Aku menghirup udara segar yang muncul seketika ketika kami keluar dari Aéroport Paris-Charles de Gaulle atau yang dalam bahasa Indonesia berarti BandaraUdara Paris-Charles de Gaulle, sebut aku kampungan. Tapi, ini Perancis! Salah satu negara dengan turis paling banyak di seluruh dunia. Karena negara ini adalah negara yang indah dan penuh dengan seni tingkat tinggi.
Pemandu kami adalah seorang pria berkaca mata yang terlihat ramah dan agak gendut. Wajahnya agak kebapakkan dan setahu kami –seperti yang diperkenalkannya sendiri- dia adalah salah satu pegawai kementrian budaya di KBRI[1] Perancis. Aku dan juga sekitar tiga puluh turis lainnya sudah dipersiapkan sebuah bus yang lumayan besar. Bus itu berwarna putih dengan tulisan besar di sampingnya yang tak kumengerti.
“Ayo silahkan Nona! Masuk terlebih dahulu dan segera pilih tempat duduk anda. Kita akan segera ke hotel dan mulai check in. Lalu, mulai mencari makan dan berjalan-jalan. Kalian pasti lelah, kan?”
Kami -aku dan Melati- mengangguk- sedangkan Valentino, sedang berbicara dengan seseorang dalam bahasa perancis. Aku lupa mengatakannya, dia bisa beberapa bahasa selain Bahasa Indonesia. Salah satunya, bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa perancis. Aku melepaskan tanganku dari Melati dan akan mendekati Valentino. Tapi, ketika akan mendekati Valentino, tiba-tiba aku tak sengaja bertabrakkan dengan seorang bule.
“Maaf.” kataku yang tanpa sadar dengan bahasa Indonesia.
“Sorry...” kata bule itu.
“Kau pergilah duluan!” kataku pada Melati. Melati tersenyum menggodaku, kemudian, naik ke bus. Aku menyentuh bahu Valentino, “Ayo Mas, kita pergi!! Nanti terlambat baru tahu rasa!” kataku. Valentino berbalik dan tersenyum.
“Iya, Adek!”
“Jangan iya-ya aja! Ayo sambil jalan! Kamu tahu dulu aku pernah tersesat ketika liburan ke Inggris dulu! Kamu mau hal seperti itu terjadi lagi?!”
Valentino tertawa perlahan, lalu, dia berbicara dalam bahasa Perancis pada orang tadi dan membawaku pergi. Kami berjalan berduaan ke arah bus. Aku tak tahu ada apa, tapi, tiba-tiba Valentino berbicara dan membuatku terkejut, “Kalau kamu tersesat lagi, aku akan menemukanmu. Insya Allah.”
Suaranya tenang, tapi, ada nada tegas dalam suaranya. Kali ini, aku yang tersenyum dan berlari meninggalkannya di belakangku. Setelah sampai di bus, aku berbalik dan memandangnya. “Kau janji?”
Dia memandangiku dengan tegas dan berkata,
“Iya, aku janji.”
#####
Kami berjalan-jalan dengan bus dan pemandu kami dengan sigap menjelaskan setiap bangunan yang kami lewati. Bus memang berjalan tidak terlalu cepat. Jadi, kami bisa memeperhatikannya dengan seksama. Bahkan, Melati dengan cekatan memotret setiap bangunan itu ke dalam kamera digital miliknya.
Aku tidak banyak bicara dan lebih banyak mendengarkan penjelasan dari si pemandu wisata saja. Aku bersyukur bisa datang ke negeri ini, rasanya menyenangkan dan juga mendebarkan. Membayangkan bisa melihat karya-karya dari seniman tingkat dunia. Aku juga sudah bersiap-siap untuk pergi ke Louvre atau melihat pemandangan kota dari atas Menara Eiffel.
“Baik, para penumpang yang terhormat. Sebelum kita pergi ke Menara Eiffel dan juga mengunjungi Museum Louvre yang terkenal itu. saya harap anda berkenan untuk berbelanja dulu seperlunya di pasar tradisional yang kebetulan sedang diadakan di Paris. Jika anda ingin membeli buah atau makanan anda bisa membelinya di sini. Setelah itu, kita akan ke hotel dan melakukan check in. Lalu, baru mengunjungi Menara Eiffel dan Museum Louvre.”
Beberapa saat kemudian, bus berhenti dan tampaklah olehku sebuah pasar tradisional yang menjual berbagai macam kebutuhan. Pasar itu berbentuk seperti persegi panjang yang memanjang sepanjang jalan. Beberapa penjual menawarkan apel, jeruk dan tak sedikit juga yang menjual bunga-bunga. Salah satu yang menarik perhatianku adalah bunga-bunga yang dijual pedagang di bagian ujung pasar. “Aku akan membeli bunga di sebelah sana.”
