30 menit kemudian, ekskul bulu tangkis selesai. Anak-anak segera pulang ke rumahnya masing-masing.
“Dinda,” panggil Tristan kepada Rika yang sedang sibuk memainkan handpone di depan gerbang sekolah.
Rika menoleh ke sumber suara lalu segera mematikan handpone dan meletakkannya di dalam kantong baju. “Oh… hai.” jawabnya lalu melambaikan tangan.
“Dasar ngibrit duluan, gak ngajak-ngajak. Ayo, pulang bareng.” ajak Tristan.
“Wah… rame nih,” Dinda tersenyum.
“Wah… ada sih Putri juga.” katanya dalam hati.
Dia senang ada Aziz yang ikut pulang bareng. Rumah Dinda juga tidak terlalu jauh dari sekolah. Tapi tidak seperti Aziz, Rika dan Ahmad yang berangkat dan pulang sekolah jalan kaki, Dinda pulang pergi menggunakan sepedah. Tapi hari ini Dinda tidak membawa sepedahnya. Jadi ia dengan senang hati ikut Aziz dan yang lain pulang bareng.
“Mana sepedah nya? Kok gak ada? Apa ada di parkiran?” tanya Ahmad.
“Enggak. Hari ini gua gak bawa sepedah.” jawabnya.
“Ohhh… kolo gitu, kita pulang bareng aja.” ajak Rika.
“Maaf deh. Tapi emang kamu ikut ekskul apa? Bukan bulu tangkis kan?”
“Iya, bukan kok. Aku ikut ekskul PASKIBRA.” jawab Rika.
“PASKIBRA? Bukannya itu cuma hari senin dan jumat, ya? Kok kamu ada di sini?” tanya Dinda.
“Aku ngambil buku ku yang ketinggalan.”
“Ohhh… gitu doang.”
“Ayok ah, kita pulang. Gua laper nih.” kata Aziz.
“Makanan bae yang ada di pikiran lu.” ejek Ahmad pada Aziz.
“Biarin.” ketus Aziz, tidak perduli. Lalu berjalan mendahului mereka berempat.
268Please respect copyright.PENANAI8H7pfCyF6
Saat di perjalanan, mereka asyik mengobrol sambil menikmati pemandangan.
“Eh, Az,” panggil Ahmad sambil mengejar Aziz dari delakang. “Jangan cepet-cepet napa, jalannya,” pandangan Aziz terus ke depan, tanpa sedikit pun melirik ke arah Ahmad. “Besok kan libur, gua boleh main ke rumah lu gak? tanya Ahmad.
“Enggak.” jawab Aziz dingin.
“Mumpung orang tua lu lagi gak ada.”
“Mau ngapain sih ke rumah gua? Main?”
“Iya, lah,” jawab Ahmad dengan santai. “Emang lu kagak kesepian apa, di rumah tanpa orang tua?”
“Enggak,” jawab Aziz singkat tapi jelas. “Lagian, gua udah sering kok di tinggal di rumah sendirian dari gua kecil. Jadi gua gak terlalu membutuhkan orang lain yang gak punya sopan santun, masuk ke rumah gua.” sengitnya dengan muka datar.
“Astaga, jahat bet dah.”
“Capek ah, ngomong ama lu. Gua mau pulang duluan aja.” ujar Aziz lalu berlari, mendahului keempat orang itu.
“Woiii, tunggu!” Awalnya Ahmad ingin mengejar Aziz, tapi tidak jadi kerena Tristan memanggilny dari belakang.
Terpaksa ia memperlambat langkahnya dan mendengarkan apa yang Tristan ingin bahas.
"Eh, Mad!" panggil Tristan lalu mencoba mengejarnya dari belakang.
Ahmad berhenti dan menoleh ke belakang. "Ngapa?" tanyanya.
"Jam tangan gua rusak. Bisa gak lu perbaiki? " tanya Tristan lalu memberikan jam tangannya ke Ahmad.
"Smartwatch, ya?" tanya Ahmad sambil memerhatikan jam itu baik-baik. "Kalau jam tangan biasa gua masih bisa. Tapi kalau smartwatch, gua gak begitu yakin bisa ngebetulinnya." kata Ahmad ragu-ragu.
"Please lah… Coba liat dulu," kata Tristan mencoba membujuk Ahmad. Tapi Ahmad sendiri tidak begitu yakin.
