Setelah semua pelajaran selesai, Aziz segera merapihkan barang-barangnya.
"Mad, gua duluan," kata Aziz lalu buru-buru keluar kelas. "Dahhh." lanjutnya sebelum meninggalkan kelas.
Tidak seperti biasanya, Aziz yang pertama kali meninggalkan kelas. Biasanya ia yang paling akhir. Bukan hanya teman-teman sekelas nya memandangnya dengan pandangan bingung, tapi juga guru yang mengajar tadi juga kebingungan.
"Kenapa dia?" tanya Zidan.
"Entahlah." jawab Ahmad, juga kebingungan.
Aziz sebenarnya meninggalkan kelas duluan karena ingin cepat-cepat memberikan tahu rencananya kepada Rika. Ia berlarian di sepanjang lorong menuju ke kelas Rika. Di sisi lain, Rika sedang berada di depan kelasnya sambil mengobrol dengan Zizi, teman sekelas. Saat tiba-tiba Aziz datang dengan kecepatan tinggi, mendatanginya. Dan tentu saja, Rika shok.
"Rika, Rika. Aku punya rencana bagus." Kata Aziz sambil mengguncang-guncang pundak Rika.
"A-ada apa ini?" tanyanya lalu mencengkam tangan Aziz dengan tujuan untuk membuatnya berhenti mengguncang-guncang dirinya.
"Eh, maaf," kata Aziz lalu berhenti. "Aku punya rencana bagus." ulangnya.
"Rencana apa?"
"Ayok kita ngebahas di tempat lain. Jangan di sini," usul Aziz lalu menggandeng tangan Rika. "Ayok, di rumah aku aja." lanjutnya.
"Di rumah kamu?" usul AIz.
Tiba-tiba muka Rika memerah. Tapi seketika pipinya yang memerah menghilang
Lalu melepaskan genggaman tangan Aziz dengan kasar.
"Maaf, tapi aku sibuk." katanya lalu mengalihkan pandangannya dari Aziz.
Aziz tidak peka dan hanya mengiranya benar-benar sibuk.
"Oh, yaudah, gak papa. Besok aja aku kasih tau," kata Aziz dengan muka tidak bersalah, lalu berjalan perg meninggalkan Rika. "Dahh…" Aziz melambaikan tangan.
“Aaaaa… gua jadi iri deh,” kata Zizi, mengguncang-guncang tangan Rika. “Tapi apakah dia selalu seperti itu?” lanjutnya, bertanya.
“Apanya yang selalu seperti itu?” tanya Rika, tidak mengerti.
“Sifatnya. Biasanya dia itu dingin banget. Apa lagi kalo sama cewek.”
“Oh, yah?” Zizi mengangguk.
“Tapi… belakangan ini dia kelihatan lebih ceria. Apakah karena kedatangan elu?”
“Mungkin?” ketus Rika.
“Kenapa lu? Marah ama gua?”
“Bukan…” jawab Rika.
“Terus, sama siapa?”
“Sama Aziz.” jawab Rika.
“Loh, kenapa?” Rika tidak menjawab. “Cemburu yah?” tebak Zizi, mengoda Rika.
Muka Rika memerah. “Ih… apaan sih?”
“Udah deh, gak usah boong,” kata Zizi, mengoda Rika. “Tapi kenapa emang lu cemburu?”
“Ihhh, kepo deh luh,” batin Rika lalu melangkah, menjauhi Zizi. “Udahah, gua mau pulang aja.”
“Yaelah, gitu aja marah. Nanti gua bilangin Aziz loh.” ancam Zizi. Tapi Rika terus berjalan, tanpa memperdulikan Zizi.
“Tenang kan dirimu, Putri. Di hanya sahabat bukan lebih.” gumamnya dalam hati.
Malam harinya, setelah merencana rencananya matang-matang, ini waktunya memberi tahukan rencananya kepada Tristan. Aziz mengambil handphone miliknya dari atas meja belajar dan menelponnya. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Tristan mengangkat.
Aziz meletakkan handphone di telinganya dan terdengar suara Tristan mencerocos kesal dari ujung sana.
“Woiii!!! Ngapain lu telepon gua malem-malem? Lu kagak tau gua lagi enak-enaknya tidur.”
“Tidur? Buset! Ini baru jam 7. Udah tidur aja lo?”
“Iyah, lah. Emang lu kira gak capek apa? Mana besok masih ada ekskul segala.”
“Iya-iya, terserah. Ada hal yang lebih penting yang harus gua bahas sama lo.”
“Apaan?”
“Gua mau ngebantu Ahmad, dekat lagi sama Dinda,”
Tristan kaged dan tidak tahu menjawab apa.
“Gua gak boong. Gua udah nyiapin semua rencananya. Jadi lu tinggal ngebantuin gua.”
“Be-bentar, kenapa tiba-tiba begini? Kenapa lo tiba-tiba mau ngebantu Ahmad pacaran sama Dinda? Dia yang mau?”
“Enggak sih…“
“Terus, kenapa lo minta bantuan ke gua?”
“Karena gua cuma punya nomer telepon lu di hp gua. Dan lu ikut ekskul bulu tangkis, sama kayak gua.”
“Astaga, cuma gitu doang?”
“Heheheh… Dan lu satu-satunya orang yang gua kenal, gak tertarik sama Dinda.”
