Romeo James Watson
Aku memandang wanita dalam pelukanku, setelah semuanya selesai kuharap, dia juga menatapku, tapi nyatanya, dia melakukan sesuatu yang membuat suasana indah ini hancur lagi. Ketika kulihat wajahnya menjadi pucat dan dari mulutnya keluar cairan yang menjijikan.
Dia muntah di bajuku.
Aku langsung melepasnya, dia langsung melangkah ke pinggir jalan. Lalu, muntah di dekat selokan. Aku mendekatinya dan ingin memijit lehernya. Tapi, dia menolak, “Jangan mendekat!” katanya. Aku mengurungkan niatku dan menurunkan tanganku. Dia terus muntah, aku segera berlari dan mencari-cari minimarket yang dekat. Setelah kutemukan, aku langsung masuk ke dalamnya dan membeli sebotol minuman isotonik supaya air tubuhnya yang hilang segera kembali lagi. Tapi, ketika kembali ke tempat sebelumnya, Dewi menghilang. Aku memalingkan wajahku kesana- kemari. Tapi, dia tetap tidak berada di manapun. Tiba-tiba rasa khawatir menyeruak ke dalam dadaku.
Dimana dia?
Aku berjalan dan terus berjalan, melewati berbagai macam orang dan berbagai macam bangunana. Kemana Dewi? Aku terus mencarinya, aku sangat takut dia pergi lagi dan aku akan merasa bersalah seumur hidupku. Aku takut tak sempat melakukan perpisahan lagi dengannya. Keringat mengucur dari dahiku karena kelelahan. Aku sudah lupa pada bajuku yang kotor karena muntah. Lupa jika aku seorang perdana menteri. Saat ini, aku seperti hanya seorang laki-laki yang khawatir jika orang yang dicintainya pergi.
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
Kurasakan seseorang menepuk bahuku, aku membalikkan badanku. Dewi sedang berdiri di belakangku dengan wajah masih agak pucat. Wajahnya basah karena air. Dia tersenyum sedikit padaku, “Kau kemana saja, tadi aku ke kamar kecil dulu. Tapi, ketika aku kembali kau tidak ada.”
Aku menarik lengannya dengan kuat dan membenturkannya di dinding. Dia terkejut, berusaha untuk melepaskan dirinya dari diriku. Tapi, aku menahannya dengan kuat. Rasa marah meledak dari dalam hatiku, keluar lewat mulutku, “APA YANG KAU LAKUKAN? APA KAU TIDAK TAHU AKU SANGAT MENCEMASKANMU? AKU MENCARI-CARIMU KE SANA KEMARI DAN KETIKA AKU TIDAK MENEMUKANMU, KAU PIKIR BAGAIMANA PERASAANKU?!”
Suaraku sangat keras sampai beberapa orang melihat padaku, tapi, aku tak perduli dan terus berteriak padanya. Padahal wajah kami nyaris bersentuhan, “APAPUN YANG TERJADI, JANGAN PERNAH TINGGALKAN AKU! AKU.....AKU......”
Mata kami bertatapan.
Tiba-tiba aku sadar jika aku nyaris saja kelepasan. Aku segera melepaskannya dan melangkah pergi. Minuman yang sudah kubawa, kubuang di jalanan. Aku masih amat kesal. Aku melangkah dengan cepat dan masuk ke sebuah taman kecil, mendekat ke keran dan menyalakannya. Lalu, mengambil air dan membersihkan bekas muntahan yang ada di bajuku. Dewi tahu-tahu sudah berada di sampingku dan menatapku dengan matanya yang kecil, tapi tajam. “Kau marah, ya?” tanyanya. Aku tidak menjawab, pura-pura sibuk. Tapi, dia tetap berada di sampingku dan mengatakannya berulang-ulang, “Kau marah, ya? Jangan marah, ya? Ya, sudah. Aku akan meminumnya deh...”
Dia membuka bungkusan obat dan menuangkannya ke dalam botol. Lalu, meminumnya seperti orang yang kehausan. Setelah habis, dia memasukkan botol dan obat itu ke dalam tong sampah yang ada di dekat kursi yang kami duduki. Dia menatapku dan tersenyum membujuk, “Kau sudah tidak marah, kan?”
Aku tidak menjawab. Tapi, langsung mendekatinya dan mengeluarkan sapu tangan yang ada di sakuku. Lalu, mengelap pipinya yang belepotan air. Kemudian, seperti terjadi begitu saja, kami bertatapan.
“Eh, biar aku saja.” katanya tiba-tiba sambil mengalihkan pandangannya. Dia mengambil sapu tanganku, tanpa membuat tangan kami bersentuhan. Kemudian, dia mengelapnya sendiri. Dewi sudah selesai mengelap wajahnya yang belepotan air. Dia memasukkan sapu tanganku ke dalam sakunya, kemudian dia memalingkan wajahnya padaku. “Aku berhutang padamu. Nanti sapu tangan ini akan kubersihkan dulu, setelah itu baru aku kembalikan padamu.”
Aku hanya mengangguk dan diam. Tiba-tiba Dewi langsung berdiri dan memandangku sambil tersenyum, “Ayo kita pergi! Nanti kita bisa tambah lama.” katanya. Aku juga berdiri dan kami berjalan bersama.
Aku tahu jika perbuatan ini salah, harusnya aku langsung mengatakan padanya siapa aku. Tapi, aku takut dia belum siap. Jika waktunya tiba, aku akan memberitahunya. Tapi, tidak sekarang, tidak di saat bajuku bau muntah, tersesat dan terlihat menyedihkan. Aku akan memberitahunya jika keadaanya sudah menjadi lebih baik. Tapi, saat ini, izinkan aku untuk menikmati saat-saat kami berdua seperti ini.
132Please respect copyright.PENANAzsCn4VaAZa