"Selamat pagi Aziz," sapa Rika yang baru ke luar dari rumah dan langsung berlarian menuju Aziz. Aziz tidak menjawab. Ia bahkan tidak menyadari bahwa ada Ahmad di belakangnya. Ia terus berjalan tanpa memikirkan apapun.
Karena merasa di cuekin, Rika mendatangi Ahmad. "Kenapa dia? Sakit?" tanyanya.
"Entah lah. Dari tadi dia udah kayak begini. Bahkan gua juga di cuekin sama dia." jawab Ahmad.
"Pasti ada sesuatu yang mengganggunya." pikir Rika di dalam hati.
Tiba-tiba Ahmad memukul pelan pundak Rika. "Eh, lu jangan bengong juga dong," katanya.
"Eh, iya. Maaf." kata Rika.
"Ngomong-ngomong, lu bawa kan kertas formulir nya?" tanya Ahmad.
"Bawa dong…" jawab Rika.
"Terus lu jadi sekolah di SMA kakak lu?"
"Sekolah kakak gua itu opsi kedua, kalo misalnya gua masuk SMA yang orang tua gua inginkan." jelas Rika.
"Enak yah, masih di kasih kesempatan untuk milih sekolah nya sendiri. Terus SMA nya gak sesudah gua lagi masuknya." keluh Ahmad.
"Tenang aja," kata Rika sambil balik memukul Ahmad. "Gua yakin kok lu bisa masuk SMA itu. Yah… kalo enggak, sama gua sekolah nya, " canda Rika. "Tapi bener kata lu, gua gak boleh santai. Gua masuk harus berjuang keras untuk bisa masuk ke SMA itu."
"Haruslah. Lu sama Aziz kan rencananya mau SMA bareng,"
"Heem, terus?"
"Yah… enggak sih. Gua cuma kasian aja kalo Aziz harus masuk SMA itu, cuma gara-gara lu."
"Jadi maksudnya, sebaiknya gua masuk SMA yang orang tua gua pilih. Biar gak menyusahkan Aziz?" tebak Rika.
"Bingo. Betul sekali." Ahmad dan Rika pun tertawa. Sedangkan Aziz masih merasa sengsara, karena belum bisa memberitahukan mereka soal keindahan nya.
Di sekolah, sebelum bel istirahat, Bu Andri mengumpulkan formulir masuk SMA yang kemarin.
"Aziz dan Dinda, tolong kumpulkan formulir masuk SMA yang kemarin, yah!" pintanya. Aziz dan Dinda langsung bangkit dari kursi mereka masing-masing dan mengumpulkan formulir tersebut, sesuai barisan mereka masing-masing.
6 menit kemudian, "Ini bu." Kata Aziz sambil menyerahkan formulir teman-teman nya kepada Bu Andri.
"Terima kasih banyak, Aziz dan Dinda. Ibu akan chek dulu, " beberapa saat kemudian, "Kok cuma 37? Bukannya di kelas ini ada 38 anak?" tanyanga lagi sambil menghitung ulang formulir-formulir nya.
"Kok bisa kurang yah. Padahal semua anak kelas 91 masuk semua hari ini?" tanya Ahmad dalam hati.
Dinda bangkit kembali dan bertanya kepada "Adakah yang belum mengumumkan formulir nya?" tanya Dinda.
"Saya sudah."
"Udah, kok."
"Eh, siapa yang belum tuh?"
Serentak anak-anak saling bertanya satu sama lain, membuat kelas menjadi ribut.
"Hei, hei, hei, semua diam." kata Bu Andri mencoba untuk menenangkan anak-anak.
"Emmmm, Aziz!" panggil Dinda. Aziz tidak menjawab, bahkan tidak menoleh sedikit pun. Gara-gara masalah kemarin, dari tadi pagi dia jadi begini.
"Woii, Aziz, " panggil Zidan sambil mengoyang-goyangkan kursi Aziz.
"Oh, iya. Maaf, ada apa?" tanya Aziz.
"Lu belum ngumpulin formulir nya." lanjutnya dengan berbisik.
Aziz segera bangkit sambil mengambil kertas di laci mejanya. "MA-maaf bu, saya belum ngumpulin." katanya lalu menuju meja guru untuk memberikan formulir nya.
"Maaf Bu. Saya gak fokus." kata Aziz kepada Bu Andri.
Bu Andri mengambil formulir Aziz dan berkata, "Iyah, tapi jangan bengong mulu yah." nasihat Bu Andri.
"Iya, Bu. Maafkan saya." kata Aziz lagi.
"Coba Ibu lihat dulu yah, formulir kamu." Bu Andri memerhatikan formulir milik Aziz dan terkejut.
"A-ada apa Bu?" tanya Aziz, agak khawatir.
"Kamu mau pindah ke Jakarta, Aziz?" semua murid tercengang.
Tapi dengan santai Aziz menjawabnya. "Iya Bu. Rencananya sih, begitu."
