"Hai teman lu yang ganteng dan pintar ini datang!!" kata Tristan sambil memasuki kelas Aziz bersama dengan Rika.
"Idih… gila aja lu Tris. Cepat masuk sini." ejek Ahmad.
"Berisik banget sih. Udah tau ini kelas orang." ketus Aziz dengan nada dingin.
"Eh, jangan dingin-dingin banget napa," ucap Tristan lalu duduk di kursi sebelah Aziz. "Gua kan cuma mau berkunjung." lanjutnya tanpa rasa malu sedikit pun.
"Rika sini, duduk!" ajak Azis lalu menarik kursi dari sebelahnya untuk Rika duduk.
"Makasih." kata Rika lalu duduk di kursi tersebut.
"Eh, perkenalkan ini Zidan," kata Aziz memperkenalkan Zidan yang duduk di sebelahnya. "Yang gua bilang tantenya adalah manajer taman hiburan itu." lanjutnya.
"Salam kenal…" Zidan berhenti sejenak dari menulis dan menyapa Tristan dan Rika.
"Salam kenal juga. Gua Tristan dan Ini Rika, pacarnya Aziz." sapa Tristan.
"Kagak, dia bohong." jelas Azis kepada Zidan.
"Mari kita kesampingkan itu. Bagaimana dengan uang untuk pesta kejutan 'dia'?" tanya Tristan kepada Zidan.
"Lu bawa kagak uangnya? Nanya-nanya bae." ejek Ahmad.
"Bawa dong," Tristan mengambil uang dari dalam saku bajunya. "Nih, 50 ribu kan?" katanya sambil memberikan uang itu kepada Ahmad.
"Ngapain ngasih ke gua? Gua kan bukan yang beli barang-barang nya. Gue yang harusnya ngasih uang ke lu atau Rika," kata Ahmad lalu memberikan uang kepada Tristan. "Nih, Jangan sampai ilang, ya. Kalau enggak, pakai uang lu sendiri buat beli barang-barangnya." ancam Ahmad.
"Iya-Iya, slow aja," kata Tristan sambil mengambil uang Ahmad. "Mana sini, uangnya Zidan, Aziz? Sini gue yang pegang."
"Gak, gua gak percaya sama lu. Mending sama Rika aja." usul Aziz lalu memberikan uang miliknya ke Rika.
"Oke. Sini yang lain. Biar gua aja yang pegang."
"Siapa pun itu, yang megang uangnya, kalo hilang itu tetap tanggung jawab kalian berdua." kata Zidan lalu memberikan uang nya ke Rika.
"Kita kan yang beli barang-barangnya, kalian ngapain?" tanya Tristan.
"Kita yang akan mengundang orang-orang nya." jawab Ahmad.
"Enak banget dong. Itu kan pekerjaan yang gampang." keluh Tristan.
"Mending lu bantuin mereka. Lu kan yang paling tau, dia suka apa." usul Aziz kepada Ahmad.
"Oke deh." jawab Ahmad setuju.
"Yaudah kalo gitu, gua ama Aziz mau kerja dulu. Kalian yang akur yah." canda Zidan lalu meninggalkan mereka bersama Aziz ke luar kelas.
“Jadi kapan mau ngebeli semua ini?” tanya Tristan sambil mengibar-ngibarkan ketas.
“Abis pulang sekolah aja.” usul Ahmad.
“Kalo begitu, sekarang kita gak ngapa-ngapain kan?” tanya Rika. Ahmad mengangguk. “Yaudah, gua balik aja yah ke kelas.”
“Ngapa yah nih anak?” tanya Tristan di dalam hati.
Saat Rika baru saja mau berdiri dan keluar kelas, tiba-tiba Ahmad mencengkam tangan Rika. Rika membalikkan badannya.
“A-ada apa Mas?” tanya Rika agak sedikit ketakutan.
“Maaf, gua gak bermaksud membuat lu takut. Ada yang mau gua tanya. Boleh gak?” tanya Ahmad dengan muka memelas.
“Emmm, baik. Tapi jangan lama-lama yah.” Rika kembali duduk di kursi yang tadi ia duduki dan siap untuk mendengarkan pertanyaan Ahmad.
“Emmm, ada apa dengan mu?” tanya Ahmad. Rika tidak tahu harus menjawab apa. Ia sendiri juga tidak tahu sebenarnya ada apa dengan dia.
“Gak papa kok.” jawab Rika berbohong.
“Bohong itu tidak baik loh,” canda Tristan. Rika menutup wajahnya karena malu.
“Lu pasti cemburu yah, sama Dinda yang besok minggu akan berduaan aja sama Aziz?” tebak Tristan. Walaupun tidak menjawabnya, tapi sudah tertulis jelas di ekspresi wajah Rika.
Tristan tertawa. “Lu tuh mudah banget di tebak yah.” ejeknya.