“K-kok, lu bisa tau?”
“Gampang kali.”
“Tapi emang Ahmad dan Dinda mau? Lagian, kita tuh masih SMP. Jangan mikirin pacaran dulu.”
“Lah siapa yang ngomongin soal pacaran?”
“Lah, katanya lu mau ngebantu Ahmad, dekat sama Dinda.”
“Iya, sebagai sahabat, atau minimal teman lah.”
“Emang mereka bukan temen sekarang?”
“Kagak kok.”
“Tapi mereka temen satu kelas?”
“Iya, itu benar. Tapi emang sih Ahmad gak pernah cerita ama lu?”
“Soal apa?”
“Ahmad sama Dinda itu dulunya sahabat.”
“Hah!? Gak mungkin,”
“Iyah, bener.”
“Tapi kok mereka jadi jauhan gitu sekarang.”
“Kasusnya sama kayak gua dan Rika.”
“Rika? Siapa itu?”
“Zarika Kalin Putri. Sahabat lama gua.”
“Ohhh… yang peremuan yang dekat sama lu yah?”
Heemm.”
“Tapi kok lu bisa tau Dinda dan Ahmad sahabatan dulu?”
“Ahmad pernah cerita. Katanya mereka udah 5 tahun gak ketemu. Lebih lama dari gua dan Rika.”
“Ohhh…”
“Sebenarnya udah lama sih, gua mau ngebantuin hubungan mereka. Tapi entahlah, baru sekarang gua bener-bener mau ngebantuin mereka.”
“Iya, lah. Dulu kan lu orangnya dingin ama cuek. Mana mau lu ngurusin masalah-masalah kayak gini dulu.”
“Terserah lah. Tapi, gimana? Lu mau gak bantuin gua?”
“Boleh lah. Kapan?”
“Lusa, pas selesai ekskul hari sabtu.”
“Terus apa rencananya?”
“Besok gua beri tau. Sama sekalian Rika.”
“Ohhh… yaudah, besok yah. Sekarang gua tutup. Selama malam.”
“Malam.”
Setelah selesai menelpon Tristan, Aziz kembali melanjutkan belajarnya.
Di sisi lain, Rika sedang berada di kamarnya sambil memainkan handponenya. Tiba-tiba wajah Rika memerah. Kerena sebuah pikiran melintas di otak Rika.
Rika meletakkan handponenya dan bengong memikirkan Aziz.
“Hemmm…” gumam Rika lalu membaringkan diri di atas kasur. “Ihhh...kenapa kamu Putri? Aku harus sadar.” lanjutnya sambil menepuk-nepuk pipinya.
Saat Rika sedang menenangkan dirinya, tiba-tiba ada telepon entah dari siapa. Rika terkejud dan segera mengambil handpone di sebelahnya. Saat ia melihat siapa yang menelponnya, mukanya menjadi kesal. Ternyata yang menelpon adalah Aziz.
“Hemm, ngapain dia nelpon malem-malem?” gumam Rika sambil berpikir ingin menjawab telepon Aziz atau tidak.
Tapi ringtone handpone Rika terus berbunyi. Akhirnya ia pun dengan terpaksa, mengangkat telepon Aziz.
Saat di letakkan di telinganya, Rika bisa mendengar suara Aziz yang jelas terdengar bersemangat.
“Ada apa nelpon malem-malem?” ?” tanya Rika, dingin.
“Eh, maaf ganggu malem-malem. Kamu gak papa? Kamu kedengerannya marah.”
“Gak apa-apa kok. Kenapa? Mau ngebahas apa?”
“Aaaaaa, kamu marah sama aku yah?”
“Hem, tau deh.”
“Kenapa?” tanya Aziz.
“Gak papa kok.” ketus Rika.
“Maaf, jika aku berbuat salah. Aku gak bermaksud kok.”
Walaupun melalui telepon, Rika masih bisa mendengar suara hangat dan lembut Aziz. Membuat Rika menjadi agak merasa bersalah.
“Haaaa..., huuu…” Rika menarik nafas dalam-dalam dan mencoba untuk melupakan masalah tadi siang.
“Rika?” tanya Aziz melalui telepon. Setelah melepaskan rasa marahnya, Rika tertawa, membuat Aziz yang ada di sana, kebingungan.
“Aduhhh, kamu tuh yah. Gak tau salahnya apa, tapi udah minta maaf. BODOH!”
“Yah…, maaf. Kalau aku emang salah.”
“Lu tuh cowok, tapi gambang banget minta maaf.”
“Aku hanya tidak ingin memperpanjang masalahnya. Jadi lebih baik minta maaf aja duluan.”
“Gitu yah? Jadi ada apa kamu telepon malem-malem?”
“Aku cuma mau nanya, besok kamu mau ngebantuin aku gak, memperbaiki hubungan Ahmad dan Dinda?”
“Siapa itu?”
“Temen sekelas ku.”
“Kenapa emang mereka? Berantem?”
“Ceritanya panjang. Tapi kurang lebih, kayak masalah awal kita,”
“Masalah awal kita?” tanya Rika di dalam hati.
“Besok deh aku ceritain. Kalau sekarang aku cuma mau nanya gituan doang.”
“Oh… oke. Di tempat biasa yah.”
“Iyah”
Setelah selesai, mereka berdua pun mematikan teleponnya masing-masing.
ns 15.158.61.7da2