"Yaudah kalo gitu, kamu harus belajar yang rajin ya. Biar bisa masuk SMA di Jakarta." saran Bu Andri.
"Iya, Bu." Aziz lalu kembali ke bangkunya dan sesat kemudian, bel berbunyi. "Kringggggg!" satu demi satu anak-anak berlarian keluar kelas, termasuk Aziz. Seperti biasa, ia akan makan siang bareng bersama Rika dan Ahmad.
Saat ia sedang mengambil kotak bekal ya dari dalam kolong meja. "Aziz!" panggil Dinda.
"Hem, kenapa?" tanya Aziz tanpa melihat ke arah Dinda.
"Kamu beneran mau masuk SMA dk Jakarta?"
"Oh, iya begitu lah."
Rika yang baru datang, mendengar percakapan Aziz dengan Dinda, terkejut dan langsung bertanya ke Aziz. "Kamu mau pindah ke Jakarta!?" tanyanya.
Aziz mengalihkan pandangan nya ke arah lain. "Iya." jawabnya singkat.
"Lah, kenapa? Bukannya kemaren katanya mau sesekolah bareng sama aku?" tanya Rika dengan mimik muka cemas.
"Maaf, tapi kayaknya aku gak bisa sesekolah bareng sama mu." jawab Aziz.
"Kenapa?"
Aziz tidak ingin membahas hal tersebut lagi dan mencoba mengalihkan pembicaraan. Aziz. Melihat jam dinding yang ada di kelas. "Eh, lihat," katanya sambil menunjuk ke jam di belakang mereka. "Udah jam segini. Ayo kita makan. Keburu bel masuk." lanjutnya lalu melangkah keluar kelas.
"Heiii, Aziz tunggu." Rika mencoba mengejar Aziz.
Aziz menghentikan langkahnya dan berbalik, menunggu Rika. "Ayo, makan bareng," ajaknya sambil tersenyum. "Ahmad, ikut kagak?" lanjutnya.
“Aku gak akan makan bareng kamu, sebelum kau ngomong sama aku apa yang sebenarnya terjadi.”
“Lalu?” Rika tersentak. “Aku emang selalu makan sendiri sebelum kamu dateng. Jadi ancaman mu tidak akan mempan.” lanjutnya dengan dingin.
“A-apa yang baru terjadi?” tanya Rika di dalam hati.
Karena kasian, Ahmad mendatangi Rika. “Udah lah, biarin aja dia. Kalo dia udah begini, gak ada bisa melakukan apapun.” jelas nya.
“Tapi, kau akan pindah tanpa memberitahukan ku terlebih dahulu. Apakan kau gak tau, bagaimana perasaan ku soal ini sekarang?” tanya Rika pada Aziz yang masih berdiri di depannya.
“Sekarang aku mau tanya. Apakah dulu kau memberitahu ku, soal kau yang akan pindah ke Bali?” tanya Aziz.
“Aaaaaa…”
“Lalu Apakah kau tau, bagaimana perasaan ku soal itu?”
Sama seperti tadi, Rika tidak bisa berkata apapun.
“Lalu sekarang, kenapa aku harus memikirkan nya? Jangan bersikap egois. Gara-gara kamu, aku menjadi tidak punya teman lagi. Gara-gara kamu, hidupku menjadi hampa dan tak ada arti. Dan gara-gara kamu, aku harus merasakan pahitnya di kehidupan sekolah. Bahkan aku juga sempat di bully,” Rika dan orang-orang lain yang mendengar tercengang. “Yah, dulu aku pernah di bully. Mungkin itu bukan salah mu, sepenuhnya. Dan aku juga tidak bisa membanding-bandingkan seperti itu. Tapi aku yakin, walaupun tanpa ku, kau masih akan memiliki teman yang akan menemanimu di saat-saat tertentu,” ketus Aziz. “Tidak seperti ku.” lanjutnya dengan suara yang lebih pelan lalu pergi meninggal Rika.
Rika tidak bisa berkata apapun. Perasaannya campur aduk. Lalu, karena tidak tahu harus berbuat apa, ia menangis. Ahmad mencoba menenangkannya.
“Maaf, emang terkadang, Aziz bersifat keras dan dingin. Jadi tolong-“
“Tidak, dia benar. Aku juga bukan menangis kerena marah. Tapi karena perasaan sedih dan kecewa pada diri ku sendiri,” kata Rika lalu mencoba menghapus air matanya. “Hiks, tapi kenapa, aku hiks, bisa sebodoh itu?” lanjutnya sambil menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah, tidak usah di pikirkan,” pinta Ahmad lalu memberikan tisu untuk mengalap air mata Rika. “Gua punya ide. Ayo, kita cari tau, apa alasan sebenarnya Aziz tiba-tiba memutuskan untuk pindah.” bisiknya, membuat Rika langsung berbalik ke arah Ahmad.