“Jangan pergi dulu! Kita pergi berdua, atau minta saja Mas Valentino untuk menemanimu.” kata Melati. Aku tidak terlalu mengindahkannya. “Tenang saja, dekat ini. Lagipula, memang apa yang akan terjadi?”
Melati tidak bisa menjawab lagi, lagipula dia memang sedang sibuk memilih buah-buahan yang akan dia beli nanti. Aku melangkah dengan senang ke arah tempat penjualan bunga. Aku memang suka bunga dari dulu dan melihatnya membuatku senang. Tempat penjualan bunga itu sedikit lebih tertutup dari tempat penjualan buah-buahan atau barang lainnya. Mungkin, karena bunga sangat dipengaruhi suhu. Jadi, mereka menempatkannya di tempat yang berbeda.
Bunga-bunga anggrek putih yang indah itu berjejeran dan disimpan dengan sangat apik. Membuat orang yang melihatnya tidak akan merasa bosan. Tidak hanya aku yang melihat, tapi, banyak sekali orang yang juga datang untuk melihat bunga anggrek yang indah itu. Tiba-tiba aku merasakan ada yang menyentuh tas kecilku. Aku memang memakai tas itu khusus untuk menyimpan uang kecil dan paspor yang selalu kubawa kemana-mana. Aku menengokkan kepalaku dan seorang pria kecil sedang memegang dompetku.
Pria itu juga terkejut. Lalu, dia menarik tasku dan tak perlu menunggu lama. Tas itu putus seketika. Aku mengejar laki-laki itu dan berteriak tak karuan. Tapi, aku sama sekali tak tahu apa bahasa Perancisnya pencuri. Jadilah aku berteriak-teriak seperti orang dengan bahasa Indonesia dan juga bahasa Inggris.
“Pencuri!!! Tolong ada pencuri!” Teriakku dengan bahasa indonesia. Orang-orang masih tak mengindahkanku. “Pickpocket! Please help me!”
Tapi, masih juga tidak ada respon.
Pencuri itu berlari melewati jalan, aku mengangkat rok panjangku dan mengejarnya. Untung saja, aku masih mengenakan celana panjang di balik rok milikku itu. Pencuri itu berlari dan masuk ke dalam celah diantara dua gedung besar. Aku tak perduli dan terus mengejarnya. Jangan salah, meski wanita. Kekuatanku tak akan kalah dari laki-laki. Sebab, aku sudah berlatih aikido selama bertahun-tahun dan sudah mendapat dan[2] dua.
Ketika keluar dari celah, pencuri itu membelok, akupun segera berlari lebih cepat dan ketika keluar dari gedung itulah. Aku bertabrakkan dengan seorang pria asing.
BRUKK!!!
Aku terdorong ke belakang, aku terjatuh. Badanku sakit, laki-laki bule itu juga terjatuh. Tapi, aku segera bangkit. Jika tidak cepat-cepat, pencuri itu pasti sudah jauh. Orang asing itu juga bangkit dan begitu melihat kebelakang.
Mataku terbelalak.
Ada berpuluh-puluh orang yang mengejar laki-laki itu. Aku panik, laki-laki itu juga panik. Kami berdua panik. Laki-laki itu panik karena dikejar-kejar orang, aku panik karena mengejar seorang pencuri yang mencuri tasku. Aku segera berlari mengejar pencuri itu, laki-laki itu segera bangkit dan juga ikut berlari supaya tidak dihajar oleh orang-orang.
Kami berdua, lari tunggang-langgang.
Pencuri itu masuk ke dalam sebuah bus, aku juga langsung naik bus lain yang sepertinya searah dengan bus itu. Laki-laki itu juga masuk ke dalamnya. Aku mencari-cari kemana pencuri itu lari, mataku menyapu sepanjang bus. Kemudian, aku melihatnya turun dari bus. Ketika aku hendak mengejarnya, tiba-tiba bus berjalan.
#####
Aku tak percaya. Hal seperti ini terjadi untuk yang kedua kalinya. Ini benar-benar membuatku terkejut setengah mati. Aku tidak berhasil membuat supir bus itu berhenti karena dia acuh tak acuh padaku. Jadi, aku terus terbawa dalam bus sampai berkilo-kilo meter jauhnya. Sekarang, sudah hampir sore. Mungkin tak lama lagi matahari itu akan pergi. Membiarkan malam datang. Aku sedang duduk di. Menunggu bus lain datang. Di sampingku, laki-laki yang tadi dikejar-kejar juga tampaknya tersesat sepertiku. Dia duduk di sampingku –sambil menjaga jarak- dan –tanpa kutahu- petualangan cintaku.
Dimulai lagi.
[1] Kedutaan Besar Republik Indonesia
[2] Tingkatan dalam aikido.