"Kringggggg!!!" bel berbunyi. Memandakan jam pelajaran sudah selesai. Ini waktunya untuk pulang.
"Hah, akhirnya selesai." ujar Aziz sambil membereskan buku teman-temannya dia atas meja guru.
"Sini, ada yang bisa aku bantu?" tanya Dinda.
"Tolong rapihin ini ya. Nanti biar aku aja yang naro di meja Bu Nindya." pinta Aziz.
"Oke." Rika segera mengambil ahli buku-buku yang berserakan di atas meja. Sementara Aziz melangkah pergi menuju meja Ahmad yang di sana juga sudah terdapat Zidan.
"Gimana Mad? Udah jadi list siswa yang ikut dan barang apa yang harus di beli?" tanya Aziz sambil memerhatikan selembar kertas yang sedang sibuk menulis.
"Bentar lagi, " jawab Ahmad. Tak lama kemudian, "Nah, udah selesai."
"Coba kami lihat." pinta Zidan.
"Ini, silahkan kalian lihat." Ahmad memberikan kertas berisi nama anak-anak yang akan ikut kepada Zidan. Aziz juga ikut melihat.
"Oh, ya! Sini gua kasih kertas yang itu ke Tristan dan Rika." kata Aziz, menawarkan.
"Oh, oke," Ahmad memberikan kertas itu kepada Aziz. "Tolong kasih, ya!"
"Bagaimana uangnya?" tanya Zidan.
"Besok aja uangnya. Ini kan cuma sekedar ngasih doang." usul Aziz.
"Berapa banyak?" tanya Zidan.
"Dengan segitu banyak barang yang akan kita beli, minimal 50 ribu lah." tebak Aziz.
"Emangnya cukup cuma 50 ribu?" tanya Ahmad.
"Nantikan kan kita dapat bantuan dari yang lain." jawab Aziz dengan santai.
"Kalau misalnya mereka gak mau?" tanya Zidan menyelekit.
"Nanti gua yang urus." jawab Aziz.
"Hah? Beneran?" tanya Ahmad tidak percaya.
"Yahhh, mau gimana lagi?"
Saat mereka sedang sibuk membahas tentang uang, tiba-tiba Dinda memanggil. "Aziz, bukunya udah aku rapihin yah."
Aziz membalikkan badannya. "Oh, iya. Terima kasih banyak."
"Iya. Aku pulang dulu, ya." kata Dinda lalu kembali ke mejanya untuk mengambil tas dan pulang.
“Udah ah, ngebahas soal uangnya. Gua masih ada kerjaan.” Aziz berdiri sambil mengambil tasnya dan kembali ke meja guru.
"Nanti gua bantu deh." kata Ahmad tidak tega membiarkan Aziz menanggung semuanya.
"Yah, oke," kata Aziz lalu keluar dari kelas sambil membawa buku-buku itu.
Saat Aziz sedang meletakkan buku-buku tersebut di meja Bu Nindya, ia bertemu dengan Tristan yang saat itu sedang meletakkan buku-buku paket teman-teman sekelasnya di salah satu meja guru.
Aziz mendatanginya dan menyapa. “Eh, Tris. Lagi ngapain lu?” tanya Aziz sambil menepuk pundak Tristan.
“Kagak punya mata apa lu? Yah lagi naro buku lah.” ejek Tristan.
Tanpa mendengarkan ejekan Tristan, Aziz membuka tasnya dan mengambil selembaran kertas. “Ini.” katanya sambil memberikan selembaran kertas tersebut.
Tristan memperhatikan kertas tersebut. “Apa itu?” tanyanya lalu mengambil kertas itu dari Aziz dan membacanya.
“Itu barang-barang yang harus lu sama Rika beli.”
“Eh, bentar! Maksudnya apaan, tiba-tiba nyuruh gua beliin barang-barang ini?” tanya Tristan.
“Hari minggu ini Dinda akan berulang tahun. Gua, Ahmad, sama satu lagi temen sekelas gua, Zidan, merencanakan pesta kejutan untuk dia.”
“Terus apa hubungannya sama gua?”
“Lu kagak mau ikut ke taman hiburan?”
“Lah, kenapa tiba-tiba ke taman hiburan segala?”
