"Aziz, papah dan mamah pergi dulu, ya," pamit Bu Auris lalu mencium pipi Aziz.
"Mamah, papah gak akan lama kok. Kamu jangan nakal yang di rumah. Jangan lupa ngerjain PR dan belajar. Jangan main terus." lanjutnya.
"Iya, mah." kata Aziz lalu mencium tangan Bu Auris kemudian Pak Okta.
"Kamu gak mau di anterin ke sekolah?" tanya Pak Okta kepada Aziz.
"Gak usah. Aku mau jalan aja. Mumpung cuacanya cerah hari ini." jawab Aziz.
"Udah bawa payung?" tanya Bu Auris.
"Udah kok. Nih." kata Aziz sambil memperlihatkan payung lipatnya ke mereka.
"Bagus." kata Bu Auris lalu mengelus-ngeluh kepala Aziz.
"Yaudah, yuk, sayang kita berangkat," ajak Pak Okta lalu melihat jam tangannya. "Penerbangan kita 1 jam lagi. Sebaiknya kita berangkat sekarang." lanjut Pak Okta lalu berjalan menuju mobil.
"Mamah berangkat dulu yah sayang. Dadah…" kata Bu Auris lalu berjalan menuju mobil dan masuk ke dalamnya.
Aziz membalasnya dengan melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, mobil ayah dan ibunya sudah berangkat dan sekarang waktunya Aziz berangkat sekolah.
"Mbak, aku berangkat dulu ya." pamit Aziz sambil berjalan menuju ruang tamu lalu mengambil tas dan kembali ke pintu masuk.
"Iya, hati-hati ya kak." kata Mbak Rosa, yang berada di depan pintu.
"Loh kok gak sama Ahmad?" tanya Pak Bin yang sedang menyiram bunga.
"Palingan dia belum siap. Ini kan masih jam 6 lebih. Nanti aku yang akan ngejemput dia." jawab Aziz.
"Oh… oke. Hati-hati yah di jalan." nasehat Pak Bin.
"Iyah, makasih. " Aziz membuka pagar rumah dan mulai berjalan menuju rumah Ahmad.
Saat di perjalanan, Aziz terus terusan melihat ke arah langit sambil terpesona dengan keindahannya. “Cuacanya cerah yah hari ini.” pujinya dalam hati sambil melihat ke awan.
“Sahabat awan?” Aziz tiba-tiba tertawa sedikit kerena mengigat masa kecilnya dulu.
Gara-gara terlalu terpesona dengan keindahan langit dan cuaca hari ini, Aziz sampai tidak menyadari jika ternyata Ahmad menyaperinya dan mengejudkannya dari belakng. “Ngapain lu senyum-senyum sendiri? Kesurupan?” tanya Ahmad yang berada di depannya.
Aziz kaged. “Oh… udah bangun. Kirain masih molor.” ejek Aziz.
“Molor, molor. Orang udah seger begini,” kata Ahmad lalu berlari menuju Aziz dan merangkul pundaknya. “Ayo, kita berangkat.”
“Hem,” jawab Aziz. “Oh, ya, ngomong-ngomong, gimana kemarin ama Dinda? Lu udah nembak dia?” lanjutnya sambil berjalan di samping Ahmad.
Tiba-tiba muka Ahmad memerah karena malu. “Ih, apain sih lu?” katanya lalu memukul pundak Aziz.
“Awww!” keluh Aziz.
“Lagian, mana berani gua nembak dia. Dia pinter, cantik, baik,” puji Ahmad, yang tampak sangat senang dan tanpa rasa malu melakukannya, membuat Aziz merasa agak jijik. “Sedangkan gua cuma jago dalam hal bulu tangkis doang. Itu juga masih kalah ama lu.” lanjutnya sambil memandang Aziz, yang tampak begitu polos. Tidak tahu kalau sebenarnya Dinda menyukainya.
“Tumben lu kagak percaya diri.” canda Aziz.
“Kok anak sepinter dia, bisa sebego dan sepolos ini sih?” tanya Ahmad di dalam hati.
“Kenapa gak lu aja yang nembak dia?” tanyanya.
“Enggak, ah. Gua gak begitu suka sama personality nya,” jawab Aziz dengan santai. “Lagian, gua gak mau jadi nyamuk di antara kalian berdua. ” lanjutnya sambil melirik ke arah Ahmad. Seperti yang di duga, wajahnya menjadi merah.
“Apaana sih? Jangan suka gangguin perasaan orang lain dong.” ketus Ahmad lalu mempercepat langkahnya. “Tapi, emangnya kenapa personality Dinda?”
