“Eh, Mad, selamat pagi. Tumben lu udah dateng,” sapa Ahmad yang sedang berada di pojokan lapangan yang teduh, sambil membongkar isi tasnya. “Nyari apaan lu?” lanjutnya, kebingungan melihat Ahmad.
“Aziz!” teriak Ahmad tepat di depan muka Aziz sambil mencengkam pundak Aziz. Mukanya terlihat sangat panik pada saat itu. “Lu ngeliat baju olahraga gua gak? Tadi perasaan gua taruh di deket tas gua. Pas gua tinggal bentar, tau-taunya udah ilang. Apa jangan-jangan di sini ada pencuri!?” tebak Ahmad, yang sama sekali tidak memiliki bukti atas apa yang ia ucapkan.
“Gila lu! Mana ada pencuri mau ngambil baju bau dan kotor kayak gitu.” ejek Aziz.
“Ih… gua serius. Lu liat gak?”
“Enggak. Palingan ke selip di tas lu.” jawab Aziz lalu menjauh tangan Ahmad dari pundaknya.
“Gua udah cari ke seluruh penjuru tas gua. Tapi tetap aja gak ada.”
Aziz mencoba melihat sekelilingnya. Dan beberapa saat kemudian, ia menunjuk ke arah belakang Ahmad sambil berkata.
“Lu beneran naruhnya di dekat tas lu? Bukan tas orang lain?”
Ahmad mengikuti arah tunjukkan Aziz dan saat ia melihatnya, ia terkejud bukan main. Ternyata baju olahraganya ada di samping tas milik orang lain.
“Oh, iyah. Ada deh.” Ahmad jadi tersipu malu karena perilakunya tadi.
“Makanya, pake tuh otak baik-baik. Jangan buat mikirin cewek terus.” ejek Aziz lalu berjalan ke arah bangku di pojokan, tempat dimana anak-anak bulu tangkis meletakkan tas dan barang bawaannya di sana.
“Apaan sih?” kata Ahmad, salah tingkah.
Tiba-tiba dari kejauhan, Dinda menyapa dengan penuh semangat. “Selamat pagi, semua.”
Saking semangatnya, ia tidak memerhatikan arah jalannya. Dinda terjatuh karena tersandung batu di depannya. Dengan sigap, Ahmad yang ada di dekatnya, menangkap Dinda yang terjatuh. Aziz yang berada tidak jauh dari mereka, terkejud tapi setelah itu merasa senang. Semua orang di dekatnya menyoraki mereka.
“Cie, cie, cie…”
“Ma-maaf.” ucap Dinda, malu-malu lalu mencoba untuk berdiri.
“I-iya.” jawab Ahmad dengan mukanya yang memerah.
“Wah, wah, wah, lihat! Tanpa rencana lu aja, mereka udah deket,” ujar Tristan yang tiba-tiba menghampiri Aziz dan menepuk pundaknya. “Gimana kalo kita biarin aja mereka. Nanti juga mereka dekat sendiri.” lanjutnya.
Dengan kasar, Aziz segera melepaskan tangan Tristan dari pundaknya.
“Kita tidak boleh menyerah di tengah jalan. Lagipula, rencananya udah siap kok. Kita tidak ngejalaninnya aja sesuai rencana.”
“Tapi… gua masih gak setuju, kita ikut-ikutan dengan hubungan mereka.”
“Kalo lu emang begitu, seharusnya lu bilang dari kemarin. Kalo gini kan udah susah nyari penggantinya.”
“Pengganti? Kok gua meresa kayak benda aja sih.”
“Pernyataan itu gak salah kok.” canda Aziz lalu pergi menemui Bu Lintang.
“Kenapa tuh anak, dari yang pendiam jadi sok ikut campur urusan orang lain?” tanya Tristan di dalam hati.
Latihan bulu tangkis pun di mulai. Seperti biasa, Bu Lintang meminta para murid untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu.
Saat dengan latihan bulu tangkis, Tristan yang sedang duduk di pojokan meliahat Rika yang sedang berjalan menuju tangan. Kerena sedang giliran orang lain dan ia sedang tidak melakukan apapun, Tristan memutuskan untuk pergi menemui Rika.
“Bu,” panggil Tristan.
Bu Lintang menoleh dan menjawab. “Ada apa?”
“Saya ke atas dulu yah Bu.”
“Iya. Tapi jangan lama-lama ya.”
“Iya bu. Makasih.” Tristan segera melesat pergi menuju lantai atas, menemui Rika.
Tristan melihat Rika masuk ke kelas 97 dan mengikutinya dari belakang.
“Putri,” panggil Tristan.
“Eh, Tristan. Ngapain lu di sini? Bukannya seharusnya masih ekskul?”
“Iya. Tapi gua lagi gak ngapa-ngapain tadi. Jadi dari pada bengong, mending ke sini.”
“Nanti guru lu marah loh.”
“Enggak lah. Gua kan udah izin,” kata Tristan lalu duduk di kursi paling depan. “Sebenarnya gua mau nanya sesuatu sih,” lanjutnya.
“Apaan tuh?” tanya Rika penasaran.
“Lu b, b aja, Aziz merencana semua itu?”
“Iya. Napa?”
“Enggak sih. Gua cuma gak suka aja, ganggu hubungan orang lain kayak Aziz. Tapi sebenarnya gua agak bingung sih. Kok bisa-bisanya sih, Aziz jadi tiba-tiba berduli sama orang lain? Atau emang begitu orangnya?”
“Lu gak tau, ya? Sih Aziz waktu kecil itu orangnya emang kayak gini. Ganggu hubungan orang lain tuh udah menjadi suatu hal yang biasa aja baginya.”
“Oh, yah? Gua gak percaya.”
“Bukan hanya orang seumurannya aja, bahkan dia pernah memperbaiki hubungan kedua orang tuanya.” kata Rika sambil mengigat-ngigat masa kecilnya dulu.
“Orang tuanya? Gimana tuh, caranya?”
“Panjang lah ceritanya.”
“Itu dia umur berapa?”
“8 atau 9 lah.”
“Gila… tuh anak bisa aja yah.”
“Yah… begitu lah.”
“Terus kenapa baru-baru ini aja dia kayak gini?”
“Banyak lah, yang terjadi.” mimik muka Rika yang kelihatan senang menjadi agak masam.
“Maaf,” Rika tersenyum. “Tapi kok bisa yah tuh anak ngerancanain hal serumit itu. Padahal kan tinggal ajak ke mana bertiga, kan selesai. Ribet amet ampe ada rencananya lah.” protes Tristan.
“Emang begitu dia. Otaknya encer sih, tapi dia tuh terlalu polos.” ejek Rika.
“Au, gua juga bingung. Tapi mending lu bisa menghabiskan waktu yang lama sama Aziz. Cewek lain kan gak mungkin begitu.”
“Iyah dong.”
“Kenapa gak lu tembak aja dia. Lu suka kan sama dia?”
“H-ha, su-suka?”
“Alah, jangan boong lu. Lu tuh gampang ke tebak. Palingan cuma Aziz aja yang gak sadar,” tiba-tiba wajah Rika memerah. “Tuh, kan. Baru gua bilang.” kata Tristan sambil menunjuk muka Rika yang memerah.
Rika memukul pundak Tristan. “Apaan sih lu?” tanyanya, salah tingkah.
“Gua hanya berharap, rencananya berjalan lancar,” kata Tristan lalu beranjak pergi.
“Yaudah, gua duluan ya. Sebentar lagi selesai ekskulnya. Dahhh.”
ns 15.158.61.7da2