada sedikit kecemasan dan kekhawatiran padaku. Selama ini dia selalu menggunakan pakaian panjang sehingga lengannya tertutupi. Sehingga, aku sama sekali tak sadar jika dia adalah wanita yang kucari dan kutunggu selama bertahun-tahun.
Aku berdiri dan dia juga berdiri di sana. Angin berhembus dengan kencang dan membuat rambutnya yang panjang itu tertiup angin. Dia memegang kerudungnya supaya bagian dalam tubuhnya tidak terlihat. Saat itulah, tangannya yang putih terlihat. Di jari manis tangan kirinya ada bekas cincin.
Ternyata perasaannya sama sepertiku selama ini. Dia tetap memakai cincin itu dan tetap menjaga cinta yang ada padanya dan ada juga padaku.
“Ada apa?” tanyanya.
Aku mengangkat tanganku dan membuka kepalan tanganku. Memperlihatkan cincin yang ada di sana. Dia terkejut dan angin tiba-tiba berhembus lebih kencang. Suara Oliver yang serak karena terlalu banyak minum alkohol itu kembali terdengar di telingaku.
Cintalah yang menyatukan para pecinta.
Cintalah yang akan menyatukan kalian berdua.
“Ada apa?” tanyanya lagi.
Aku hanya bisa berkata lirih, “ Tidak. Tidak ada apa-apa.”
Akhirnya, kita bisa bertemu lagi.
312Please respect copyright.PENANASXoJwyshlb
312Please respect copyright.PENANAhYftRBGsN6
ns 15.158.61.48da2