“Dia terlalu rajin.” jawab Aziz singkat.
“Ampun dahhh...” kata Ahmad sambil menepuk jidatnya. “Tapi emang bener kok. Walaupun lu pinter, tapi lu juga sangat pemales. Tiap hari kerjaannya duduk di kelas mulu. Pantesan kagak ada yang suka ama lo.” ejek Ahmad, berbohong.
Aziz tertawa sebentar dan berkata. “Iyah, emang. Gua sendiri juga gak ngerti, kenapa gua bisa sepinter ini.”
“Buset, kagak peka bet, dah nih anak.” ejek Ahmad dalam hati.
Saat mereka sampai di dekat gerbang komplek, Aziz berhenti sebentar.Ahmad yang berjalan di depannya, juga akhirnya berhenti gara-gara baru tahu kalau Aziz sudah hilang entah kemana.
“Ziz, kenapa?” tanyanya.
“Enggak.” jawab Aziz, singkat lalu kembali berjalan.
Sebenarnya tadi Aziz sempat berhenti di depan rumah Rika. Ia ingin tahu, apakah Rika sudah berangkat atau belum. Dan ternyata, Rika sudah berangkat.
“Yah… padahal tadi aku mau kita berangkat bareng.” kata Aziz dalam hati.
“Oh, yah. Itu rumah udah kejual ya?” tanya Ahmad tiba- tiba.
Ahmad baru tersadar kalau ternyata rumah yang Aziz amati tadi, sudah tidak ada posternya.
“Iyah udah.” jawab Aziz.
Mereka pun malanjutnya perjalanan mereka menuju sekolah. Saat mereka baru sampai di gerbang sekolah, tiba-tiba Ahmad teringat sesuatu.
“Ngomong-ngomong, kemarin gimana? Lu berhasil ngebujuk si… siapa namanya? Aaa…” kata Ahmad sambil berusaha mengigat nama anak perempuan tersebut.
Saat tiba-tiba Rika datang dan menyapa Aziz.
“Aza!” panggil Rika dari lorong lalu berlari menuju Aziz dan Ahmad.
Ahmad yang sedang bengong sambil perpikir menjadi memusatkan perhatiannya ke gadis yang memanggil Aziz dengan sebuatan “Aza”.
“Siapa itu?” bisik Ahmad kepada Aziz.
“Hai Rika.” sapa balik Aziz ke Rika. Tanpa memperdulikan pertanyaan Ahmad.
“Oh… itu toh, anak yang namanya Rika.” ujar Ahmad dalam hati.
“Bagaimana, kau sudah makan coklat nya?” tanya Aziz kepada Rika. Tapi kali ini dengan suara yang hangat dan ceria. Berbeda dengan cara ia berbicara ke perempuan-perempuan lainnya.
“Lah? Itu Kak Aziz manggil siapa?”
“Kok nada bicaranya beda banget dari yang biasa?”
Bisikkan anak-anak mulai terdengar. Mungkin karena terkejud dengan cara bicara Aziz, yang tiba-tiba hangat seperti itu. Bahkan Ahmad yang berada di sampingnya, terkejud.
“Udah kok.” jawab Rika.
“Kamu berangkatnya jam berapa? Pas tadi akau lewat rumah kamu, kamu udah gak ada.” tanya Aziz.
“Buset! Nih cewek sebenarnya siapa sih? Ngomongnya ampe kamu, aku.” kata Ahmad di dalam hati.
“Aku berangkat jam 6.” jawab Rika sambil memberlihatkan jarinya yang menuju angka enam.
“Pagi bener.” canda Aziz.
“Oh, ya? Padahal kalau aku di Bali, setiap hari berangkatnya jam segitu.”
“Gila… pagi bener. Kita masuk aja baru jam setengah 8.” kata Aziz.
“Iyah emang, kayanya ke pagian deh.”
“Besok kita berangkat bareng aja.” tawar Aziz.
“Boleh.”
“Tapi sama dia juga.” kata Aziz sambil menunjuk ke arah Ahmad, yang masih tercengang.
“O-o-oh.” kata Rika, agak kecewa.
“Oh, yah. Aku belum ngenalin dia,” kata Aziz lalu mendorong Ahmad kedepan. “Ini temen sekelas ku, Ibrahim Ahmad kau bisa manggil dia Ahmad.” lanjutnya, mem perkenalkan Ahmad kepada Rika.
“Ohhh… kamu sahabatnya Aziz dulu yah? Yang kemarin nolak dia.” tebak Ahmad.