“Rencananya sih, kita akan menyewa ruangan di sana dan merayakannya di taman hiburan itu,” jelas Aziz lalu malangkah, menjauhi dari Tristan. “Yah… tapi kalau lu kagak mau sih gak papa.”
“Iya-iya, gua mau.” kata Tristan dengan matanya yang seketika berbinar-binar.
“Tapi gua minta bantuan lu, untuk beliin barang-barang itu dulu.”
“Enggak pake uang gua kan?” tanya Tristan, panik.
“Enggak, tenang aja. Enggak semuanya.”
“Maksudnya apa? Masih pake uang gua?”
“Patungan lah.”
“Tapi nanti tiket masuknya juga harus beli sendiri kan?” tebak Tristan.
“Iya, lah. Emang lu mengharapkan ada orang yang akan beliin lu tiketnya?”
“Yah… abis dong uang gua.”
Aziz tersenyum lalu tertawa. “Tenang aja. Nanti ada potongan harga 50%, untuk lu dan orang-orang lain yang akan ikut nanti.”
“50%? Wihhh, gak boleh di sia-sia kan tuh, kesempatannya. Tapi kok bisa?”
“Adah deh. Tapi nanti bayarnya ke temen gua, sih Zidan itu. Biar dapet potongan harga 50% itu. Atau kalau mau, bisa nitip ke gua.”
“Oke, oke. Nanti gua titip ke elu aja.”
“Tapi besok jangan lupa bawa uang. Minimal 50 ribu.”
“Itu mah sama aja, kalo harus bayar 50 ribu. Tapi gak papa deh,” kata Tristan di dalam hati. “Ini semua gua sendirian yang harus beli?” tanyanya dengan lantang.
“Nanti bisa di bantu oleh Rika, kalau dia mau.”
“A-apa maksudnya?”
“Yah, mungkin Rika tidak mau ikut.” jawab Aziz dengan santai.
“Ja-jadi gua yang akan mengerjakannya sendiri kalau begitu?”
“Iya lah. Tapi tenang aja, gua yang akan coba nanya ke dia,” lalu Aziz berjalan pergi meninggalkan ruang guru dan Tristan. “Gua mau pulang dulu yang. Lu hati-hati di jalan yah. Oh, yah besok jangan ke kelas gua untuk mengambil uangnya. ” ucupnya sebelum meninggalkan ruang guru.
Aziz berlari sepanjang kolidor sekolah, mencoba mencari Rika.
“Aduh… gara-gara dia gua jadi gak bisa ketemu sama Rika kan.” keluh Aziz dalam hati.
Aziz sampai di depan gerbang sekolah. Ia mencoba untuk mencari Rika di sekitarnya. Tapi sepertinya Rika sudah pulang.
“Yah, gua telat kan. Rika pasti udah pulang.” pikirnya dalam hati sambil terngos-ngosan karena dari tadi mencari Rika.
“Yaudah lah, gua pulang aja. Nanti gua kabarin lewat telepon aja.” Aziz akhirnya memutuskan untu pulang.
Sore harinya, saat Aziz baru selesai mengerjakan PR hari ini, Aziz mencoba menelpon Rika. Tapi sudah berkali-kali tidak di angkat olehnya.
“Aduhhh, kemana yah Rika? Apa dia lagi sibuk.”
Saat ia sedang bengong sambil menunggu telepon balik dari Rika, tiba-tiba ada telepon masuk yang entah dari siapa. Aziz memerhatikan nomer telepon orang itu.
“Kok, kayaknya gua pernah liat ya, nomer telepon kayak gini.”
Akhirnya tanpa perpikir lama, ia mengangkat telepon dari orang tersebut.
Melalui telepon tersebut, Aziz bisa mendengar suara peremuan yang sepertinya sudah berumur sekitar 40 tahuan, yang tidak asing bagi Aziz.
“Hai, Aziz. Ini aku mamahnya Putri, Bu Siti.” jelasnya melalui telepon.
Aziz terkejud. Tapi juga di sertai dengan rasa senang. Karena sudah lama ia tidak bertemu dengan Bu Siti.
