Hari esok pun datang. Seperti biasa, paginya Aziz bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Tapi tidak seperti kemarin, karena hari ini hujan, jadi Aziz berangkat sekolah di antar oleh supir Pak Okta, bersama dengan Pak Okta juga.
“Pah, aku sekolah dulu yah.” pamit Aziz lalu mencium tangan Pak Okta.
Saat Aziz sedang mencium tangan Pak Okta, Pak Okta menyadari bahwa Aziz menggunakan sesuatu yang tidak biasanya ia gunakan.
“Apa yang kamu pakai itu, Aziz?” tanya Pak Okta sambil memperhatikan baik-baik gelang yang di pakai Aziz. “Rizama? Apa itu maksudnya?”
“Ohhh, ini. Artinya Rika, Aza, Salma. Ini gelang yang aku kasih ke Rika dulu.” jawab Aziz lalu tersenyum.
“Ohhh, kamu masih nyimpen aja. Papah kira udah ilang.”
“Hehehehe, iyah,” kata Aziz sambil menggaruk-garung kepalanya yang sebenarnya tidak gatel. “Yaudah, ku masuk dulu, ya pah.”
“Oh, iyah. Tapi hati-hati jalannya licin. Nanti kalau misalnya siang masih hujan, papah udah minta Pak Bin untuk yang ngejemput kamu.”
“Oke, makasih pah.” Aziz membuka pintu mobil dan turun. Tidak lupa Aziz menggunakan payungnya supaya ia tidak kebasahan.
Sesampainya ia di dalam gedung sekolah. Aziz sedang sibuk menutup payungnya, saat tiba-tiba ada seorang perempuan yang sedang tergesah-gesah, membawa setumpukan buku, berlari menuju Aziz. Aziz dan perempuan itu akhirnya bertabrakkan dan terjatuh. Semuanya barang yang di bawah oleh perempuan itu berhamburan ke mana-mana.
"Aduhhh," keluh Aziz kesakitan. "Woiii! Ati-ati napa!" seru Aziz, kesal.
Perempuan itu segera berdiri dan meminta maaf kepada Aziz. Dan saat Aziz melihat siapa perempuan tersebut, Aziz kaget dan tidak tahu berkata apa.
"Anu-, maaf. Aku tadi sedang terbu-, Aza?" tanya perempuan itu keheranan. Yang bukan lain adalah Rika, sahabat Aziz saat kecil dulu.
"Rika?" mereka berdua tercengang dan terdiam beberapa saat.
"Sini aku bantu." kata Rika lalu mengulurkan tangan ke Aziz. Aziz meraih tangan Rika lalu berdiri dan memeluknya erat-erat.
"Rika…" kata Aziz sambil memeluk sahabat lainnya yang sudah 4 tahun ia tidak bertemu. Rika yang masih shok tidak tahu harus bagaimana. Aziz yang di kenal dingin dan cuek itu, memeluk seorang perempuan. Bertapa terkejutnya orang-orang yang pada saat itu berada di dekat mereka.
"Aza? "
Tapi bukannya senang seperti Aziz, Rika malah mendorong Aziz jauh-jauh.
"Lepaskan!" batin Rika. Aziz kaget dan bingung.
"Rika kamu kenapa?"
"Namaku Zarika Kalin Putri. Bukan Ri-ka." batin Rika, menekan kata-katanya.
"Ta-tapi.." belum sempat Aziz berbicara, bel masuk berbunyi.
"Sudah. Gua mau ke kelas dulu." Rika segera mengambil buku-bukunya yang berserakan di lantai dan pergi ke kelasnya.
Aziz merasa sangat sedih dan kecewa. Bertahan-tahun ia menunggu waktu untuk bisa bertemu sahabat lamanya lagi, tapi saat akhirnya bertemu, Rika malah bersikap seolah tidak mengenalnya. Dengan kecewa, Aziz akhirnya memutuskan untuk pergi ke kelasnya. Ahmad yang melihat semua kejadian itu, merasa iba dan agak sedikit bingung. Ia memutuskan untuk menghibur Aziz di kelas nanti.
Sesampainya Aziz di kelas, ia segera duduk di bangkunya dan merenung.
"Eh, gua denger sih Aziz tadi memeluk seorang gadis."
"Emangnya tuh cewek siapa? Berani-berani nya ia menolak Aziz mentah-mentah."
"Dasa cewek sok mahal!"
Dalam sekejap, gosip tentang Aziz memeluk Rika sudah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah.
