Laki-laki dan perempuan adalah mahluk yang diciptakan oleh Tuhan. Tak ada mahluk ketiga atau mahluk pertengahan. Hanya ada dua jenis manusia dari gender mereka. Pertama, laki-laki dan yang kedua adalah perempuan. Baik laki-laki atau perempuan punya tugas masing-masing dalam kehidupan ini. Bukankah terlalu aneh jika manusia hidup di dunia ini jika hanya untuk main-main?
Aku duduk memandangi jalan. Tadi matahari begitu terik menyinari bumi, tapi sekarang sudah mulai sejuk. Angin berhembus masuk ke dalam bus, membuat rambutku bergerak perlahan-lahan. Dewi berada di sampingku, rambutnya juga digerak-gerakkan angin. Aku memandanginya. Dia sudah berbeda sekali. Dulu saat pertama kali bertemu, wajahnya agak bulat. Tapi, lama kelamaan wajahnya menjadi lebih oval. Sekarang, dia semakin memperlihatkan kedewasaanya. Kulitnya yang dulu sawo matang pun, sekarang menjadi lebih putih, Matanya lentik dengan bibir tipis berwarna merah muda. Tingginya mungkin hanya beberapa sentimeter dibawahku.
Tapi, diatas semua itu. Sesuatu yang paling terasa dari dirinya adalah hal itu.
Keanggunan.
Keanggunanan seorang wanita sejati.
Dulu keanggunan itu tersembunyi dalam tubuh kecilnya. Sekarang, keanggunan itu menyebar ke segala arah. Seperti, bulan purnama yang menerangi malam. Sinar bulan purnama itu, menyinari langit di malam yang gelap ke segala penjuru.
Ya, kira-kira seperti itulah.
#####
“Kenapa kau melihatku terus padaku terus seperti itu?”
Keanggunan, sungguh indah kata itu. Sayang sekali, sepertinya kali ini kami akan bertengkar lagi.
“Apa maksudmu?” kataku naik pitam.
“Apa kau tidak tahu jika menatap seseorang seperti itu tidak sopan?” katanya dengan nada ketus. Ada apa sebenarnya dengan wanita ini? Apa dia masih marah karena aku nyaris mencium dan aku juga memeluknya tadi?
“Kenapa kau sentimental sekali padaku?” kataku tanpa memalingkan wajahku padanya. Sejujurnya, aku masih kesal karena ketika aku mengenalkan namaku tadi. Dia bahkan tak tahu nama itu. Dia sama sekali tak tahu, Romeo James Watson adalah seorang perdana menteri di Inggris!
Apa dia tidak punya TV?
“Apa kau bilang?” tanyanya. Kali ini, suaranya naik beberapa tingkat.
“Aku bilang...” kataku dengan kesal. “Kenapa kau sentimental sekali padaku? Apa aku begitu menyebalkannya di matamu, ya?”
“Benar! Kau benar-benar mengesalkan!” katanya. Lalu, memalingkan wajahnya ke jendela. Aku mendengus kesal. Sepertinya benar, Dewi masih kesal karena aku hampir menciumnya dan aku juga memeluknya. Aku menghela nafas panjang. bagaimana ini? Aku mencoba berkata lebih halus padanya, “Dengar! Kalau kau berpikir tentang apa yang aku lakukan tadi. Aku sama sekali tidak sengaja melakukannya. Lagipula, aku tak yakin akan tertarik padamu.”
Bukannya senang, dia malah mendelik padaku.
Tiba-tiba....
“Ahhhh...” kami mendengar suara perempuan mengaduh. Tidak, bukan hanya kami –Aku dan Dewi- tapi, juga semua penumpang bus. Wanita hamil itu terjatuh dari kursinya, darah merembes keluar dari pakaiannya. Suaminya berubah menjadi panik, dia berteriak memanggil nama istrinya.
Aku berdiri untuk membantunya, tapi, Dewi sudah bergerak lebih dulu. Dengan cekatan dia memegang urat nadi pada wanita itu. Wajahnya serius dengan ketenangan yang luar biasa. Dia memandangiku dan berteriak, “Apa kau bisa bahasa Perancis? Bisakah kau meminta bus itu untuk bergerak lebih cepat ke rumah sakit? Jika, tidak kita terpaksa harus memintanya melahirkan di sini!”
“Apa?” teriakku.
#####
Aku mengambil alih setirnya. Kenapa? Karena ternyata supir itu takut pada darah dan berubah menjadi panik. Aku melaju dengan kecepatan tinggi, sementara Dewi terus memperhatikan tubuh wanita itu. Dia berusaha menenangkan wanita itu dengan bahasa Inggris. Suaminya memegang lengannya yang lain dan tak berhenti mengelap keringat di dahi istrinya.
Wanita itu terlihat sangat kesakitan. Keringat mengucur dari dahinya, darah merembes keluar pakaiannya. Mengalir ke lantai. Beberapa wanita lain menyerahkan minumannya pada wanita yang seperti sedang sekarat itu.
Bus yang besar meliuk-liuk di antara mobil-mobil kecil yang melaju tak kalah kencang. Keringat mengucur dari dahiku. Di sampingku, seorang penumpag lain yang sudah hafal tempat ini menunjukkan jalan padaku.
“Ke kiri! Eh, tidak! Belok ke kanan!”
“Kemana yang benar?” tanyaku frustasi.
Dia laki-laki gemuk yang masih muda. Mungkin, sekitar dua puluh empat tahun. Mengenakan kaca mata dan wajah penuh dengan jerawat. “Belok lagi dan satu belokkan lagi akan ada sebuah gang. Lalu, belok kiri, nanti ada rumah sakit besar sekali.”
Dewi sedang berusaha menenangkan wanita itu, dia memandangku dan berteriak, “Apa kau tidak bisa lebih cepat?”
Kesabaranku habis, jadi Aku berteriak, “AKU SUDAH SANGAT CEPAT! APA KAU INGIN KITA MATI?” Aku menatap laki-laki gemuk itu dengan tajam, “KAPAN KITA AKAN SAMPAI? KENAPA KITA TIDAK SAMPAI-SAMPAI?”
Kulihat wajahya menjadi pucat pasi, “Sepertinya, kita salah jalan.”
Kemarahanku, meledak. “APA KAU GILA?!”
Dari belakangku, Dewi berkata dengan tegang. “Tak ada waktu lagi, kita harus mengeluarkan bayinya di sini.”
161Please respect copyright.PENANAmuEzFTeEmS
161Please respect copyright.PENANApxmmTD6AUp