“Oh, iyah. Mamahnya Rika yah? Apa kabar Tante? Sudah lama saya tidak bertemu dengan Tante.” kata Aziz dengan sopan.
“Iya-ya? Tante baik kok, terima kasih. Kalau kamu?”
Selama hampir 5 menit, mereka berbincang-bincang mengenai keadaan keluarga mereka masing-masing.
“Oh, yah, maaf nih. Tadi kamu nelpon Putri, ya?”
“Iya, Tante. Apakah Putri ada di rumah? Saya coba teleponin dari tadi, tapi gak di angkat.”
“Ada kok. Tapi handponenya lagi di cas di bawah. Terus Putri lagi ada di kamarnya. Awalnya sih Tante yang mau jawab, tapi gak enak sama kamu,”
“Hahaha, kenapa emang Tante?”
“Iya lah. Kalau Tante yang jawab kamu nanti kaged. Kok teman ku suaranya jadi kayak ibu-ibu umur 40 tahun.”
“Gak lah, Tante.”
“Tapi kalau emang ada yang mau di bahas sama Putri, kamu boleh kok berkunjung ke sini.”
“Hah, boleh Tante?”
“Boleh lah. Katanya Putri, dia udah pernah main ke rumah Aziz. Jadi boleh kok, kalau kamu juga mau main ke rumah Tante.”
“Oh, begitu tante?”
“Iyah, ayok buruan ke sini. Sebelum jam 5.”
“Ba-baik, Tante. Saya akan ke sana. Saya siap-siap dulu yah, Tante.”
“Iyah, iyah. Tante tunggu yah.”
“Baik Tante.”
Setelah itu, Bu Siti menutup telepon. Sedangkan Aziz sedang bersiap-siap. Sebelum ia berangkat, Aziz pergi dulu ke dapur dan mencoba mencari-cari sesuatu yang bisa ia bawa ke rumah Rika. Mbak Rosa yang sedang memasak, kebingungan dan akhirnya bertanya kepadanya.
“Aziz, nyari apa?” tanyanya sambil mematikan kompor.
“Aku lagi nyari sesuatu yang bisa aku bawa ke rumah Rika.”
“Kamu mau ke rumah Rika?” Aziz mengangguk sambil terus sibuk mencari-cari.
Mbak Rosa meninggal kan Aziz yang sedang sibuk sendiri dan mengambil sesuatu dari ruang makan.
“Bagaimana kalau ini aja.” usulnya sambil memberikan setoples besar, yang masih terbungkus rapih.
Aziz mengambil toples biskut itu. “Ini dari siapa Mbak?”
“Ini Mbak yang buat. Kamu boleh kok mengasihnya ke Rika.”
“Wahhh, Mbak yang buat?”
“Iya, bawa aja. Mbak bisa buat lagi kok.”
“Oke, makasih yang Mbak. Aziz pamit dulu.”
Setelah mendapatkan setoples biskut besar itu, Aziz bergegas berangkat menuju rumah Rika. Karena rumahnya dan rumah Rika tidak terlalu jauh, tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke rumah Rika.
Sesampainya Aziz di depan pagar rumah Rika, ternyata Bu Siti sudah menunggunya di luar.
“Wah, selama datang Aziz.” sapa Bu Siti sambil membukakan pagar untuk Aziz.
“Iya, terima kasih Tante,” Aziz masuk ke rumah itu dan tidak lupa bersalaman dengan Bu Siti. “Oh, ya. Saya punya sesuatu untuk Tante.” lanjutnya lalu memberikan goodie bag yang di dalamnya terdapat besar tersebut.
Bu Siti menerimanya dengan senang hati. “Wah, apa ini? Kue, ya?” tanyanya sambil melihat apa isi Ini goodie bag tersebut.
“Iya Tante. Ini yang buat mbak di rumah. Semoga enak dan Tante suka, ya. ”
“Pasti lah. Terima kasih banyak Aziz. Tapi kamu seharusnya tidak usah repot-repot.”
“Gak papa Tante. Malah saya yang merasa tidak enak, kalau tidak membawa apa-apa.”
“Begitu ya? Baiklah, ayo silahkan masuk,” kata Bu Siti, mempersilahkan Aziz masuk ke rumahnya. “Maaf yah rumahnya agak kecil.” lanjutnya lalu meletakkan goodie bag tersebut di sofa.