Ahmad memang bukan anak yang pintar dan cerdas dalam pelajaran seperti Aziz. Tapi ia pintar Kalau soal membetulkan barang elektronik, walaupun tidak semua." Nanti kalo berhasil gua bayar deh." lanjutnya.
"Yaudah gua coba dulu yah. Tapi gua gak janji loh."
"Iyah, iyah. Makasih ya." Kata Tristan senang.
Sementara Aziz, sekarang berada jauh di depan teman-temannya yang lain. Saat tiba-tiba ada mobil hitam berkendara melewati mereka. Awalnya semua tampak biasa-biasa saja, sampai akhirnya mobil hitam berhenti di tepi jalan dan keluarlah 2 pria berbadan besar memakai masker dan kaca mata hitam dari mobil tersebut. Mereka menghampiri Aziz dari samping. Aziz yang sama sekali tidak menyadarinya, di bawa kabur oleh mereka. Awalnya Aziz meronta-ronta mencoba untuk kabur, tapi kerena tenaga kedua pria itu lebih besar dari pada Aziz tidak mampu melakukan apapun. Di tambah, kedua pria itu memberikan Aziz obat bius. Supaya Aziz tidak membuat ke ributan dan dengan mudah di masukkan ke dalam mobil. Ahmad, Tristan, Dinda, dan Rika yang melihat perbuatan jahat orang tersebut terkejud. Ahmad dengan spontan mencoba mengejar orang itu. Tapi mereka sudah melaju kencang menggunakan mobil itu. Ahmad tidak menyerah begitu saja. Ia mengikuti mobil itu dari belakang, begitu juga Dinda dan yang lain. Tapi sayangnya, mobil itu terlalu cepat, Ahmad tidak bisa mengejarnya. Dinda, Rika, dan Tristan juga mencoba mengejarnya dari jauh. Tapi setelah sampai di pertigaan, mereka kehilangan jejak mobil itu.
“Hah, hah, hah,” Ahmad dan yang lain ngos-ngosan karena dari tadi berlari mengejar mobil yang membawa Aziz.
“Ba-bagamana i-ini?” tanya Tristan terbata-bata karena lelah.
“Ki-kita harus segera me-menghubungi orang tuanya Aziz.” usul Dinda, yang juga kelelahan.
“Jangan! Orang tua Aziz kan sedang tidak ada dirumah.” kata Rika.
“Itu, bener. Lagipula kita gak boleh mengganggu mereka.” lanjut Tristan.
“Te-terus kita harus ba-bagaimana?” tanya Dinda yang mulai panik.
“Jangan panik. Kita pasti bisa mengejar mobil itu.” kata Ahmad.
“Bagaimana? Kita sekarang aja udah gak tau kemana tuh mobil. Dan kita gak mungkin nelpon polisi kalau gak tau nomer polisi mobilnya.” kata Dinda.
“Kita berpencar,” usul Tristan lalu menggandeng tangan Rika. “Gua ama Rika akan ke sini,” katanya sambil menunjuk ke jalan di sebelah kanan. “Dan kalian ke arah sana.” lanjutnya sambil menunjuk ke jalan di sebelah kiri.
“Tu-tunggu!” kata Dinda, shok.
“Nanti kalau ketemu, telepon. Jangan mengambil tindakan sendiri. Paham Ahmad?” tanya Tristan pada Ahmad dengan tatapan tajam. Ahmad mengangguk. Walaupun sebenarnya, di dalam hatinya ia tidak setuju dengan ide Tristan.
“Kita harus cepet. Kalau enggak, nyawa Aziz bisa jadi taruhannya.” kata Tristan dengan serius.
Mendengar perkataan Tristan tadi, membuat mata Dinda berkaca-kaca. Ia paling takut dengan kekerasan. Ahmad mencoba menenangkan Dinda.
“Tenang lah Dinda,” kata Ahmad dengan suara yang terdengar lembut dan hangat sambil mengelus-ngelua pundak Dinda. “Kita pasti bisa menyelamatkan Aziz, tanpa ada yang terluka sedikit pun.” lanjutnya.
Dinda mengusap air matanya yang hampir tumpah dan mengangguk, setuju.
“Udah, jangan membuang-buang waktu lagi. Kita harus segera mengejar mobil itu. Ayo, Putri.” ajak Tristan.
“Heem.” jawab Rika lalu berjalan perlahan-lahan.
