18
Sri Ayu Dewi Kirana Kusumawardhani
Aku berlari kesana-kemari.
“Sri cepat!” teriak Melati dari bawah. Jangan heran jika Melati teriak-teriak di rumahku. Pertama, keluargaku sudah tahu sekali tentang Melati. Sebab dia temanku sejak bertahun-tahun yang lalu. Kedua, dia memang tidak tahu malu. Suara langkah kaki naik ke lantai dua dimana kamarku berada. Melati membuka pintu dan tanpa basa-basi langsung berteriak.
“SRI CEPAATTTTTTT......”
Aku membalikkan badanku dan aku tidak memperdulikannya yang berkeringat serta kelelahan itu. “Kamu lihat cincinku enggak?” tanyaku. Melati cemberut karena aku sama sekali tak memperdulikannya. Kamarku sudah berantakan sekali karena aku tidak menemukan cincinku kembali. Melati tidak berteriak atau berkata apapun. Dia sudah faham, untuk urusan cincin itu aku memang cerewet luar biasa. Melati berjalan ke arahku dan mengangkat tangan kiriku.
“Ini cincinmu, kan?”
“Ah..... Melati makasih...” kataku sambil memeluk Melati seolah-olah aku sudah tersesat di hutan selama satu tahun, hampir mati dimakan harimau dan dialah yang menyelamatkanku. Setelah itu, aku segera membawa barang-barangku dan berlari ke bawah. Kali ini aku yang berteriak. “Mel, ayo cepat! Nanti kita terlambat lo...” Melati segera mengejarku, tapi, pandangan matanya penuh dengan tanda tanya yang susah kumengerti. Aku menjulurkan tanganku padanya, Melati mengambilnya dan tersenyum lemah. Kami berjalan beriringan seperti dulu. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Aku mengerti apa yang ada dalam pikirannya.
Kami sampai di bandara beberapa lama kemudian. Sementara yang akan pergi adalah aku, Valentino dan sebagai pendampingku adalah Melati. Aku tak mungkin pergi berdua saja dengan Valentino. Sebagai seorang anak yang lahir di keluarga baik-baik. Membuat orang tuaku benar-benar menjagaku habis-habisan. Aku sendiri lebih nyaman seperti ini, lebih nyaman karena ada teman yang menemani jadi aku tidak terlalu risih berduaan dengan Valentino nanti.
“Jaga diri baik-baik ya.” kata Ayah Valentino. Ibunya dan ibuku memelukku bergantian. Ayah tersenyum padaku dan akupun memeluknya dengan hangat. Ayahku dengan jenggotnya yang putih itu adalah malaikat penjaga yang sudah dikirim oleh Allah. Wajahnya yang teduh itu menatapku dengan tenang.
“Semoga kamu bahagia Nak.” katanya.
Aku memeluknya dengan sangat erat. Aku tahu ayahku ini sangat berat sekali melepasku. Sebab setelah liburan ini aku akan menjadi istri orang lain. Aku akan dimiliki oleh orang lain dan aku akan tinggal terpisah darinya. Ibuku hanya mengelus punggungku dengan sayang.
“Ayo Sri! Pesawat kita sudah mau berangkat!” teriak Melati. Aku melepaskan pelukanku dan berjalan beriringan dengan Valentino dan Melati. Valentino didepan, sementara aku dan Melati saling berpegangan tangan. Aku menyenderkan kepalaku ke bahu Melati yang tak kalah kecilnya dariku. Melati adalah perempuan kuat, meski menyebalkan dan cerewet. Aku tak akan mengubah pernyataanku itu. Meski, sama-sama kuliah, Melati sudah bisa membantu kedua orang tuanya dengan bekerja. Bahkan, setelah lulus SMA, Melati menghabiskan waktunya dengan kuliah sambil kerja demi keluarganya. Karena itu, selama pertemanan kami, aku terbiasa untuk bercerita banyak hal padanya.
Kecuali, tentang cincin emas putih yang tersungging di jari manis kiriku.
Aku tak pernah bercerita pada siapapun. Termasuk pada Melati, tapi, dia seolah-olah sudah tahu jika ada sesuatu yang tersembunyi di dalam cincin itu. Sesuatu yang besar yang membuatku tidak bisa melupakannya.
“Apa kau tidak apa-apa?” tanya Lia tiba-tiba membuyarku.
“Tidak.” kataku.
“Jangan berbohong! Kalau kau berbohong aku jadi tambah khawatir.”
“Tidak.” kataku lagi.
“Dasar!”
Kami beriringan menuju pesawat, Valentino sudah berdiri di depan pintu. Matanya menatapku sambil tersenyum. Valentino adalah laki-laki yang baik.
“Kau lama sekali.”
“Biarin!” kataku sambil cemberut.
Valentino tertawa perlahan dan kali ini dia juga berjalan beriringan bersamaku dan Melati. Tiba-tiba hujan turun, bandara di guyur hujan dan kesejukan muncul tiba-tiba. Kulihat beberapa petugas sibuk berlarian kesana-kemari. Mungkin, mereka harus berhati-hati karena pesawat akan segera berangkat. Aku berjalan dengan lebih bersemangat, kali ini aku tak akan membiarkan kejenuhan merusak suasana hatiku dalam liburan ini.
119Please respect copyright.PENANAfbOfAN1OhP