Tapi candaan itu hanya bertahan sementara. Karena Rika, tiba-tiba menetes air mata. Ahmad dan Tristan begitu terkejut.
Ahmad memukul pundak Tristan dengan keras. “Bego lu udah keterlaluan,” Ahmad menghampiri Rika dan mencoba menenangkan nya. “Maaf yah. Anak itu emang gak punya hati.” Kata Ahmad lalu memberikan sapu tangan miliknya kepada Rika.
Tristan menjadi merasa sangat bersalah. “Ma-maaf. Gua gak bermaksud begitu. Tolong jangan menangis lagi. Nanti gua jajanin deh.”
“Udah lu kagak usah ngomong lagi.” Ketus Ahmad.
Rika menghapus air matanya. “Enggak, Tristan bener. Gua emang merasa agak cemburu dengan hal itu.”
“Sedikit?” Tristan memulai nya lagi.
“Woiii!!” bentak Ahmad.
“Yah… mungkin lebih dari sedikit.” jawab Rika lalu sedikit tersenyum.
"Tapi emang Aziz itu anaknya gak peka sih. Sampai sekarang pun, dia masih dingin ke orang-orang yang belum ia kenal" ejek Ahmad.
"Tapi kalau emang dia bersikap dingin ke orang-orang, kenapa dia mau nemenin Dinda? Berduaan pula?"
"Awalnya sih dia emang gak mau. Katanya sih, karena menjadi jarak gitu. Tapi mungkin dia punya rencana lain, di balik itu semua." tebak Ahmad.
"Tapi menurut gua, lu itu udah sangat beruntung." kata Ahmad.
"Heem, bener tuh. Lu satu-satunya perempuan yang dekat sama Aziz. Bahkan Dinda saja gak bisa sedeket itu." lanjutn Tristan.
"Ya, mungkin begitu.“ kata Rika setuju.
Sesuai permintaan Zidan tadi, sebelum pulang sekolah Aziz menemui Dinda yang saat itu sedang melaksanakan piket.
“Din!” panggil Aziz.
Dinda yang sedang menghapus papan tulis, membalikkan badannya. “Oh, Aziz. Ada apa?” tanyanya pada Aziz.
Aziz sebenarnya agak malu saat ingin bertanya kepada Dinda, karena masih banyak orang.
“Emmm, boleh gak, sesudah selesai, lu jangan pulang dulu.” Pinta Aziz dengan malu-malu.
Muka Dinda memerah dan ia mencoba menutupi nya dengan penghapusan papan tulis yang ia pegang. Ia hanya mengangguk setuju tanpa melihat ke arah Aziz. Aziz senang dan tersenyum. “Gua tunggu di depan kelas aja yah.” lalu Aziz berlari meninggalkan Dinda.
“Apakah Aziz mau menembak ku?” tanya Dinda dalam hati, membuatnya menjadi senang sendiri.
5 menit kemudian, Dinda telah selesai melakukan piket nya dan segera menemui Aziz di depan kelas.
“Maaf, aku lama.” Kata Dinda.
“Gak papa, santai aja,” Aziz mengambil nafas panjang dan memberanikan diri untuk bertanya kepada Dinda. “Din, lu mau gak besok minggu jalan-jalan sama gua ke taman hiburan?”
Dinda awalnya agak kecewa. Tapi setelah di pikir-pikir lagu, ide tersebut tidak terlalu buruk. “Boleh deh,” jawab Dinda dengan semangat, mebuat kesedihan di wajah nya, menghilang. “Kapan? Jam berapa?” lanjutnya.
“Nanti aku jemput kamu sekitaran jam 11. Bagaimana?”
“Jam 11? Boleh. Sama siapa aja?” tanya Dinda balik.
“Berdua,” jawab Aziz ragu-ragu. “Tapi kalo lu mau ngajak yang lain gak papa kok.” Aziz tidak ingin membuat Dinda merasa tidak nyaman.
“Berduaan?” muka Dinda tampak berseri. “Gak, kok. Berdua aja udah cukup untuk ku.” Aziz memandang nya heran. “Maksudku, aaa… eeee…” saking gugupnya, Dinda jadi tidak bisa berkata-kata lagi.
Aziz tertawa melihat tingkah laku Dinda. “Iya-iya, gua ngerti kok,” kata Aziz sambil memegang pundak Dinda.
Aziz bernafas lega karena ia berhasil membujuk Dinda untuk ikut. “Oke, jangan telat yah. Jam 11 lebih gua akan ke rumah lu.”ancam Aziz lalu melangkah pergi.
“Iya, kamu juga jangan sampai terlambat.” balas Rika lalu melambaikan tangan kepada Aziz.
“Mungkin aku gak di tembak sama dia. Tapi minimal, aku bisa jalan-jalan berduaan sama Aziz.” kata Dinda di dalam hati.
ns 15.158.61.6da2