“Rika di atas, di kamar nya. Sini Tante anterin.”
“Iya, terima kasih banyak.” Aziz dan Bu Siti berjalan menuju kamar Rika yang berada di lantai atas.
“Ayo, silahkan masuk,” kata Bu Siti lalu membuka pintu kamar anaknya. “Rika, ada Aziz nih.” lanjutnya.
Rika yang saat itu sedang tiduran di atas kasur sambil mamainkan handponenya, terkejud. Ia segera bangkit dari kasurnya dan membenarkan rambutnya.
“Mamah, kenapa mamah gak bilang Aziz akan ke rumah!?” Rika merasa sangat malu. Mukanya tampak sangat merah karena menahan marah dan rasa malu yang sangat besar. Karena pada saat itu ia hanya memakai piyama dan kamarnya lumayan berantakkan. Buku berserakkan di mana-mana.
“Lah, Bu Siti gak bilangin Rika kalau gua dateng?” tanya Aziz di dalam hati yang berdiri di belakang Bu Siti sambil menonton drama, ibu yang mengerjai anaknya sendiri.
Aziz hanya bisa tersenyum sambil kepalanya terus menunduk ke bawah. Karena amarah Rika sudah tidak bisa ia tahan lagi, Rika membanting pintunya keras-keras dan berkata, “Aziz bisa tolong tunggu sebentar!!” pintanya.
Ia merasa tidak enak karena datang di saat-saat seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aziz sendiri juga tidak tahu hal ini bisa terjadi.
“Maaf yah Aziz. Putri anaknya emang berantakkan dan pemalas.” Bu Siti tidak tahu kalau ternyata Rika masih bisa mendengarnya dari dalam kamar.
“Mamah!!!” teriak Rika dari dalam kamar.
“Eh, anaknya masih bisa denger,” ejek Bu Siti lalu segera membereskan barang-barang yang berada di atas sofa. Supaya Aziz bisa duduk di situ. “Aziz tolong tunggu, ya! Kamu bisa duduk di sini dulu.” lanjutnya.
“Ba-baik.” Aziz pasrah dengan keadaan dan tidak punya pilihan lain selain mengikuti keinginan Bu Siti.
“Mau minum apa? Tante ada jus jambu, kamu mau?” tanya Bu Siti yang tadi mukanya tampak nyebelin menjadi tiba-tiba ramah.
“Aduh… nih Tante labil banget yah,” ujar Aziz di dalam hati.
“Boleh Tante. Terima kasih.” jawab Aziz dengan sopan.
“Oke, tunggu yah. Tante ambil dulu dari bawa.”
“Iya.” Bu Siti pergi meninggalkan Aziz di lantai atas.
Karena bosan, ia membuka handponenya. Tiba-tiba, saat Aziz sedang memainkan handponenya kakaknya Rika, Kak Alvan lewat dan menanyainya, “Lu siapa?” tanyanya dengan kasar.
Aziz terkejud dan berdiri. “Sa-say teman sekolah Ri, maksud saya Putri.” jawab Aziz yang agak sedikit gemeteran.
Kak Alvan adalah kakak laki-laki Rika. Sekarang Kak Alvan duduk di bangku kelas 3 SMA, yang tepatnya berumur 18 tahun. Kalau di lihat dengan kasat mata, Kak Alvan memang terlihat sedikit menakutkan. Badannya yang tinggi dan bongsor. Kulitnya yang berwarna sawo matang. Di tambah, mukanya yang terlihat bengis dan tatapannya yang tajam, membuat orang-orang yang melihatnya merasa ketakutan. Tapi hanya muka dan badannya saja yang terlihat menakutkan. Sebenarnya Kak Alvan adalah orang yang baik dan periang. Hanya saja, kalau sudah marah dan tidak suka, ia tidak ragu-ragu untuk menggunakan kekuatannya untuk membela dirinya.
“Teman yah? Terus ngapain lu ke rumah keluarga gua? Siapa yang ngajak?” tanya Kak Alvan dengan tatapannya yang tajam.
