“Apa?’ tanya Dewi, dia pasti tidak bisa mendengar ucapanku.
“Ah tidak, ini cincin milikmu, kan?” tanyaku. Dewi tampak terkejut lalu melihat jari manisnya. “Aku menemukannya di kamar mandi tadi. Karena di sini hanya ada kita berdua. Kupikir mungkin ini milikmu.”
Dewi mendekatiku dan aku tahu jika dia senang sekali karena dia tidak kehilangan cincin itu.. Tangannya tidak bergerak sedikitpun untuk mengambil cincinya. Kali ini aku paham, aku langsung memintanya untuk membuka telapak tangannya dan menjatuhkan cincin itu diatas tangannya.
“Terima kasih.”
“Sama-sama.” kanyaku lagi. Aku hanya tersenyum padanya tanpa mengucapkan sepatah katapun. “Siapa namamu?” aku bertanya seolah-olah aku tidak mengenalnya. Padahal hatiku ingin berteriak dan memeluk tubuhnya.
“Namaku Sri Ayu Dewi Kirana Kusumawardhani. Kau boleh memanggilku Dewi.” katanya.
Samar-samar sebuah senyuman terbentuk di hatiku.
Kau?
Apa ini benar-benar dirimu?
Aku membiarkan diriku menatap Dewi. Mungkin, usianya sekarang sekitar dua puluh delapan tahun. Seperti, kataku, dia berubah menjadi sangat cantik. Tidak, kata itu tidak tepat. Lebih tepat kukatakan jika dia sangat-sangat cantik. Tingginya hanya beberapa sentimeter dibawahku. Wajahnya putih bersih dan cantik meski tanpa riasan make up apapun. Bibirnya merah muda dan tipis. Matanya tidak bulat, tapi, juga tidak terlalu sipit dengan bulu mata yang lentik. Kecantikannya benar-benar alami. Kecantikannya bukanlah jenis kecantikan yang akan membuat orang naik gairahnya. Tapi, lebih ke kecantikan yang akan membuat orang menunduk karena keanggunan yang luar biasa.
Aku tahu yang kulakukan ini sia-sia. Tapi, aku mengarahkan tanganku padanya sambil memperkenalkan namaku. “Namaku Romeo James Watson.” kataku. Aku berharap Dewi terkagum atau setidaknya dia sedikit terkejut mendengar nama itu. Tapi, drama berbicara lain.
“Kau tidak terkejut mendengar namaku?” tanyaku.
Dewi hanya menggeleng. “Memangnya kau siapa?”
“Apa kau pernah mendengarnya?”
Dewi menggelengkan kepalanya.
Aku ternganga. Apa dia tidak punya TV? Aku ini seorang perdana menteri dan dia bahkan tidak tahu? Bahkan, namaku saja dia tidak mengenalnya? Ada apa dengannya?
“Jangan bercanda. Kau pasti tahu atau pernah mendengar nama itu bukan? Tapi, kau pura-pura tidak tahu!” kataku mendesaknya. Tapi, Dewi malah berbalik menyerangku. “Aku memang tidak mengenalmu. Lagipula, siapa kau? Asal kau tahu saja! sifatmu itu sangat menyebalkan!”
Aku naik pitam.
“Apa katamu?! Kau itu yang menyebalkan! Setidaknya kau pernah mendengar nama itu!”
“Memangnya apa urusanku? Kalau aku tahu namamu, memangnya akan membuat kita tahu kemana jalan pulang? Dasar aneh!”
Sesaat tadi, rasanya sangat romantis. Tapi, sekarang, Nisa langsung berbalik dan masuk kembali ke dalam mesjid karena kesal padaku, tapi, aku sendiri tidak bisa menahan rasa senangku dan –tanpa dia tahu- aku tersenyum.
#####
“Ini pegang tasmu! Kita harus mencari jalan pulang! Karena aku tidak punya uang, jadi, kau harus membayariku!”
“Apa maksudmu? Kau pikir aku ayahmu?”
“Kau lupa siapa yang menyelamatkanmu tadi malam? Jika bukan karena aku, mungkin kau sudah mati sekarang!” katanya dengan sengit.
“Kalau kau hendak menolongku?! Kenapa tidak dengan tulus saja? Kau menolong orang lalu meminta bayaran!”
“Aku tidak meminta bayaran. Aku cuma meminta supaya kau ingat kebaikanku dan membalasnya! Jadi, kita impas. Lagipula, kau pria, kan? Seorang pria harus bersikap gentlemen! Apa kau tidak tersentuh melihat seorang wanita sepertiku tersesat? Bagaimana kalau terjadi apa-apa denganku?”
Aku mendengus, “Kau licik sekali.”
Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi, kali ini Dewi tersenyum padaku, dan kalian tahu? Senyumnya itu manis sekali.
“Kenapa?” tanyaku. Dewi mengangkat bahunya.
“Entahlah, aku tak tahu kenapa, tapi, rasanya aku senang sekali berada di sini bersamamu.” Cincin itu sudah dipakai lagi di jari manisnya. Dewi menatapku tanpa mengucapkan apapun. Apa dia tahu? Bibirku tertarik ke samping dan tanpa sadar aku ikut tersenyum melihatnya.
Aku juga senang di sini bersamamu.
ns 15.158.61.20da2