“Aziz, pagi.” sapa Rika yang baru datang dan langsung menghampiri Aziz dan Ahmad yang sedang melihat papan pengumuman, yang di sana terdapat nama-nama SMA Dimas Karya anak dan kelas nya.
"Oh, Rika. Ayok sini!" panggil Aziz yang berada di belakang kerumunan anak-anak kelas 10.
Ya, itu benar. Aziz, Ahmad, dan Rika berhasil masuk ke SMA Dimas Karya. Bukan hanya mereka, tapi juga Dinda, Tristan, Zidan, dan Fadlan, sama seperti yang mereka rencana dulu. Dan sekarang mereka sudah menjadi sahabat dekat.
Rika menghampiri Aziz dan Ahmad. "Dimana yang lain?" tanyanya sambil melihat-lihat sekeliling, mencoba mencari Dinda, Tristan, Zidan, dan Fadlan.
"Kayaknya mereka belum dateng." jawab Ahmad.
"Ohhh, ngomong-ngomong, kalian masuk kelas berapa?" tanya Rika sambil memperhatikan papan pengumuman tersebut.
"Gua masuk kelas C, " jawab Ahmad yang agak kecewa dengan dirinya sendiri. "Padahal pas UN kemarin nilai gua bagus." lanjutnya.
“Mending anak IPA. Gua kelas D, IPS,” kata Rika lalu memerhatikan papan pengumuman lagi. “Kau kelas berapa, Aza?” lanjutnya sambil mencari nama Aziz.
“Dia mah di kelas A.” jawab Ahmad, menggantikan Aziz.
“Wahhh, kelas anak pinter yah?” tebak Rika, yang merasa kagum.
“Mungkin.” jawab Aziz.
Di SMA Dimas Karya 1 angkatan ada 8 kelas. Kelas A-H. Kelas A, B, dan C adalah anak IPA. Kelas D, E, dan F adalah anak IPS. Sedangkan kelas G dan H adaah anak Bahasa. Dan kepintaran siswa dapat diukur dengan ururtan kelasnya. Yang artinya kelas A adalah kelas anak-anak pintar.
“Berarti kalian gak sekelas dong?” tanya Rika pada Aziz dan Ahmad.
“Enggak. Tapi setidaknya masih ada beberapa anak di kelas gua, yang gua kenal,” jawab Ahmad lalu kembali melihat papan pengumuman. “Lu sekelas sama Zidan yah?” tebak Ahmad.
“Iyah kayaknya begitu.” jawab Rika.
Saat mereka bertiga sedang asyik mengobrol, tiba-tiba dari arah belakang, ada yang mencoleh tubuh Rika. Rika yang terkejud langsung memutarkan badanya.
“Heiii, kalian lagi pada ngapain?” yang ternyata orang itu adalah Dinda.
“Eh, Din. Ini lagi ngeliat siapa masuk kelas mana.” jawab Rika sambil menunjuk ke papan pengumuman.
“Ohhh,” Dinda pun juga mulai mencari namanya di papan pengumuman. “Ngomong-ngomong, gua di kelas mana yah?” lanjutnya.
Dengan kasar, Zidan mendorong tubuh Ahmad. “Minggir! Gua mau liat.” katanya.
Ahmad tidak terima. “Woiii, ngomong permisi napa. Main senggol-senggol aja.” protes Ahmad.
“Din, lu di kelas A, bereng Aziz.” kata Zidan pada Dinda.
“Oh, yah?” tanya Dinda, tidak percaya.
“Jangan kesenenagan lu.” sengit Rika, cemburu.
“Eh, iya, maaf.”
“Wah, tahun ini gua sekelas sama Rika. Mohon kerja samanya yah.” ujar Zidan.
“Iya, mohon kerja samanya juga.” kata Rika balik.
“Wah, Fad! Lu masuk kelas Bahasa yah?” tebak Tristan.
“Iya, kayanya gitu.” jawab Fadlan.
“Enak bet, dah. Gua kan pengen masuk kelas Bahasa.”
“Emang lu masuk kelas apaan Tris?” tanya Rika.
“Kelas B.” jawab Tristan singkat.
“Wahhhh, berarti lu anak IPA yah?” tebak Zidan. Tristan mengangguk.
“Wahhh, berarti sekarang otak lu lebih pinter, daripada Ahmad.” ejek Zidan sambil melihati wajah Ahmad. Dan tertawa saat melihat wajah cemberut Ahmad.
“Padahal gua kepengennya masuk kelas Bahasa aja.”
“Udah masuk kelas unggulan, tapi kagak bernyukur.” ketus Ahmad.