Melihat wajahnya saja Aziz sudah tidak berani. Apalagi di suruh menjawab semua pertanya itu. Tapi untungnya, Rika keluar dari kamarnya dan membantu Aziz keluar dari masalah tersebut.
“Hei, Kak. Jangan galak-galak sama Aziz.” kata Rika dengan nada mengancam.
“Kakak? Itu Kak Alvan? Kok bisa berubah total begitu yah?” tanya Aziz di dalam hati.
Dulu Kak Alvan terkenal dengan badannya yang kurus dan agak culun. Jadi tentu saja Aziz sampai tidak mengenalinya. Karena sudah pasti dulu, Kak Alvan tidak memiliki tubuh sebesar ini.
“Aziz?” Kak Alvan memerhatikan wajah Aziz baik-baik.
Dan setelah ia sadar, ia benar-benat terkejud dan tidak menyangkan.
“Lu, lu Aziz? Yang kecil dan imut itu dulu?” lanjutnya tidak percaya.
“Apa dulu dia kagak ngaca apa?” tanya Aziz di dalam hati. “Iya, ini saya, Aziz.” lanjutnya.
“Yaampun… maaf, maaf. Lu tampak beda banget dari dulu. Gua sampe ke mengenalimu.”
“Iya, lu juga.” kata Aziz di dalam hati.
“Wah, gila! Lu udah gede yah. Kok bisa tiba-tiba dari anak yang kecil dan imut dulu bisa menjadi seganteng ini?”
“Hehehehe…” Aziz hanya bisa tertawa.
Tiba-tiba, Bu Siti datang dan membawa minumman untuk Aziz dan Rika.
“Loh, ada apa ini?” tanya Bu Siti yang baru sampai dan bingung melihat kerumunan di rumahnya. “Alvan, kamu udah selesai belum tugasnya?” tanyanya lagi.
“Belum mah.” jawab Kak Alvan.
“Terus, kenapa malah santai begini? Tugasnya kan di kumpulin besok,” kata Bu Siti.
“Iya, mah.”
“Sana, sana. Kerjain dulu,” usur Bu Siti lalu melangkah menuju kamar Rika. “Ayo, Putri. Kasian Aziz, dari tadi udah nungguin.” lanjutnya.
“Sini mah, aku aja yang naro itu di kamar,” Bu Siti memberikan nampan tersebut kepada Rika. “Ayo, Aza, masuk.” lanjutnya sambil memasuki kamarnya bersama Aziz.
“Maaf kamar ku agak sempit. Kamu boleh duduk di mana aja kok.” kata Rika sambil meletakkan nampan di atas meja.
“Maaf yah, aku ganggu sore-sore.”
“Ini bukan salah mu kok. Aku yakin ibu ku yang maksa kamu.”
“Hehehehe, iya. Itu mungkin benar.”
Rika duduk di atas kasurnya. Sedangkan Aziz duduk di kursi belajar Rika.
“Jadi ada apa kamu tiba-tiba ke sini? Aku udah sering ngajak kamu tapi kamu gak pernah mau.” kata Rika sambil mengambil gelas yang berisi jus.
“Iya, maaf tiba-tiba dateng tanpa memberitahu mu. Sebenarnya, aku mau ngajak kamu ke taman hiburan, hari minggu ini.”
“Ha-hari minggu ini? Taman hiburan? Bersama mu?” muka Rika tampak berseri. Sepertinya, Rika salah sangkat tentang apa yang informasi yang di bawakan Aziz.
“Berdua? Tidak. Kita akan kesana bareng teman-teman kita,” muka Rika yang tampak senang menjadi kusam.
“Hari minggu ini, aku, Ahmad, dan Zidan, merencanakan sebuat pesta kejutan untuk ulang tahu Dinda.” jelas Aziz.
“Ulang tahu Dinda?” tanya Rika yang agak kecewa.
“Heem. Kamu mau gak bantuin?”
“Dinda, dinda, dinda. Emang apa sih hebatnya anak itu?” tanya Rika dalam hati.
“Rika, mau gak?” ulang Aziz.
“Oh, iya. Emmm, aku harus ngapain emang?”