“Bogo lu!” batin Aziz sambil memukul keras kepala Ahmad.
“Hehehehe… i-iyah.” jawab Rika, agak malu-malu.
“Bagus lah, kalian udah baikkan.”
“Kemarin siapa yah namanya… aaaa… siapa Ziz?” tanya Ahmad sambil mengigat-ngigat nama asli Rika.
“Namaku Zarika Kalin Putri. Dari kelas 97.” sapa Rika dengan ramah.
Saat mereka tadi sedang asik mengobrol, mereka tidak sadar kalau ternyata Dinda menguping dari kejauhan.
“Gua gak boleh kalah dari dia.” ketus Dinda dalam hati.
“Oh, iyah. Putri,” ujar Ahmad, baru ingat. “Salam kenal juga,” jawab Ahmad sambil menundukkan kepalanya. “Ngomong-ngomong, boleh gak gua ngomongnya gak pake kamu, aku? Gua gak terbiasa.”
“O-oh, iyah. Terserah aja.”
“Bagus lah.”
Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Membuat para murid berlari menuju kelasnya masing-masing.
“Wahh, udah bel. Aku masuk kelas dulu yah,” kata Rika sambil beranjak pergi meninggal Aziz dan Ahmad. “Nanti istirahat bareng yah.” lanjutnya, sebelum meninggalkan mereka berdua.
“Kita juga harus ke kelas.” Aziz dan Ahmad pun juga akhirnya pergi menuju kelas.
“Gua juga sebaliknya balik ke kelas.” ujar Dinda dalam hati.
Saat Dinda memasuki kelas ia melihat Aziz dan Ahmad yang sedang asyik mengobrol tentang Rika.
“Ihh… apa sih spesialnya anak itu?” tanya Dinda dalam hati, sambil menahan marah.
Tak lama kemudian, guru yang mengajar masuk dan memulai pelajaran.
Saat di tengah-tengah pelajaran, Ahmad berbisik ke Aziz.
“Ehhh, Az,” panggil Ahmad dengan suara pelan, supaya tidak ketahuan oleh guru.
Aziz menoleh. “Kenapa?”
“Nanti kalau kita istirahatnya bareng sih Putri, makannya di mana?” bisik Ahmad.
“Emmm, gua juga gak tau sih,” kata Aziz sambil perpikir. “Nanti deh, gua tanya lagi.”
Bab 8: “Gua gak ngerti? Emang kenapa orang-orang ngeliatin gua?”
Bel istirahat pun berbunyi. Guru-guru meninggal kelas dan kembali ke ruang guru. Sedangkan para murid segera keluar dari kelas dan menyerbu kantin. Sedangkan Aziz seperti biasa hanya diam di kelas sampai keadaan aman.
“Eh… Az, ayo. Katanya mau istirahat bareng ama Putri.” ajak Ahmad lalu menarik tangan Aziz.
“Kita aja gak tau maksud dari ‘istirahat’ itu apa, menurut Rika.”
“Lu gimana sih,” ejek Ahmad lalu melepaskan tangan Aziz. “Kita tuh sebagai cowok, harusnya ngedatengin dia. Bukannya nungguin dia, cewek ngedatengin kita.”
“Ohhh, begitu.” kata Aziz, tampak tak perduli.
“Yaudah, ayo.” Ahmad mengambil kotak bekal Aziz dari kolong mejanya lalu menarik tangan Aziz lagi.
“Mau kemana?” tanya Aziz, kebingungan.
“Ke kelas Putri lah.”
“Oke.” kata Aziz, terpaksa. Lalu berdiri dan mengambil kotak bekalnya dari Ahmad. Sedangkan Ahmad, mengambil kotak bekalnya juga dari dalam tas. Dan berlari meninggalkan Aziz.
“Woiii, tunggu napa!” seru Aziz lalu menambah kecepatannya.
Di sisi lain, Rika sedang merapihkan bukunya sambil mengobrol dengan teman yang duduk di sebelahnya. Saat tiba-tiba Aziz masuk dan mengajak Rika, makan. Tapi sebelum itu.
“Kita udah sampe. Lu cepet panggil sih Putri.” perintah Ahmad sambil mendorong Aziz masuk ke dalam kelas 97.
“Eh, eh, eh, bentar!” kata Aziz sambil menghentikan langkahnya. “Kenapa gua? Kenapa gak lu aja?”
“Lu gimana sih? Dia kan sahabat lu.”
“Iyah sih…. tapi….”