Ahmad tersenyum sinis, membuat Rika agak sedikit ketakutan. Tapi dia juga penasaran. Jadi ia langsung menyetujui rencana Ahmad, tanpa memikirkan apa sebenarnya rencana itu.
"Abis pulang sekolah, kerumah gua." muka Rika langsung memerah. "Lu jangan mikir yang aneh-aneh deh," larang Ahmad. Sementara Rika hanya senyum-senyum sendiri. "Gua cuma mau lu dengerin pembicaraan gua sama Pak Bin?" lanjutnya.
"Pak Bin? Supir Aziz?" tebak Rika.
"Tepat sekali. Tapi kalo gak mau sih… gua gak masalah." canda Ahmad, membuat Rika menjadi tertawa.
"Iya-iya, gua ikut."
"Sekarang, ayok kita ke kantin. Gua laper nih…" canda Ahmad sambil pura-pura memegangi perutnya.
"Dasar! Yang ada di otak lu cuma makanan doang." ledek Rika sambil berjalan di samping Ahmad, menuju ke kantin.
Pulang sekolah, seperti yang di rencanakan tadi, Rika berkunjung ke rumah Ahmad.
"Iya, mah. Nanti sebelum maghrib aku pulang." kata Rika kepada ibunya, melalui telepon. Setelah itu mematikan teleponnya dan mengambilkan handphone itu ke pemiliknya, yang bukan lain adalah Ahmad.
"Makasih, yah Mad. Udah minjemin gua hp lu." kata Rika.
"Iya, sama-sama," Ahmad mengambil handphonenya kembali dan sekarang sedang mencoba menelepon Pak Bin. "Sekarang, mari kita telepon saksi pertama kita." lanjutnya.
"Saksi? Buset! Kayak detektif aja." ejek Rika.
"Berisik. Ini orangnya udah nyambung."
Beberapa menit kemudian, Pak Bin akhirnya di angkat dan langsung memulai pembicaraan.
Awalnya Pak Bin dan Ahmad membicarakan keadaan mereka masing-masing dulu. Baru akhirnya Ahmad menanyakan, apa yang sebenarnya inti.
“Apakah benar Aziz dan keluarga akan pindah ke Jakarta?”
“Eh, Iya, betul. Kok kamu bisa tau?”
“Aziz yang cerita pak.”
“Ohhh…”
“Kalo saya boleh tau nih pak, sebenarnya apa alasan Aziz tiba-tiba pindah ke Jakarta?”
“Kayaknya sih gara-gara pekerjaan Bapak dan Ibu.”
“Loh, emang pindah lagi pak?”
“Enggak, masih sama kok di Jakarta. Tapi justru itu, mereka jadi pindah. Bapak ngeluh kalo capek bolak, balik dan mau pindah biar gak terlalu jauh lagi.”
“Hanya itu pak? Tidak ada yang lain?”
“Emmm, saya sendiri sih, kurang tau yah. Maaf yah.”
“Oh… begitu yah pak. Yasudah, gak papa kok pak. Terima kasih atas waktu nya yah. Saya tutup telpon nya.”
“Iyah.”
Ahmad menutup telepon dan berpikir.
“Kalo cuma alasannya itu, bukan nya Aziz emang sering di tinggal sendiri?” tanya Rika pada Ahmad.
“Gua sendiri gak tau yah. Tapi gua yakin, keputusan Aziz pasti sepenuhnya bukan berasal dari nya. Itu pasti sebagai dari orang tuanya yang mengiming-imingi Aziz." tebak Ahmad.
“Iya, emang Aziz anaknya nurut banget kalo sama orang tua nya.”
“Oh, yah? Ngomong-ngomong, lu pernah ketemu sama orang tuanya Aziz gak?”
Rika mencoba mengigat-ngigat dulu sebentar. “Semenjak gua tinggal di sini, belum pernah. Ngapa?”
“Karena gua juga sama.”
“Maksudnya?”
“Gua udah temanan sama Aziz dari kelas 2. Tapi sampai sekarang pun, gua belum pernah ketemu sama orang tua dia,” kata Ahmad lalu mengelus-ngelua dagunya. “Apakah yang lain juga begitu?”
“Tapi bukanya lu udah sering main ke rumah Aziz?”
“Iya. Tapi belum pernah ketemu. Biasanya gua juga di ajak gara-gara orang tuanya lagi gak ada.”
“Berarti sampai sekarang belum ada yang pernah ketemu?” tebak Rika.
“Mungkin. Gua pribadi sih belum.”
“Apa lagi yang lain,” Rika menduga sesuatu. “Apa jangan-jangan orang tua Aziz gak tau kalo Aziz punya teman, dan rencana untuk pindah karena itu?” tebaknya, membuat Ahmad muncul sebuah ide.
“Gua punya ide.” Ahmad berbisik kepada Rika.
ns 15.158.61.7da2