"Hai Aziz." sapa Ahmad, yang baru datang dan langsung duduk di bangku sebelah Aziz. Aziz tidak menjawab, ia malah berpura-pura sedang membaca buku.
"Ammm, Az. Boleh-" tidak sempat Ahmad selesai bertanya, guru yang mengajar datang dan memulai pelajarannya. Saat pelajaran berlangsung, Ahmad ingin sekali bertanya. Tapi saat itu pelajaran matematika. Kalau sampai ketahuan mengobrol, bisa-bisa di marahin sama Pak Rohman. Saat pelajaran berlangsung, Aziz tidak bisa fokus. Ia terus memikirkan tentang Rika.
"Apa aku salah memeluknya? Mungkin dia hanya malu. Tapi… apa yang harus aku lakukan kan?" tanya Aziz di dalam hati. "Mungkin akan aku coba lagi nanti. Apa yah makanan favorit Rika?"
Bel berbunyi, menandakan waktu istirahat. Tidak seperti biasanya, istirahat hari ini, Aziz berencana untuk pergi ke kantin.
"Mungkin kalau aku belikan dia makanan ke sukaannya dia akan senang.” kata Aziz dalam hati sambil berjalan keluar kelas, menuju kantin. Sebelum Aziz berhasil keluar kelas, Ahmad sudah berhasil mencegatnya dari luar.
“Aziz, lu mau kemana?” tanyanya sambil memblokir pintu.
“Bukan urusan lu,” ketus Aziz, dingin. “Sekarang minggir!”
“Udah lah menyerah aja. Masih banyak kok cewek cantik di sekolah ini.”
Tanpa memperdulikan kata-kata Ahmad, Aziz mendorong tangan Ahmad yang memblokir pintu. Ahmad segera menggenggam tangan Aziz, membuat Aziz berhenti.
“Emang dia siapa sih? Kok lu ampe segitunya ngejar-ngejar dia.”
“Dia sahabat gua dulu.” jawab Aziz dengan suara pelan.
Ahmad tercengang. Tapi ia bisa sedikit mengerti situasi apa yang sedang di hadapi Aziz.
“Dasar keras kepala,” ejek Ahmad lalu melepaskan genggamannya dari tangan Aziz. “Sini gua bantu,” sekarang Aziz lah yang terkejud mendengar ucapan Ahmad. “Gua emang gak begitu pinter dalam pelajaran. Tapi gua lah ahlinya kalau soal cewek.” lanjutnya dengan penuh percaya diri.
Aziz hanya bisa menatap Ahmad dengan geli. “Yaudah, ayo temenin gua ke kantin.” Aziz menggenggam tangan Ahmad, menggandengnya hingga sampai di kantin.
Sesampainya mereka di kantin seperti biasa Aziz menjadi pusat perhatian semua orang.
“Lah? Itukan Kak Aziz?”
“Dia ke kantin? Kenapa yah?”
“Sepertinya keberadaan lu di sini sudah membuat orang-orang di sekitar kita keheraan,” canda Ahmad. Aziz hanya membalasnya dengan senyuman.
“Sekarang lu mau beli apa buat dia?” tanya Ahmad sambil melihat-lihat sekelilingnya.
“Emmm, apa yah?”
“Lah? Bukannya dia sahabat lu?”
“Iyah sih. Tapi kita udah gak ketemu selama 4 tahun,” Ahmad hanya bisa menggeleng-geleng kepalanya sambil berusaha menahan tawanya. “Ohh… gua tau.” kata Aziz lalu berlari menuju mini market. Di dalam kantin sekolahan Aziz terdapat sebuah mini market. Memang tidak terlalu besar di bandingkan yang biasanya. Tapi barang dan makanan yang di jual cukup bervariasi. Sesampainya di dalam mini market tersebut, Aziz segera mencari-cari makanan tersebut.
“Makanan apa Ziz?” tanya Ahmad yang ingin membantu.
“Aaa… coklat.”
“Coklat yang ma-“
“Nah, ini dia,” kata Aziz sambil menunjuk sebuah coklat dengan bungkusan berwarna kuning dan coklat. “Dulu gua sama Rika seneng banget makan coklat beginian.”
“Rika?” tanya Ahmad.
“Iyah itu nickname yang gua kasih untuk sahabat gua itu. Tapi… kalau gak salah sih namanya Zarika Kalin Putri.” jelas Aziz lalu berjalan menuju kasir.