“Dasar pemalas,” ejek Ahmad lalu mendorong Aziz. “Udah cepet, sana.” usir Ahmad. Aziz pun terpaksa masuk ke kelas Rika dan mengajak Rika, makan. Aziz sebenarnya paling tidak suka masuk ke kelas orang lain. Karena ia merasa, saat ia masuk ke kelas orang lain, orang-orang selalu memperhatikannya dengan pandangan jijik dan tidak suka. Padahal sih, itu cuma hayalan Aziz saja. Orang-orang tidak pernah memperhatikannya dengan pandangan jijik atau tidak suka. Malahan mereka senang, kerena Aziz ingin masuk ke kelas mereka.
“Wah, itu kan Aziz. Ngapain dia di sini?”
“Gua harap dia ke sini untuk ngajak gua.”
“Ihhh, ganteng banget yah dia.” kata para murid yang berada di dalam kelas tersebut.
“Rika!” panggil Aziz.
“Aza.” kata Rika lalu berdiri dari bangkunya.
“Ayo, kita makan. Kamu bawa bekel kan?”
“Bawa kok.” Rika segera mengambil kotak bekalnya dari dalam tasnya.
“Ayo… sih Ahmad udah nungguin. Kalo dia marah, bisa panjang urusannya.” canda Aziz lalu mengandeng tangan Rika, yang membuat peremuan-peremuan di kelas berteriak histeris.
“Maaf yah, gara-gara aku, kamu jadi di teriakin.” kata Aziz yang baru keluar dari kelas bersama Rika.
“Bego dasar!” ejek Ahmad.
“Gak papa. Tapi kayanya teriakan itu bukan bermaksud negatif deh.” tebak Rika.
“Oh, yah?”
“Udah, biarin aja. Emang terlalu polos dia,” kata Ahmad pada Rika.
Tapi bukannya marah, Aziz malah kebingungan.
“Ayo, yuk, kita makan. Gua udah laper nih.” katanya sambil memegangi perutnya.
“Mau makan di mana?” tanya Rika sambil berjalan entah kemana, hanya mengikuti Aziz dan Ahmad dari belakang.
“Di bawah. Di dekat ruang perpus.” jawab Aziz singkat.
“Ohhh…”
Sesampainya mereka di sana, Ahmad segera berlari menuju meja kosong.
“Ayo, sini!” seru Ahmad.
“Iyah.” jawab Aziz lalu seperti tadi, mengandeng tangan Rika ke meja tersebut.
“Dasar, pacaran aja terus.” ejek Ahmad lalu duduk di kursi kosong.
“Pacaran, pacaran. Orang cuma gandengan tangan aja, di bilangin pacaran.” ketus Aziz lalu menarik bangku dan mendudukkinya.
Mereka pun menikmati makan siang sambil asyik mengobrol.
“Ngomong-ngomong, kamu masuk ekskul apa?” tanya Aziz pada Rika.
“Belum tau deh.” jawabnya lalu berpikir sejenak.
“Kenapa gak bulu tangkis aja. Nanti lu bia di ajarin sama Aziz.” usul Ahmad.
“Aku gak begitu bisa main bulu tangkis. Tapi maksudnya, nanti gua bia di ajarin sama Aziz, apa?”
“Lu belum tau?” tanya Ahmad tidak percaya. Rika menggeleng. “Dia itu jago banget main bulu tangkis. Malah paling jago sesekolah,”
“Oh… yah?” tanya Rika, tak percaya.
“Plus, Aziz itu kapten ekskul bulu tangkis. Jadi kalau lu ikut ekskul itu, lu bisa di ajarin sama Aziz.”
“Apaan sih lu?” tanya Aziz sambil mencubit tangan Ahmad, yang membuat menjadi diam.
“Gak usah di paksa. Kenapa gak ikut ekskul memasak aja. Kamu kan jago masak kan?” saran Aziz.
“Iyah sih.”
Mereka pun malanjutnya perjalanan mereka menuju sekolah. Saat mereka baru sampai di gerbang sekolah, tiba-tiba Ahmad teringat sesuatu.
“Ngomong-ngomong, kemarin gimana? Lu berhasil ngebujuk si… siapa namanya? Aaa…” kata Ahmad sambil berusaha mengigat nama anak perempuan tersebut.
Saat tiba-tiba Rika datang dan menyapa Aziz.
“Aza!” panggil Rika dari lorong lalu berlari menuju Aziz dan Ahmad.
Ahmad yang sedang bengong sambil perpikir menjadi memusatkan perhatiannya ke gadis yang memanggil Aziz dengan sebuatan “Aza”.
“Siapa itu?” bisik Ahmad kepada Aziz.
