Saat aku berusia lima tahun, orang tuaku bercerai. Aku tinggal dengan ayahku sejak saat itu. Sementara itu, ibuku, yang ternyata berasal dari luar pulau, kembali pulang ke kampung halamannya. Aku selalu bertanya-tanya tentang alasan ibuku yang tidak mengajakku bersamanya. Namun, orang-orang di sekelilingku tak mampu memberikan jawaban. Sampai aku remaja, ibu masih mengujungiku secara rutin setahun sekali. Ibu akan datang pada saat libur sekolah lalu aku akan tinggal di hotel tempatnya menginap dan menghabiskan waktu dengannya.
Sejak, aku masuk SMA, ibu tak pernah lagi mengunjungiku. Aku sempat mengambek pada ayahku dan nenekku karena ibu tak datang. Namun, ayahku dan keluarganya juga tak bisa mencarinya karena ibu tinggal di luar pulau dan tak ada yang mengetahui tempat tinggalnya.
Setelah aku bekerja dan bisa menghasilkan uang sendiri, aku bertekad untuk mencari ibu. Aku menabung untuk ongkos dan bekal untuk mencari ibu. Aku bekerja keras mengumpulkan uang demi niatku untuk mencari ibu. Namun, entah mengapa, selalu ada saja keperluan yang mengharuskan aku memakai uang simpananku. Aku selalu berakhir di warung kopi langgananku dengan secangkir kopi seraya mengutuki situasiku. Tiba-tiba, aku mendengar suara ibu. Aku yakin suara itu adalah suara ibuku. Suara itu berasal dari televisi yang sedang menayangkan talkshow dengan narasumber seorang menteri wanita. Aku mendekat ke arah televisi. Benar saja, menteri itu adalah ibuku. ***