“Ohhh…”
Setelah Aziz mendapatkan apa yang ia cari, Aziz berancana pergi ke kelas Rika untuk memberikannya coklat tersebut. Tapi saat berada di tangga, Ahmad menghentikannya.
“Sebaiknya jangan sekarang mengasih coklatnya.”
“Kenapa Mad?” tanya Aziz tidak mengerti.
Tentu saja Aziz tidak mengerti. Saat di kelas Ahmad bersuka rela membantunya. Tapi saat ini Ahmad malah mencegahnya untuk pergi menemui Rika.
“Mending ngasihnya adis pulang sekolah aja.”
“Kenapa emang?”
“Percaya aja sama gua.” kata Ahmad lalu tersenyum kepadanya.
Ahmad hanya tidak ingin Aziz dipermalukan seperti tadi, walaupun sebenarnya Aziz tidak begitu perduli. Dan malah menjadi gosip besar-besaran di sekolah. Jadi lebih baik jika ingin memberikan coklatnya saat anak-anak lain sudah pulang. Itulah yang berada dipikirn Ahmad.
"Oke." kata Aziz mengalah.
Ahmad tersenyum senang, lalu merangkul pundak temannya itu.
"Oke... sekarang ayo kita makan dulu risol ini, " katanya sambil memperlihatkan risol yang ia beli tadi kepada Aziz. "Kamu suka kan?"
Aziz menganggu. Lalu mereka berdua kembali ke kelasnya dan memakan makanan mereka masing-masing. Sebenarnya Ahmad masih sangat penasaran tentang hubungan Aziz dan anak yang bernama Rika itu. Jadi saat mereka sedang asyik makan, ia menyempatkan untuk bertanya.
"Eh, Ziz?" panggil Ahmad yang duduk di kursi sebelahnya.
"Hem.." sahut Aziz yang masih sibuk memakan bekalnya.
"Kalau emang sih Rika itu sahabat lu, kok dia malah bertingkat kaya gitu?"
"Yah... gua sendiri juga baru ketemu dia, sejak 4 tahun udah gak ketemu."
"Ohhh," kata Ahmad pura-pura mengerti. "Tapi kalau emang lu berdua sahabat, kenapa berpisah?"
"Lu kok jadi kepo banget sih." kata Aziz, mulai kesal.
"Yah iyalah, gua kan temen lu. Dan gua baru tau orang pendiam dan cuek kayak lu, punya sahabat secantik dia."
"Cantikan mana, sama Dinda?" canda Aziz. Tanpa di beritahu pun, Aziz sudah tau kalau Ahmad suka dengan Dinda. Tapi ia tidak tahu kalau Dinda malah menyukai dirinya.
"Ihhh, apaan sih," kata Ahmad salah tingkah. "Gua nanya serius kok, malah di buat bercanda." Aziz tertawa.
Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Aziz dan Ahmad segera membereskan kotak bekal dan duduk di dangku mereka masing-masing.
Bu Andri masuk dan memulai pelajaran Seni Budayanya.
Saat di tengah-tengah pelajaran, Bu Andri mendapatkan kabar dari guru-guru lain, kalau hari ini mereka ada rapat mendadak.
“Maaf yah anak-anak. Ibu sudahi dulu pembahasan materinya. Karena hari ini ibu ada rapat mendadak,” kata Bu Andri sambil membereskan barang-barangnya. “Jadi untuk hari ini ibu kasih tugas saja, ya?”
“Iyah Bu….” jawab anak-anak serentak.
Kemudian Bu Andri menulis tugasnya di papan tulis. Supaya semuanya ingat.
“Aziz.” panggil Bu Andri yang baru selesai menulis tugasnya di papan tulis.
“Iyah Bu. Ada apa?”
“Ibu kan mau pergi dulu, kamu tolong jagain temen-temen kamu, ya! Jangan berisik dan jangan ada yang keluar-keluaran,” kata Bu Andri menjelaskan.
“Iyah bu.”
“Sama nanti, tolong kumpulin buku-buku temen-temen kamu pas mau pulang nanti, ya!” pinta Bu Andri lalu berjalan menuju pintu. “Dinda, kamu tolong bantuin Aziz yah.” tambahnya lalu pergi dari kelas dan meninggal murid-muridnya.
“Hah… kerjaan lagi.” keluh Aziz dalam hati.
Melihat wajah Aziz yang tiba-tiba lesu, Ahmad tau betul apa yang di pikirkan temannya itu. “Nanti gua bantu.” katanya lalu memukul pelan pundak Aziz.