“Wahhh, lihat itu Aziz. Ganteng banget yah?”
“Dia masuk kelas A yah? Hebat bet, yah.”
“Wahh, gua gak percaya, gua sesekolalah sama Aziz.”
Bisikkan anak-anak mulai terdengar. Baru saja masuk, Aziz sudah menjadi pusat perhatian seisi sekolah.
“Wah, baru aja masuk, dah terkenal aja lu Ziz.” canda Fadlan.
Aziz yang geram, ingin segera meninggal tempat. “Udah, ah. Gua pengen masuk kelas,” kata Aziz ingin segera bersembunyi di kelasnya. “Ayo, Din.” ajaknya.
Dinda berdiri mengejar Aziz. “Iyah, tunggu.” katanya.
Aziz menoleh ke belakang. “Kalian juga sebaliknya masuk. Keburu bel.” nasihat Aziz.
“Iyah, Bapak.” canda Tristan. Bukannya marah Aziz malah tersenyum dan tertawa.
“Nanti kita makan bareng yah.” aja Rika pada semuanya.
Saat jam istirahat, Aziz mendatangi meja Dinda, yang berada di depannya.
“Din!” panggil Aziz.
Dinda yang sedang menulis langsung memutuskan perhatiannya kepada Aziz. “Kepada?” tanyanya.
“Gua boleh minta tolong sesuatu gak?”
“Apa itu?”
Aziz mendekatkan mulutnya ke telinga Dinda dan membisikkannya sesuatu. “Jadi begini…”
Beberapa saat kemudian, “Boleh, akan gua bantu,” kata Dinda setuju.
“Tapi Bukannya akan lebih cepat selesai kalo semuanya ikut serta.” usulnya.
“Iya, sih… Tapi gua agak sedikit malu untuk ngomong ke mereka.”
“Ngapain malu? Kan ini semua untuknya.”
“Emmmm…”
“Atau nanti deh, gua yang bilangin ke mereka.”
“Oh, yah?” Aziz menggenggam tangan Dinda. “Makasih yah.” tambahnya.
“Iya-iya. Tapi nanti tolong ajak Putri ke kantin!” pinta Dinda.
“Oke-oke, serahkan ke gua.” kata Aziz dengan percaya diri maksimal.
“Heiii, jangan pacaran terus,” ejek Tristan dari balik pintu kelas mereka, bersama yang lain. “Ayo, kita makan.” lanjutnya.
Aziz melepaskan tangan Dinda dan buru-buru mengambil kotak bekal dan mengajak Dinda untuk keluar.
“Ayo, Din, kita keluar.” ajaknya.
Dinda bangkit dan mengambil kotak bekal miliknya. Lalu mengikuti Aziz menuju teman-temannya, yang sudah menunggu di luar.
“Maaf lama.” kata Aziz.
“Ayo, cepetan. Keburu tempatnya diambil sama orang lain.” ajak Tristan yang sudah tidak sabar ingin makan.
"Ngomong-ngomong, mana Fadlan?" tanya Dinda.
"Fadlan sama temen sekelas nya." jawab Ahmad.
"Udah di ajak. Tapi dirinya gak mau." jelas Zidan.
"Ah, lu pada lama. Gua duluan aja." Tristan duluan berjalan, meninggalkan yang lain.
Yang lain pun juga berjalan ke tempat yang mereka incar.
Saat ditengah-tengah perjalanan Dinda menjawil Aziz. Aziz langsung menyadari maksud Dinda.
Aziz mengejar Rika yang berada di depannya. "Rika, temenin aku ke kantin yuk." ajaknya dan langsung menarik tangan Rika tanpa Rika bisa mengatakan apapun.
"Kenapa ya, kalo sama Putri, Aziz jadi lembut banget orangnya?" tanya Tristan, penasaran.
"Kenapa? Lu cemburu?" canda Zidan.
Muka Tristan memerah. "Ya, enggak lah. Gua cuma penasaran aja."
"Mereka temenan dari kecil. Jadi wajar aja, mereka lebih dekat dibandingkan kita." jawab Dinda.
"Hem, begitu yah? Eh, itu mejanya," ujar Tristan lalu berlari menuju meja di bawah pohon angsana, yang rindang.
Tanpa membutuhkan aba-aba, Dinda dan ketiga cowok itu langsung menduduki bangku mereka masing-masing. Lalu memakan bekal mereka. Saat yang lain sedang asyik makan, Dinda membuka pembicaraan.
"Kalian bertiga!" panggil Dinda pada Ahmad, Tristan, dan Zidan. "Aziz membutuhkan bantuan kalian." lanjutnya.