“Tunggu, tunggu,” pinta Aziz lalu mengambil selembaran kertas dari dalam saku nya. “Aku minta tolong, kamu membelikan semua barang-barang ini yah.” Rika memerhatikan list barang-barang yang tertulis di kertas tersebut.
“Ini aku yang beli semua sedirian?” tanya Rika.
“Enggak. Nanti kamu akan di bantu oleh Tristan. Dan untuk uangnya, kita patungan, minimal 50 ribu. Tapi itu kalau kamu mau.” jelas Aziz.
“Terus apa rencananya? Kita adakan pesta itu jam berapa? Siapa aja tamu nya? Terus di mana kita mengadakannya?” tanya Rika, sekaligus.
“Kita akan mengadakan pesta nya jam 7 malam. Tamu nya teman-teman dekat Dinda dan beberapa orang tua. Di mana kita mengadakan nya? Kita akan mengadakan nya ruangan yang sudah kita sewa di taman hiburan itu. Nanti untuk tiket nya, karena tante Zidan kerja di sana, kita akan mendapatkan potongan harga sebesar 50 %. Terus-“
“Bagaimana dengan rencana untuk mengajak Dinda ke taman hiburan itu?” tanya Rika sebelum Aziz selesai menjelaskan.
“Rencananya, kamu, Tristan, Ahmad, dan Zidan akan mendekorasi ruangan nya pagi-pagi sesudah taman hiburan nya buka. Sedangkan aku akan menemani Dinda, sampai waktunya pesta kejutan tersebut." jawab Aziz.
"Jadi maksudnya, kamu akan berduaan sama Dinda sampai jam 7 ?"
"Yah!" jawab Aziz yang tampak bersemangat.
"Kamu seneng ya, jalan sama cewek cantik kayak Dinda?"
“Hem,” gumam Aziz lalu memiringkan kepalanya, yang menandakan bahwa ia tidak mengerti. “Maksudnya apa?”
Kebiasaan memiringkan kepala adalah salah satu tanda, kalau Aziz sama sekali tidak mengerti maksud dari pembicaraan orang. Hal itu juga bisa membuat lawan bicaranya menjadi tidak fokus. Kenapa? Karena dengan memiringkan kepalanya seperti itu, wajah Aziz tampak sangat imut. Dan itu mempan terhadap Rika. Setelah Aziz memiringkan kepalanya, muka Rika langsung memerah. Tapi ia segera mengontrol dirinya supaya tidak terbawa suasana.
“Tidak ada. Lupakan saja.” kata Rika lalu membuang mukanya.
Aziz tersenyum dan mengambil handpone dari dalam tasnya. “Sebenarnya, aku punya maksud lain untuk datang ke rumah mu," Aziz mengambil handphonenya dari dalam tasnya dan menunjukkan sebuah aplikasi game kepada Rika." Aku dengar kau punya game ini. Mari kita main bersama!" ajak Azis sambil tersenyum manis kepada Rika.
Pandangan Rika langsung menuju ke game yang di maksud oleh Aziz. "Wow! Kau punya game ini? Aku kira aku doang yang punya game ini." kata Rika, tak percaya. Ia langsung melupakan kemarahan nya tadi.
"Iya, aku baru download kemarin. Tapi aku baru sampai level 8."
"Yaudah, ayo, kita main bareng. Tunggu! Biar aku ambil dulu handphone-ku." kata Rika lalu berdiri dan mengambil handphonenya di atas meja.
"Kau sudah level berapa emang?" tanya Azis, penasaran.
"Kalau nggak salah sih udah sekitar 90-an." jawab Rika lalu duduk kembali dan membuka aplikasi game tersebut di handphonenya.
"Gila ... udah level 90 aja. Bantuin aku dong, naikin level aku." pinta Aziz.
Tanpa membutuhkan waktu yang lama Aziz dan Rika sudah hanyut dalam permainan game tersebut. Saking fokusnya bermain, mereka sampai tidak mengetahui kalau ternyata jam sudah menunjukkan pukul 6.30 malam. Karena penasaran dengan apa yang dilakukan anaknya dengan cowok di kamarnya, Bu Siti mengintip dari pintu. Rika yang menyadarinya, menegur ibunya.
"Aku tahu mamah di luar. Jadi nggak usah ngintip-ngintip deh." ketus Rika lalu berdiri dan membuka pintu untuk ibunya.
