Lauren Williams memegang sebuah bunga mawar putih di tangannya. Dia meletakkan bunga itu di atas makam mendiang suaminya. Kemudian, dia memejamkan matanya dan aku tahu jika dia sedang berdoa. Setelah selesai, dia mengecup nisan mendiang suaminya dan mengatakan hal yang selalu dikatakannya setiap kali datang ke sini.
“Aku masih mencintaimu.”
#####179Please respect copyright.PENANAU4Qr6jeHCU
Aku dan Lauren duduk di sebuah kafe kecil yang letaknya tidak jauh dari pemakaman. Aku mengeluarkan lagi sebatang rokok dan menyalakannya. Kami duduk berhadapan
“Bagaimana kabar Ethan?” tanyaku.
Ethan Williams adalah suami kedua Lauren. Mereka sudah memiliki tiga anak yang telah beranjak dewasa. Ethan sendiri adalah salah satu pengusaha yang cukup sukses di Eropa. Lauren menghirup tehnya. “Dia baik. Besok dia akan pulang dari Swedia.”
Bagaimanapun, aku tak bisa melupakan kebaikan pria itu. Sebab dialah orang yang membantuku untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang berpengaruh dan membantuku untuk maju pada saat pemilu. Lauren memandangiku dan bertanya, “Kapan kau akan menikah? Usiamu sudah hampir empat puluh. Katrina juga tidak mungkin menunggumu terus, kan?” Aku balas memandangi Lauren, meneguk kopi dan hanya diam. Tidak menjawab. Usia Katrina memang di bawahku dan aku juga tidak ingin memaksa Katrina untuk cepat-cepat menikah. Sejujurnya, aku tak tahu apa bisa menikahinya. Lauren menyentuh tanganku dan menggenggamnya dengan hangat.
Dia tahu diriku sejak aku masih kecil. Masih seorang bocah bodoh yang kabur dari rumah. Aku senang karena punya seorang teman yang bisa kuanggap sebagai ibu. Seseorang yang mengerti diriku dan mendengarkan ceritaku tanpa menghakimu dengan semena-mena.
“Apa kau masih menunggunya?” tanya Lauren.
Aku tersenyum lemah, “Kau tahu? Aku sering bertanya-tanya, jika aku bertemu dengannya sekarang. Kira-kira secantik apa dia?”
#####
Ruang kabinet adalah sebuah ruangan persegi panjang yang sederhana. Tidak ada yang istimewa di tempat ini kecuali kenyataan ruangan ini memiliki jendela-jendela besar dan juga tempat aku dan anggota kabinet lainnya rapat setiap hari kamis. Kami duduk di atas kursi masing-masing. Aku memandangi rekan-rekanku. Mereka yang sudah hafal sifatku langsung mulai berbicara. “Baik, kita langsung saja. Seperti yang sudah sama-sama kita ketahui. Kebangkitan Cina dan India sudah tidak bisa dielakkan lagi. mereka sudah mulai menguasai perekonomian dunia. Jika kita tak cepat bertindak, Inggris bisa mengalami krisis ekonomi yang bertambah parah karena masyarakat dunia lebih menyukai produk Cina daripada produk buatan Eropa.”
Aku mengangguk.
Sebenarnya, ini rapat minggu kemarin yang belum selesai. Jadi, aku sudah tahu kemana arah pembicaraan mereka. “Kita harus mengadakan kerja sama dengan negara-negara berkembang di berbagai belahan dunia dan juga memperkokoh kerja sama antara anggota Uni Eropa. Karena itu...”
Aku menghela nafas panjang.
Aku sudah bisa membaca hal ini.
“Kami mengusulkan agar Perdana Menteri sendiri yang berangkat ke berbagai belahan dunia dan mengadakan kerja sama bisnis tersebut.”
#####
Aku bukanlah laki-laki yang beruntung. Ayahku memang seorang konglomerat yang kaya raya dan juga memiliki perusahaan dimana-mana. Dia sangat sibuk, umurku baru tujuh tahun saat aku melihat kenyataan jika dia hanya mengganggap ibu sebagai seorang pendamping. Bukan istri.
Ayahku hanya menganggap ibu hanya sebagai pendamping saja. Seseorang yang berfungsi untuk mengurusi rumah tangga, melayani setiap tamu yang datang, mendampingi ayah di setiap pesta dan memperkenalkannya sebagai seorang istri, tapi tanpa cinta. Suami yang baik akan memberikan cinta pada istrinya. Menghargai kerja keras istrinya dalam bentuk apapun. Sayangnya, ayahku tidak memiliki semua itu. Ayahku memang tidak pernah memukul atau memarahi ibuku. Dia juga tak pernah meminta ibuku bekerja keras. Tapi, dia juga sama sekali tidak perduli pada ibu.
Pada suatu malam, angin berhembus dengan kencang akibat hujan yang sangat lebat sehingga membuatku tidak bisa tidur. Suara petir bergumurih diluar rumah. Badanku gemetar karena takut, akhirnya kuputuskan untuk datang ke kamar ibu. Siapa tahu dia mengizinkan aku tidur bersamanya. Lorong-lorong sangat lenggang, seperti di pemakaman. Aku memegang pegangan pintu yang lebih tinggi dariku dan membukanya, kemudian boneka yang kudekap erat itu terjatuh dengan sangat dramatis. Jendela kamar terbuka dan angin menusuk-nusuk kulitku dengan tajam. Beberapa jam yang lalu, dia masih sampai di kamar tidurku dan memberiku senyum manis. Dia juga mengucapkan selamat tidur dan mencium keningku.
Tiba-tiba, aku jadi mulai sadar bahwa sesungguhnya, ibuku terlihat sangat kesepian dan mengalami depresi yang luar biasa. Aku juga baru sadar jika ibuku manusia yang bisa lelah. Dia juga tak tahan jika ayahku hanya memikirkan dirinya sendiri dan juga perusahaannya. Ibuku sudah terlalu lama menahan luka seorang diri. Saat ini, aku benar-benar melihat semua perasaan yang ditahannya rapat-rapat. Semuanya terlihat dengan sangat jelas diwajahnya.
Aku berteriak sekuat tenaga.
Karena ibuku telah menggantung dirinya sendiri.
ns 15.158.61.20da2