217Please respect copyright.PENANAcCwnXJXQgP
Sri Ayu Dewi Kirana Kusumawardhani
Aku betul-betul terkejut. Tapi, ketika melihat wajah Melati yang justru tampak senang, aku tahu jika semua ini adalah rencana yang telah dia buat. Aku menyesal kenapa bisa terlambat menyadarinya, padahal semuanya tampak jelas dimataku sekarang. Melati mengajakku ke rumahnya. Padahal sudah kukatakan jika aku malas, tapi dia malah memaksaku ikut. Dengan berat hati aku ikut juga. Ketika kami akhirnya sampai di depan rumahnya, Melati memintaku masuk lebih dulu. Tentu saja, aku tidak memikirkan apa-apa, toh rumahnya sudah kuanggap rumahku sendiri. Kami berteman sudah sangat lama dan aku sudah menganggapnya saudara perempuanku sendiri.
Ketika aku masuk ke dalam rumahnya, aku terpekik karena terkejut, seluruh ruangan itu sudah dipenuhi beribu-ribu mawar yang menutupi dinding dan seluruh furniture sudah berubah menjadi warna merah. Kemudian, di tengah-tengah ruangan, pria itu berdiri dengan pakaian serba putih. Pria itu tinggi sekitar 180 centimer, ibunya adalah orang Indonesia sementara ayahnya adalah orang Belanda. Wajahnya tampan dan rupawan. Nama pria itu, Valentino.
“Maukah kau menikah denganku?”
Wajahku langsung berubah menjadi lebih merah dari tomat. Aku tak tahu harus menjawab apa, kusadari jika semua orang yang kukenal juga berada di sana. Mereka menunggu jawaban yang harus keluar dari mulutku sekarang. Aku berusaha keras menganggukkan kepalaku. Setelah itu semua orang yang hadir berteriak tak karuan dan rumah Melati terasa seperti konser. Valentino memasangkan cincin di jemari manisku dan kami berpelukan.
#####
Valentino Mikhail Hendriksen, nama laki-laki itu. Dia laki-laki tampan dan baik hati. Kami sama-sama mengenal sejak anak-anak. Karena, ayahnya dan ayahku adalah sahabat karib. Kemudian, mereka berusaha melakukan perjodohan dengan kami sampai akhirnya lamaran itu terjadi.
Ayahnya dan ayahku adalah dua sahabat karib yang dulu satu sekolah ketika masih di Belanda. Ayah Valentino dulu sempat mengalami kecelakaan mobil dan ayahku yang menyelamatkannya. Ayah Valentino, Willem Hendriksen, selalu berkata, beruntung sekali dia memiliki sahabat karib seperti ayahku. Setelah mereka lulus, mereka tetap berteman dan akhirnya memutuskan untuk menjodohkan aku dan anaknya. Membiarkan kami memilih sendiri, apakah aku –atau Valentino- bersedia untuk menikah atau tidak. Jika, salah satu dari kami ada yang menolak atau tidak setuju. Maka, tidak ada paksaan untuk tidak melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Tapi, sepertinya keinginan mereka untuk saling berbesan bisa terlaksana dengan adanya lamaran yang dilakukan Valentino .
Ketika orang-orang mendengar perjodohan yang dilakukan oleh orang tua kami, teman-temanku banyak yang memandang sinis. Padahal, melakukan perjodohan bukan berarti mereka adalah orang tua yang otoriter. Tentu saja orang tua kami tidak sembarangan dalam mencari jodoh. Mereka mencari seseorang yang memiliki sikap yang baik dan cocok bagi anaknya. Selain itu, mereka akan menentukan pilihan akhir pada anaknya. Apakah anak tersebut setuju atau tidak?
Dalam kasusku, aku tidak terlalu berkeberatan karena aku memang tidak memiliki calon dan dari semua laki-laki yang kukenal saat ini, memang hanya Valentino yang paling pas untukku. Dia tampan, baik, berasal dari keluarga baik-baik dan punya pekerjaan tetap. Apalagi yang kuminta? Lagipula, aku termasuk orang yang tidak percaya jika Pernikahan, hanya soal cinta. Pernikahan juga harus mengikut sertakan akal dan pikiran yang merupakan berkat dari Tuhan.
“Hayyo!! Kamu ngelamun terus, nanti kamu kesurupan jin loh!!!” Melati tiba-tiba menepuk bahuku. Aku terperanjat, tapi, Melati malah tertawa melihatku. “Melatiiiii!!!!!!” Aku berteriak kesal dan mengambil bantal putih untuk memukul wajah Melati dengan bantal itu. Akhirnya kami saling berperang bantal selama beberapa lama. Sampai kami sendiri lelah dan tergeletak di kasur dengan keringat membanjiri bajuku.
“Kita sudah berteman lama. Kau tahu itu, kan Sri? Sekarang, tahu-tahu kau akan menikah dengan Valentino.” Hanya Melati yang memanggil namaku dengan sebutan ‘Sri’.
“Jika nanti kami benar-benar menikah. Kita mungkin tak akan bisa bermain-main seperti ini lagi, ya?” kataku sambil mengambil remote dan menyalakan AC. Angin menghembus dari benda berwara putih itu. Melati tidak menjawab. Tiba-tiba dia menatapku dengan serius dan berkata,
“Boleh aku bertanya satu hal?”
“Apa?” tanyaku. Pertemanan kami sudah berlangsung dari jaman sekolah dulu, Bahkan, terkadang seolah-olah dia bisa membaca pikiranku hanya dalam satu kali lihat. Menjadikan suasana sangat aneh dan tidak bisa ditebak.
“Apa kau benar-benar mencintai Valentino?”
#####
Aku terkejut dan tidak bisa segera menjawab pertanyaannya. Pertanyaannya barusan jelas bukan pertanyaan yang aku kira. Aku berusaha tersenyum dan berkata, “Kau ini bicara apa sih? Kalau aku tidak mencintainya, buat apa aku repot-repot menerima lamarannya.”
Melati terdiam sebentar. Sepertinya, dia tidak ingin melanjutkan melanjutkan pembicaraan kami, tapi, akhirnya dia berkata dengan suara datar, “ Aku hanya berpikir, terkadang kau seperti sedang menunggu seseorang yang sangat kau inginkan.”
ns 15.158.61.20da2