“Nanti telepon kalau ketemu.” Tristan dan Rika bergegas berlari.
“Kita juga Din.” Ahmad menggandeng tangan Dinda dan berlari menuju jalan yang sudah di tentukan oleh Tristan tadi.
Hal tersebut, entah kenapa membuat detak jantung Dinda tak terkendalikan.
“Kenapa tiba-tiba aku jadi begini?” tanya Dinda dalam hati.
Setelah beberapa menit Ahmad dan Dinda berlari mengikuti jalan, akhirnya mereka sampai di ujung jalan.
“Ahmad, bagaimana ini? Mana di depan buntu lagi.” tanya Dinda.
Ahmad melihat sekeliling. “Lihat itu!” pintanya sambil menunjuk sebuah mobil hitam, yang bukan lain adalah mobil yang di gunakan pria yang menculik Aziz. Mobil itu di parkirkan di depan gedung kosong di samping kiri mereka.
“Itu kan mobil yang tadi,” kata Dinda lalu mengambil handponenya dari kantong.
“Aku akan menelpon Putri dan Tristan dulu.”
Tapi Ahmad tidak setuju. “Gak ada waktu.” katanya lalu memcoba pergi ke dalam gedung itu. Tapi di cegat oleh Dinda. “Jangan! Kita telepon dulu Tristan.”
“Kamu yang telepon mereka. Aku akan mencoba melihat ke dalam dulu.”
“Woiii, jangan!” teriak Dinda lalu memeluk Ahmad. “Nanti kalo kamu kenapa-napa gimana?” Ahmad berhenti dan melirik ke arah Dinda. Bertapa terkejud dirinya, saat meliaht air mulai keluar dari mata indah Dinda.
“Tolong, jangan melakun hal-hal yang bodoh. Aku gak mau kau kenapa-napa.” kata Dinda, yang air matanya sedikit demi sedikit keluar.
Ahmad membalikkan badannya dan memeluk Danda. “Maaf,” bisiknya di telinga Dinda. “Tapi Aziz adalah temen baik gua. Gua gak bisa membiarkannya terluka.” lanjutnya dengan sungguh-sungguh.
“Aku tau. Tapi, tapi, AKU JUGA TEMEN MU!!” teriak Dinda.
Ahmad benar-benar terkejud lalu menepaskan pelukannya.
“Makasih, itu sangat berarti bagi gua.” Ahmad mengambil handpone milik Dinda.
“Ngapain kamu?” tanya Dinda sambil mengelap air matanya.
“Mencoba menelpon Tristan. Lu punya kan nomernya?”
“Pu-punya. Tapi tunggu, biar aku aja yang telepon. Kau kan gak tau passwords-“
Belum selesai Dinda berbicara, ia sudah kaged melihat Ahmad yang ternyata tau passwords handponenya. “Sudah.” kata Ahmad.
“K-kok kamu bisa tau?”
“Lu itu terlalu mudah ke tebak.” Muka Dinda memerah dan pipinya mengelembung karena marah. Membuat Ahmad tertawa melihatnya.
Tanpa berpikir panjang, Ahmad segera menelpon Tristan. Tapi setelah beberapa kali di coba, Tristan tidak kunjung menjawabnya. “
Aduh… kemana sih nih orang?” tanyanya kesal lalu mengembalikan handpone itu ke Dinda. “Maaf, tapi orangnya gak ngejawab. Lu kagak punya nomer hp Putri yah?”
“Enggak.”
“Gimana ini?” tanya Ahmad, kebingungan sambil memikirkan cara untuk membebaskan Aziz dari sandraan pria-pria itu.
“Di sini ada kantor polisi gak?” tanya Dinda.
Ahmad perpikir sebentar, mencoba mengingat-ngigat dimana kantor polisi di sekitar sini. “Ada sih. Tapi jauh dari sini. Kalau jalan, bisa menghabiskan 20 menit sendiri,” jawab Ahmad lalu melihat sekelilingnya. “Pake tutup segala lagi, nih ruko.” keluhnya.
“Heemmmm.” Dinda berusaha perpikir.
Saat mereka sedang memikirkan sebuah rencana, tiba-tiba kedua pria itu keluar dari dalam gedung itu. Ahmad segera membawa Dinda ke dalam ruko yang pintunya terbuka dan bersembunyi di baliknya. Dari kejauhan, mereka bisa melihat ke dua pria tersebut berjalan menjauhin gedung, tempat di mana Aziz berada.