"Ngapain sih mah? Ganggu aja." tanya Rika pada Bu Siti.
"Maaf, tapi kalian terlihat serius sekali. Mamah jadi penasaran, " jawab Bu Siti lalu memandang Aziz. "Aziz maukah kau makan malam di sini?" tanyanya.
"Makan malam?" Aziz mengngecek jam yang ada di handphone-nya, dan betapa terkejutnya ia saat dia tahu kalau ini sudah jam 6.30 malam. "Ya ampun!! Maafkan saya, saya tidak tahu kalau sudah selarut ini. Sebaiknya saya pulang segera. Terima kasih telah mengundang saya ke mari." Aziz bangkit dan segera membereskan barang-barangnya.
"Eh, nggak usah nggak apa-apa kok. Ayo, makan dulu!" ajak Bu Siti.
"Tapi ini sudah malam dan saya tidak ingin mengganggu malam keluarga Tante."
"Udah nggak usah dipikirkan. Tante juga sudah menyiapkan makan malam kok untukmu. Jadi daripada di buang dan malah jadi mubazir, mending dimakan."
"Ayo, Aziz kita makan." ajak Rika lalu menggandeng tangan Aziz.
"Tunggu, tunggu! Biar saya kabarin dulu mbak saya di rumah, " Aziz mengambil handphone nya dan menelpon Mbak Rosa. "Saya permisi dulu yah." lanjutnya lalu keluar dari kamar Rika dan menelpon Mbak Rosa.
5 menit kemudian Aziz selesai menelepon dan kembali ke kamar Rika.
"Jadi bagaimana? Kau boleh tinggal di sini untuk makan malam?" tanya Bu Siti kepada Azis yang baru sampai.
"Hehehe, iya boleh Tante. Tapi katanya, jangan pulang lama-lama karena besok masih sekolah." jawab Aziz.
"Baiklah kalau begitu, ayo kita makan." ajak Rika dengan penuh semangat. Dan seperti tadi, menggandeng tangan Aziz dan membawanya menuju ruang makan di lantai bawah.
Di sana, meja makan sudah rapi dan sudah terdapat beberapa makanan di atasnya. Keluarga Rika, juga sudah duduk rapih dan bersiap-siap untuk makan.
"Ayo, sini." ajak Rika lalu dengan paksa, menyuruh Aziz untuk duduk di kursi sebelahnya.
"Aziz yah?" tanya Pak Ayip yang duduk di depan Aziz.
"I-iya Pak. Saya Azis." jawab Azis terbata-bata.
"Sudah lama tidak bertemu." Aziz mengangguk sambil tersenyum.
"Baiklah, Ayo kita makan." kata Bu Siti lalu membagikan lauk kepada masing-masing orang yang ada di sana.
Aziz dan seluruh anggota keluarga Rika menikmati makanan mereka sambil asyik mengobrol tentang ke seharian mereka. Saat itu, Aziz bisa merasakan kehangatan yang sudah cukup lama ia tidak merasakan nya.
Sehabis makan, Aziz membantu Bu Siti merapikan meja makan dan mencuci piring-piring kotor yang mereka pakai tadi. Setelah itu, Aziz membereskan barang-barangnya dan berpamitan kepada keluarga Rika.
"Terima kasih banyak ya, sudah menerima saya hari ini. Maaf merepotkan malam-malam begini." kata Azis dengan sopan kepada Bu Siti, Pak Ayib dan Rika yang sedang berada bersamanya di depan rumah.
"Tidak apa-apa kok. Lain kali datang lagi ya. Hati-hati di jalan." kata Bu Siti.
"Kamu serius, gak mau Bapak antarin sampai ke rumah. Ini sudah malam loh. Nanti kalau kenapa-napa susah." kata Pak Ayip, menghawatirkan Aziz.
"Nggak papa kok pak, saya bisa sendiri. Rumah saya juga nggak jauh dari sini. Yah, sudah saya permisi dulu yah."
"Iya, hati-hati." Aziz pun akhirnya pulang ke rumahnya.
“Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkannya memiliki Aziz.” kata Rika dalam hati.
ns 15.158.61.7da2