“Hai Rika.” sapa balik Aziz ke Rika. Tanpa memperdulikan pertanyaan Ahmad.
“Oh… itu toh, anak yang namanya Rika.” ujar Ahmad dalam hati.
“Bagaimana, kau sudah makan coklat nya?” tanya Aziz kepada Rika. Tapi kali ini dengan suara yang hangat dan ceria. Berbeda dengan cara ia berbicara ke perempuan-perempuan lainnya.
“Lah? Itu Kak Aziz manggil siapa?”
“Kok nada bicaranya beda banget dari yang biasa?”
Bisikkan anak-anak mulai terdengar. Mungkin karena terkejud dengan cara bicara Aziz, yang tiba-tiba hangat seperti itu. Bahkan Ahmad yang berada di sampingnya, terkejud.
“Udah kok.” jawab Rika.
“Kamu berangkatnya jam berapa? Pas tadi akau lewat rumah kamu, kamu udah gak ada.” tanya Aziz.
“Buset! Nih cewek sebenarnya siapa sih? Ngomongnya ampe kamu, aku.” kata Ahmad di dalam hati.
“Aku berangkat jam 6.” jawab Rika sambil memberlihatkan jarinya yang menuju angka enam.
“Pagi bener.” canda Aziz.
“Oh, ya? Padahal kalau aku di Bali, setiap hari berangkatnya jam segitu.”
“Gila… pagi bener. Kita masuk aja baru jam setengah 8.” kata Aziz.
“Iyah emang, kayanya ke pagian deh.”
“Besok kita berangkat bareng aja.” tawar Aziz.
“Boleh.”
“Tapi sama dia juga.” kata Aziz sambil menunjuk ke arah Ahmad, yang masih tercengang.
“O-o-oh.” kata Rika, agak kecewa.
“Oh, yah. Aku belum ngenalin dia,” kata Aziz lalu mendorong Ahmad kedepan. “Ini temen sekelas ku, Ibrahim Ahmad kau bisa manggil dia Ahmad.” lanjutnya, mem perkenalkan Ahmad kepada Rika.
“Ohhh… kamu sahabatnya Aziz dulu yah? Yang kemarin nolak dia.” tebak Ahmad.
“Bogo lu!” batin Aziz sambil memukul keras kepala Ahmad.
“Hehehehe… i-iyah.” jawab Rika, agak malu-malu.
“Bagus lah, kalian udah baikkan.”
“Kemarin siapa yah namanya… aaaa… siapa Ziz?” tanya Ahmad sambil mengigat-ngigat nama asli Rika.
“Namaku Zarika Kalin Putri. Dari kelas 97.” sapa Rika dengan ramah.
Saat mereka tadi sedang asik mengobrol, mereka tidak sadar kalau ternyata Dinda menguping dari kejauhan.
“Gua gak boleh kalah dari dia.” ketus Dinda dalam hati.
“Oh, iyah. Putri,” ujar Ahmad, baru ingat. “Salam kenal juga,” jawab Ahmad sambil menundukkan kepalanya. “Ngomong-ngomong, boleh gak gua ngomongnya gak pake kamu, aku? Gua gak terbiasa.”
“O-oh, iyah. Terserah aja.”
“Bagus lah.”
Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Membuat para murid berlari menuju kelasnya masing-masing.
“Wahh, udah bel. Aku masuk kelas dulu yah,” kata Rika sambil beranjak pergi meninggal Aziz dan Ahmad. “Nanti istirahat bareng yah.” lanjutnya, sebelum meninggalkan mereka berdua.
“Kita juga harus ke kelas.” Aziz dan Ahmad pun juga akhirnya pergi menuju kelas.
“Gua juga sebaliknya balik ke kelas.” ujar Dinda dalam hati.
Saat Dinda memasuki kelas ia melihat Aziz dan Ahmad yang sedang asyik mengobrol tentang Rika.
“Ihh… apa sih spesialnya anak itu?” tanya Dinda dalam hati, sambil menahan marah.
Tak lama kemudian, guru yang mengajar masuk dan memulai pelajaran.
Saat di tengah-tengah pelajaran, Ahmad berbisik ke Aziz.
“Ehhh, Az,” panggil Ahmad dengan suara pelan, supaya tidak ketahuan oleh guru.
Aziz menoleh. “Kenapa?”
“Nanti kalau kita istirahatnya bareng sih Putri, makannya di mana?” bisik Ahmad.
“Emmm, gua juga gak tau sih,” kata Aziz sambil perpikir. “Nanti deh, gua tanya lagi.”
ns 15.158.61.21da2