Cabinet Room adalah tempat dimana aku dan jajaran kabinet mengadakan rapat bersama staf pada setiap hari Kamis. Hari ini, aku sudah selesai dengan semua pekerjaanku. Aku sedang ingin menikmati kesendirianku. Aku melangkah keluar dari kantorku. Para pengawal menunduk pertanda hormat.
“Aku ingin pergi ke suatu tempat.” kataku pendek. Salah satu dari mereka sudah mengerti dan menghubungi rekannya. Setelah itu, sebuah mobil sedan berwarna hitam yang jauh lebih besar dari ukuran sedan biasa muncul di hadapanku. Mobil itu memiliki kaca yang sangat kuat dan juga anti peluru. Seorang pengawal membukakan pintu untukku dan aku masuk ke dalamnya.
Matthew sudah duduk duluan di dalam mobil. Sedang memegang smartphone, tangannya dengan lincah melihat-lihat semua jadwal yang akan kulalui. “Pagi besok, kau ada rapat dengan anggota kabinet untuk perundingan bantuan bagi bencana alam yang terjadi di Afrika Selatan. Selain itu, kau harus sudah ada di Cambridge untuk berpidato di hadapan para mahasiswa. Sorenya, kau akan berpidato di Irlandia utara. Di hadapan pemerintah di sana.”
Aku menghela nafas panjang.
“Apa sebanyak itu?”
Matthew mengangguk, “Hanya sebatas ini yang bisa kulakukan. Kau membatalkan semua jadwal hari ini. Jadi, aku harus melakukan revisi ulang. Aku sudah berusaha membuat jadwalmu selonggar mungkin.”
“Tapi...”
Dia menatapku, wajahnya kesal. Terkadang, dia lebih menakutkan daripada aku.
“Jangan banyak protes! Pak perdana menteri.....”
“Tapi..”
“Apa kau mau aku membuat jadwalmu penuh dalam dua puluh empat jam?”
Aku tidak menjawab.
#####
Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang. Kemudian, berhenti di sebuah pemakaman di pinggir kota. Sebenarnya, pemakaman itu adalah pemakaman kristen. Tapi, ada sebuah bangunan kecil berwarna putih yang dibangun dari batu pualam. Bangunan itu berada di atas sebuah makam, sedangkan bagian tengahnya dibiarkan terbuka. Sehingga, orang yang berziarah bisa menaburkan bunga langsung di atasnya.
Makam itu adalah makam dari seseorang yang kukenal dulu sekali.
#####
Aku meletakkan salah satu bunga dan di kedua makam itu. Lalu, mendekapkan kedua tanganku dan mulai berdoa dengan khusyu. Aku terdiam selama beberapa saat. Setelah selesai, aku duduk di rumput yang hijau dan mulai ‘mengobrol’ dengannya.
“Maaf. Sudah lama aku tidak kemari. Kau tahu? Pekerjaanku sangat banyak dan membuatku sibuk setengah mati. Sampai, aku sering berpikir apa lebih baik berhenti saja?” kataku sambil tertawa sendiri. “Yah, aku tahu. Jika kulakukan itu, orang-orang yang mendukungku pasti akan marah.”
Aku menghela nafas panjang.
“Usiaku sudah genap tiga puluh sembilan, tahun ini. Aku bertanya-tanya apa yang harus kulakukan? Orang-orang di sekelilingku sudah berharap banyak agar aku menikah dan membawa istriku untuk tinggal di Downing Street No. 10. Menurutmu, siapa wanita yang cocok untukku?”
Angin berhembus perlahan.
Aku memalingkan wajahku dan kulihat tidak ada siapa-siapa. Para penjaga itu sama sekali tidak menghadap ke arahku dan aku sudah menyuruh mereka agar jangan dekat-dekat. Aku mengeluarkan sebungkus rokok yang ada di saku bajuku dan mengambil satu batang. Lalu, menyalakannya perlahan-lahan. Memang sedikit yang tahu kalau diam-diam aku merokok. Apalagi, jika Matthew melihatku, dia pasti akan marah-marah padaku.
Aku menghisap rokok itu dengan perlahan-lahan, lalu, mengeluarkannya dengan perlahan-lahan pula. Membiarkan diriku sendiri menikmati asap rokok yang keluar-masuk lewat tubuhku.
“Bagaimana kabarmu di sana? Apa kau baik-baik saja? Apa Tuhan memberimu tempat yang baik di sana?” tanyaku.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari belakangku. Dengan sigap aku membuang rokokku dan menginjaknya dengan kuat. Semoga, Matthew tidak melihatnya. Aku membalikkan badanku dan sudah menyiapkann sejuta alasan.
“Kau ini, sudah kubilang jangan merokok! Kenapa kau tidak menurut juga?” suara seorang wanita dengan nada yang tinggi berdengung di telingaku.
Aku menghela nafas panjang pertanda lega.
Untung saja bukan Matthew. Jika, iya, dia pasti akan marah. Meski, wanita itu juga tak kalah menyeramkannya kalau marah. Tapi, aku masih lebih menyukainya daripada Matthew dalam beberapa hal.
“Oh, kau Lauren.” kataku.
“Kau ini apa tidak punya sopan santun sedikit bertemu dengan orang yang lebih tua!” dia mendekatiku dan dengan kakinya yang kecil dia menendang kakiku.
“Aduh! Sakit! Kenapa kau harus selalu menendang kaki setiap kali marah?”
Bukannya menjawab, dia malah memukul badanku dengan payung kecil yang dia bawa. Aku mengaduh kesakitan, “Aww! Sakit!”
“Hah! Rasakan! Bagaimana bisa laki-laki sepertimu jadi perdana menteri? Kau hanya punya wajah yang tampan! Kau berfose di majalah-majalah seolah-olah kau ini model!”
Aku terkekeh, “Tapi, kau memang harus mengakui kalau aku tampan, kan?”
Wanita itu bersiap memukulku, tapi, kali ini aku sudah bersiap menghindar. Wanita itu kecil dengan rambut pendek yang agak kemerahan. Seorang ibu dengan beberapa anak. Dia mengenakan sebuah baju lengan panjang yang kecil dan rok pendek. Topinya dihiasi dengan bunga dan sengaja dimiringkan. Wanita itu tidak ‘cantik’ seperti para model. Tapi, jelas dia punya daya pikat.
ns 15.158.61.6da2