"Bantuan apa? Dan kenapa gak dia sendiri yang ngomong langsung ke kita?" tanya Tristan.
"Ngomong langsung ataupun tidak, itu bukan masalah." jawab Dinda.
"Yaudah, bantuan apa yang Aziz butuhkan dari kita?" tanya Tristan lagi.
"Begini, 3 hari lagi Aziz dan Rika akan mengadakan Hari Persahabatan,"
"Apaan tuh Hari Persahabatan?" tanya Zidan.
"Hari yang dibuat oleh almarhumah sahabat Aziz dulu,"
"Berarti, dulu Aziz sahabat sama 2 cewek?" tanya Tristan.
"Mungkin begitu. Terus dia minta bantuan kita untuk mendekorasi rooftop rumahnya."
"Kenapa harus kita?" tanya Zidan.
"Sebenarnya gua juga gak mau minta bantuan lu pada," kata Aziz yang tiba-tiba saja datang dan langsung menjawab pertanyaan Zidan tadi. "Awalnya gua cuman minta tolong sama Dinda. Karena gua tau, lu pada kagak mau bantuin."
"Siapa bilang?" tanya Ahmad sambil bangkit dan menatap wajah Aziz. "Gua dan Dinda akan bantu kok. Terserah Zidan dan Tristan mau bantu atau kagak."
"Jadi lu mau bantuin gua?" tanya Aziz.
"Iyah, karena gua adalah TEMAN yang baik dan setia." kata Ahmad, menekankan kaliannya tadi.
"Jangan bercanda yah. Gua juga temennya yang setia." kata Zidan tidak ingin kalah.
"Tapi bukannya lu tadi gak mau bantuin Aziz?"
"Siapa yang ngomong gue juga mau bantuin. Malah gua denger senang hati akan membantu Aziz." Ahmad tersenyum penuh kenangan.
"Kalo begitu, nanti, sehabis pulang sekolah kita akan mampir ke rumah Aziz dan mendekor rooftop rumahnya.” tantangan Ahmad.
Zidan berdiri dan menghantam meja. "Siapa takut?" kata Zidan
Aduh… bego banget sih lu." ejek Tristan yang dari tadi tidak ikut-ikutan.
"Lu nggak mau bantuin?" tanya Dinda dengan muka memelas, membuat Tristan tidak bisa menolaknya.
"Iya, gua bantuin." kata Tristan terpaksa.
“Makasih yah.” ucap Aziz.
"Tapi ngomong-ngomong, lu udah punya hiasannya belum, untuk dekorasi?" tanya Tristan.
"Belum." jawab Aziz dengan muka polos.
"Kalian sehabis pulang sekolah tolongin gua beliin barang-barangnya. Nanti uangnya dari gua semua." jelas Aziz.
"Hemmm."
"kalian lagi ngebahas apa?" tanya Rika yang baru saja datang sambil membawa beberapa jajanan dan duduk disebelah Dinda.
"Nggak apa-apa. Ayo kita makan." ajak Aziz.
Bab 24: Aziz dan Rika
Tiga hari kemudian, yang bertepatan dengan hari sabtu pun akhirnya datang. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Aziz. Karena hari ini adalah hari persahabatan baginya dan Rika. Rooftop rumahnya pun sudah selesai dihiasi. Sekarang tinggal menunggu waktu senja. Ahmad, Dinda, Fadlan, Tristan, dan Zidan sudah menunggu kedatangan Rika dan Aziz di rooftop. Disana mereka bersembunyi dan akan keluar saat Rika sudah sampai diatas.
"Terima kasih yah, sudah mengajak ku datang ke rumah mu." kata Rika sambil menaikki tangga menuju ke lantai dua, bersama dengan Aziz.
"Ya, tentu saja." jawab Aziz.
"Tapi, kenapa harus sore-sore begini Yah, datennya?" Rika tidak mengatahui apa-apa soal rencananya.
"Gak papa. Ada yang mau aku tunjukkan." kata Aziz sambil berjalan menuju lantai ke rooftop rumahnya, membuat Rika sangat kebingungan.
"Lah, kau mau kemana Aza?" tanya Rika. Aziz tidak menjawab sambil terus naik ke rooftop.
“Aza!” panggil Rika kepada Aziz yang sedang menaiki tanggal menuju ke atas.
Akhirnya Aziz menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rika. “Hemm, ada apa?” tanyanya.
“Mau ngapain kamu ke atas? Inikan udah sore.” tanya Rika.
Lagi-lagi Aziz tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sinis kepada Rika, membuatnya menjadi makin penasaran.
“Woii, Aza!” kata Rika mulai emosi.