“Ayo, cepat pergi.” kata Ahmad di dalam hati.
“Ada apa?” tanya Dinda yang tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Sttttt, jangan keras-keras.” bisik Ahmad.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya kedua pria sudah pergi. Ahmad segera bangkit dan memberi tahukan Dinda, apa rencananya. “Din, gua akan masuk ke dalam,”
“Hah? Tu-tunggu.” kata Dinda mulai panik lagi.
“Tenang aja. Kedua pria yang tadi sudah pergi. Kau tetap di sini dan coba lagi menelpon Tristan. Siapa tau di nanti jawab.” pinta Ahmad lalu selangkah mengendap-ngendap berjalan ke luar ruko.
“Ta-tapi-“ Rika tidak dapat menghentikan keputusan yang telah di buat oleh Ahmad.
Dinda sangat ketakutan saat itu. Ia tidak tahu apa yang harus di lakukan. Sementara Ahmad, sekarang sudah berada di dalam gedung kosong itu. Tanpa membuat kebisingan, Ahmad mencari satu demi satu ruangan di dalam gedung tersebut. Sebenarnya gedung kosong itu adalah bangunan rumah yang masih setengah jadi.
“Aduhhh, mana sih Aziz? Mana nih gedung 3 lantai.” keluh Ahmad di dalam hati. Saat Ahmad sedang mencari di ruang tengah di lantai satu, tiba-tiba ada yang memegang tangan Ahmad. Awalnya Ahmad sangat ketakutan. Ia mematung beberapa detik. Tapi setelah menengok ke belakang Ahmad benar-benar terkejud dan tidak percaya.
“Dinda? Ngapain lu di sini?” bisik Ahmad.
“Maaf, tadi baterai hp ku habis.” jawab Dinda.
“Terus? Gua kan suruh lu tunggu di luar. Kalo lu kenapa-napa gimana?”
“Gua gak bisa hanya diam saja, saat kedua temen gua sedang berada dalam keadaan seperti ini.”
“Tapi gimana kalo dua pria itu balik lagi, terus lu ada disini?”
“Gua juga akan ikut berantem.”
“Lu cewek. Sadar dikit napa.”
“Iya, emang gua cewek. Tapi cewek ini yang ngejagain lu, selama kurang lebih 3 tahun.”
“Itu kan dulu.”
“Terus?” Ahmad tidak bisa berkata-kata.
Tapi memang benar. Sejak umur Ahmad 4 tahun, Dinda selalu menjaganya, sampai akhirnya mereka berpisah.
Saat mereka sedang berdebat, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Ahmad segera menarik paksa tangan Dinda, menuju ke pojokan ruangan. Di situ mereka terpojok. Tidak ada pintu keluar lain selain yang tadi mereka gunakan untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Di tambah, di dalamnya, sama sekali tidak ada tempat untuk bersembunyi.
“Gawat! Sepertinya orang yang tadi sudah kembali,” bisik Ahmad. “Bagaimana ini? Gua gak bisa ngebawa Dinda ke luar dari gedung ini?” lanjutnya dalam hati.
Saat Ahmad sedang memegangi tangan Dinda, ia bisa merasakan kalau pada saat itu Dinda sangat ketakutan. Tangannya gemetaran, dan mulai sedikit berkeringat. Ahmad memeluk Dinda dan berkata, "Dinda, tenang saja. Gua akan menjaga lu. Dan gua gak akan biarkan mereka menyakiti lu." bisiknya di telinga Dinda, membuat Dinda yang ketakutan menjadi terharu.
Suara langkah kaki tersebut semakin lama semakin terdengar. Dan sekarang sepertinya, kedua pria itu membawa bala bantuan.
"Gawat! Kedua pria itu sepertinya membawa temennya kesini." kata Ahmad di dalam hati.
Kemudian salah satu orang tersebut membuka pintu ruangan. Ahmad yang berada di pojokan bersama Dinda, sudah siap meninju dan memukul siapa pun yang datang dar luar pintu. Orang tersebut pun masuk. Tapi bukannya ketakutan, Ahmad dan Dinda malah terkejut tidak karuan.
"Cie, Cie, Cie, berdua doang nih yee…" canda seseorang yang baru saja membuka pintu itu. Dan ternyata orang itu adalah Aziz.
ns 15.158.61.7da2