“Beneran mau bantu? Ada Dinda loh. Nanti lu malah pingsan lagi.” canda Aziz.
“Apaan sih,” kata Ahmad salah tingkah. “Yaudah, kalau gak mau di bantu gak papa.”
“Ya elah, gua kan cuma bercanda.” kata Aziz dengan nada mengejek lalu tertawa kecil.
1 jam kemudian, bel pulang berbunyi. Murit-murit kelas 91 buru-buru membereskan barang-barangnya dan pulang. Tapi sebelum pulang Dinda mencegatnya.
“Hei… tunggu!” teriak Dinda. Semua anak berhenti.
“Ini yang ngumpulin tugas cuma baru 17 orang. Yang lain kemana?” tanyanya sambil membereskan buku-buku di mejanya, tempat di mana 17 orang itu meletakkan bukunya. “Kalian gak boleh pulang sebelum ngumpulin tugasnya.”
Ahmad berbisik ke Aziz. “Lu kaga bantuin, ketua kelas?”
“Biarin lah,” kata Aziz tidak perduli sambil membereskan barangnya. “Lagian, kenapa gak lu aja yang bantuin.” lanjutnya dengan nada bercanda.
“DIEM lu!” batin Ahmad.
“Aziz, tolong kumpulin buku-buku temen sebarisan kamu.” pinta Dinda yang sedang sibuk mengumpulkan buku-buku dari barisan lain.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Aziz bangkit dari bangkunya dan mulai mengumpulkan buku-buku dari barisannya. Tapi tiba-tiba Aziz punya niat jelek.
“Dinda!” panggil Aziz. Dinda yang sedang membereskan tumpukkan buku, seketika pipinya memerah. “Wah, ini pertama kalinya Aziz memanggil namaku. Ada apa yah?” tanyanya dalam hati.
“Bisakah kamu dan Ahmad saja yang menaruh buku-buku di meja Bu Andri. Aku abis ini harus segera pulang.” kata Aziz lalu mempercepat langkahnya.
“Tidak… kesempatan ku dengan Aziz hilang. Bagaimana ini?” kata Dinda dalam hati. Tapi di luar, ia tidak sanggup untuk mengatakannya. “Ba-baiklah.”
“Bagus,” Aziz segera memberikan buku-buku yang sudah ia kumpulkan ke Ahmad dan berbisik ke padanya. “Ini kesempatan lu. Jangan kacau kan,” katanya lalu mengambil tas dan beranjak pergi meninggal kelas. “Makasih yah, Dinda.” lanjutnya sebelum pergi dari kelas.
Tiba-tiba hati Ahmad dan Dinda berdetak kencang. Ahmad karena ia mendapat kesempatan untuk berduaan dengan Dinda, walaupun sebenarnya ia takut dan gugup. Sedangkan Dinda, kerena Aziz baru saja mengucapkan terima kasih kepadanya.
Di sisi lain, Aziz sedang berlari di sepanjang koridor sekolah, mencoba mencari Rika. Karena tidak tahu dimana anak itu, Aziz memutuskan untuk bertanya dengan orang-orang sekelas Rika. Akhirnya setelah beberapa menit berlari, ia sampai juga di depan kelas 97, kelas Rika.
“Per-mi-si,” kata Aziz, terengos-engos. Murid-murid yang ada di kelas tersebut sampai kaged melihat Aziz seperti itu. Karena sangat tidak biasa Aziz berlari di sepanjang koridor dan tiba-tiba nongol di kelas orang. “Ada yang ngeliat Ri-, maksudnya Putri gak?”
Salah satu anak laki-laki yang ada di dalam kelas tersebut menjawab. Tapi sepertinya ia sendiri tidak tau. “Putri? Siapa yah?”
“Zarika Kalin Putri. Anak baru.” jelas Aziz.
“Ohh… anak yang tadi pagi nolak kamu yah.” tebak ank itu.
“Nolak?” tanya Aziz dalam hati.
“I-iyah. Dimana dia sekarang?”
“Dia baru aja pulang. Mungkin dia masih ada di gerbang sekolah.”
“Oh… begitu yah. Terima kasih yah.” Aziz segera melesat pergi menuju gerbang sekolah mereka.
“Tuh anak beneran ngejar anak baru itu yah.” kata anak laki-laki itu sembari melihat Aziz dari pintu kelasnya.
“Emang apa sih specialnya tuh anak?” sengit anak perempuan yang ada di dalam tersebut juga.
ns 15.158.61.6da2