Aziz kembali menaiki tangga tanpa memperdulikan Rika. Karena kesal dengan dengan sifat Reika, Ezra mengikuti Reika sampai ke rooftop. Sampai ke lantai 3, Reika bersembunyi di belakang sofa di ruang santai. Rooftop mereka ada di lantai 3, bersama dengan beberapa ruangan lainnya. Jadi untuk menuju ke rooftop, mereka harus melewati ruang santai terlebih dahulu. Dan di dalam ruang santai ada beberapa sofa yang menjadi tempat persembunyian Aziz. Karena tidak dapat menemuka Aziz, Rika mencoba mencarinya di rooftop. Saat Rika baru saja menginjakan kaki, ia langsung terkejud dengan indahnya pemandangan rooftop rumah Aziz. Rooftop itu sudah di hiasi lentera dan bunga-bunga indah yang diletakkan dipinggiran kolam renang. Dengan latar matahari terbenam, membuatnya terlihat lebih indah.
“Wawwww, tempat ini cantik banget.” komentar Rika sambil memandang takjub tempat itu.
Kerena saking takjub nya, Rika sampai tidak menyadari kalau Aziz pergi meninggalkannya. Saat tiba-tiba Dinda dan yang lain ada di belakangnya lalu melempari kelopak bunga kepada Rika.
"Selamat Hari Persahabatan!" ucap Dinda dan yang lain bersama sambil melempari kelopak bunga kepadanya. Lalu Aziz datang sambil membawa kue tiramisu kesukaan Rika.
“Rika.” panggil Aziz yang berada di belakang Rika.
“Rika membalikkan badannya. Dan bertapa terkejutnya Rika saat melihat Aziz memegang sebuah kue yang sudah di hiasi oleh lilin.
“Aziz?” tanya Rika.
Aziz tersenyum dan berkata, “Selamat hari persahabatan.” katanya lalu menyodorkan kue.
“Hari persahabatan? Apaan itu?”
“Kamu lupa yah? Ini adalah hari di mana kamu, aku, dan Salma pertama kali bertemu dan Salma langsung menyatakan hari ini sebagai ‘Hari Persahabatan’.” jelas Aziz.
“Astaga, kau masih inget aja.” kata Rika lalu menepuk jidatnya.
“Jadi bagaimana? Maukah kau meniup lilinya?”
“Hem,” tapi Rika berhenti dan mengusulkan ide lain. “Kenapa gak, kita berdua yang tiup secara bersamaan.”
Aziz menjadi tersipu malu. “Baiklah.” jawab Aziz.
“Dalam hitungan ke 3,” usul Rika lalu menghitung mundur bersama Aziz. “3, 2, 1…” ucap Aziz dan Rika bersama, lalu meniup lili, secara bersamaan.
Mereka tertawa sekejap, lalu Aziz meletakkan kue nya di atas meja, yang lain pun bersorak.
"Yeiii!!"
"Selamat..!"
Lalu Aziz mengambil sebuah kotak kecil yangs sudah di bungkus rapih dengan bungkus kado berwarna biru.
“Ini.” Aziz memberikan kotak tersebut kepada Rika.
Rika menerimanya dengan senang dan langsung membukanya. “Apa isi nya?” tanyanya sambil membuka bungkus kado nya.
Aziz tidak menjawab. Ia ingin Rika melihatnya langsung.
“Wahhh, kalung,” kata Rika sambil mengeluarkan kalung tersebut dari dalam kotak. “Sahabat awan? Ya ampun, kamu ini.”
Aziz mengambil kalung tersebut dari Rika dan memasangkannya di lehar Rika.
“Terima kasih banyak, Aziz,” kata Rika yang tampak sangat bahagia dan juga terharu. “Maaf aku gak punya hadiah apa pun untuk mu.” lanjutnya lalu merasa bersalah.
“Gak usah khawatir. Kau yang masih mau menjadi sahabat ku, sudah menjadi hadiah terbaik untukku.” Mendengar kata-kata Aziz, wajah Rika langsung memerah dan jantungnya berdetak kencang, sampai ia sendiri bisa mendengarnya.
"Cie, Cie…" sorak yang lain.
“Ta-tapi, emang sahabat awan masih berlaku untuk kita?” tanya Rika sambil memandang wajah tampan Aziz.
“Tentu saja. Selama aku dan kau masih bertaman, sahabat awan akan terus berlaku. Walaupun sudah tiadak Salma,” jawab Aziz lalu mencium pipi Rika. “You’re my best friend, Rika.” ucapnya tanpa ragu-ragu.
“You’re my best friend too, Aziz.” TAMAT.
ns 15.158.61.7da2