Kuputuskan untuk segera keluar dari bandara dan mencari hotel terdekat. Untungnya, ATM dan kartu kredit milikku masih bisa digunakan. Dengan begini, setidaknya aku bisa membeli cincin untuk Katrina nanti. Musim dingin sebentar lagi akan datang, aku berjalan sambil mengambil jaket yang ada di tasku. Mataku tertuju pada tas dan aku tidak terlalu memperhatikan langkahku. Bandara penuh dengan orag-orang yang hilir mudik.
Saat itulah, aku bertabrakkan dengan seorang wanita....
“Sorry..” kataku.
“Maaf.” kata wanita itu dengan bahasa yang sedikit kutahu, tapi, terasa sangat familiar di hatiku. Itu bahasa Indonesia.
Aku tidak terlalu memperhatikan siapa wanita itu. Karena, saat itu keadaan benar-benar dalam keadaan ramai. Tapi, setidaknya aku memperhatikan jika wanita itu mengenakan pakaian berwarna merah muda dan tingginya hanya beberapa sentimeter dibawahku. Wanita itu berjalan saling berlawanan denganku dan –lagi-lagi- aku tak pernah tahu jika Tuhan telah menggerakkan roda takdir yang selama ini diam. Menggerakkan takdir ikatan antara aku dan dia yang selama ini membisu.
Dari lubuk hati kami yang paling dalam.
#####
Aku naik taksi dan mencoba mencari beberapa hotel lewat selembaran yang memang ada di bandara. Aku akan menginap di hotel yang tidak jauh dari bandara dan bisa tetap datang setiap hari ke sana. Jika hal seperti itu tidak mungkin, aku akan pergi menggunakan kereta untuk pergi Inggris.
“Bisakah kau mengantarkanku ke hotel yang dekat dengan Menara Eiffel?” tanyaku. Supir itu mengangguk, dia melaju perlahan dan aku mencoba menikmati pemandangan Kota Paris yang memukau itu. Dewi adalah cintaku, sejujurnya aku rindu sekali dengan Dewi. Ingin rasanya bertemu dengannya.
Aku hanya kadang-kadang saja pergi ke Perancis. Bagaimanapun, aku punya ibu yang dikuburkan di Perancis. Jadi, wajar jika aku ke Perancis. Lagipula, aku memang menguasai bahasa Perancis dengan sempurna. Jadi, aku bisa pergi tanpa diketahui orang-orang. Kawan, orang bilang cinta pertama susah dilupakan. Terserah apa pernyataan itu bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Hal itu terjadi padaku. Sampai saat ini, aku masih mencintai Dewi. Seolah-olah kami baru bertemu kemarin dan seolah-olah baru kemarin juga kami berpisah.
Tiba-tiba padanganku tertuju pada sebuah pasar yang menjual buah-buahan. “Bisakah kau berhenti sebentar?” Tanyaku pada supit taksi itu. Supir taksi itu mengangguk dan berhenti. Aku keluar dari sana dan masuk ke dalam pasar. Orang-orang berlalu lalang dengan cepat, orang-orang melakukan penawaran, pembeli dan penjual bertengkar. Tapi, entah kenapa orang-orang itu terlihat begitu menikmati peran mereka masing-masing. Pertengkaran mereka seperti seni yang memang sudah ada sejak dulu. Aku mengambil tasku dan merogoh sebuah kamera yang kusimpan di dasar tas. Ketika mencarinya, aku nyaris bertabrakkan dengan orang-orang yang lalu-lalang sehingga aku memundurkan badanku dan akibatnya....
PRANG!!!
Aku berbalik. Sebuah guci yang harganya pasti mahal pecah di depan mataku. Pemiliknya, seorang wanita gendut dengan rambut marah mendelik marah padaku. Aku terkejut dan kembali memundurkan badanku, kali ini sembari meminta maaf.
Tiba-tiba...
BRUK!!
Aku menjatuhkan semeja penuh jeruk mandarin. Seorang pria gendut kali ini yang marah-marah. Mereka berbicara dengan cepat dan tangan mereka terangkat seperti sedang mengutuk diriku. Melihat mereka mendekat, aku secara naruliah langsung berlari sekuat tenaga. Bertabrakkan dengan beberapa orang lainnya. Beberapa orang itu bertabrakkan lagi dengan yang lain. Guci-guci bertabarkkan, menabrak beberapa meja buah dan membuatnya berhamburan. Pembeli yang tidak terlalu teliti melihat kaki mereka, terjatuh dan menabrak meja-meja lainnya.
Makin lama, makin banyak yang mengejarku. Aku berlari tunggang langgang, tangan dan sekujur tubuhku penuh dengan keringat. Aku terus berlari sekuat yang aku bisa, beberapa kali aku menabrak orang sampai mereka terjatuh.
Sepertinya yang mengejarku tidak hanya orang perancis asli. Tapi, juga orang-orang asing lainnya. Kudengar orang belanda berteriak:
“Grijp hem!” Wajah mereka yang putih pucat memiliki semburat warna merah karena marah. Beberapa dari mereka bahkan membawa berbagai macam sayuran dan melemparkannya padaku. kudengar orang yang melemparkan sebuah tomat padaku dan nyaris kena berteriak dengan sangat kencang, “Voel je het! Bastard!”
Aku terus berlari sepeti orang yang kesetanan meliuk-liuk di setiap sudut kota dan menjadi bahan tontonan mendadak. Bahkan, ada juga yang mengejarku sambil tertawa terbahak-bahak. Menandakan jika dia melakukan hal ini jika hanya karena ikut-ikutan. Bahkan, ada yang dengan terang-terangan mentertawaiku dan memotretku seperti aku adalah seorang badut yang dikejar-kejar oleh anak kecil.
“Sorry...” kataku dengan terengah-engah. “I really don’t do it on purpose.” kataku sambil berteriak. Tapi, kawanan menggila yang marah-marah atas ketidaksengajaanku yang berakibat fatal itu terus mengejarku. Mereka melempariku dengan berbagai macam sayuran dan buah-buahan. Aku menunduk ketika ada sebuah tomat yang hendak dilemparkan ke arahku.
Di depanku ada sebuah tikungan berbelok yang berada di beberapa gedung. Jika aku bisa bergerak ke sana, aku bisa bersembunyi dengan mudah dan dengan begini aku tidak perlu membuang-buang waktu. Ketika sampai di tikungan berbelok, tiba-tiba aku tak sengaja bertabrakkan dengan seorang wanita.
171Please respect copyright.PENANAa2Zt79cwr9