Hari demi hari pun berlalu. Aziz dan Rika pun tiap harinya kelihat lebih dekat dan dekat. Aziz sedikit demi sedikit juga mulai berubah. Ia tidak lagi begitu dingin kepada orang-orang. Karena Aziz sudah mulai berubah, makin banyak orang-orang yang menyukainya. Karena setelah Aziz menghilangkan sifat dinginnya, ia menjadi orang yang lebih perhatian, ceria, dan hangat. Bahkan Wajahnya juga terlihat lebih ganteng, saat ia seperti itu. Tapi walaupun menjadi lebih periang, Aziz masih sangat polos dan masih menjaga jaraknya ke orang-orang yang ia tidak kenal. Bukan hanya peremuan, tapi juga laki-laki. Akibatnya , Aziz jadi belum bisa mendapatkan teman baru. Hanya Rika dan Ahmad yang sampai sekarang ia bisa percaya. Tapi bukan hanya Aziz dan Rika saja yang bertambah dekat, tapi juga Ahmad. Setiap hari, kalau gak hujan mereka pulang pergi bareng. Bahkan Aziz merasa, kehadiran Ahmad membuatnya merasakan kebahagiana seperti dulu lagi. Sama seperti saat Sahabat Awan masih lengkap.
“Selamat pagi.” sapa Aziz kepada teman-teman sekelasnya.
“Selamat pagi juga.” jawab beberapa orang yang ada di dalam kelasnya.
“Wah, wah, wah. Lihat siapa yang sudah gak dingin lagi ke orang-orang.” canda Ahmad.
“Kata Rika, gua harus lebih ceria dan menghilangkan sifat dingin gua.”
“Lu itu terlalu polos ya. Apa-apa kata sih Putri di dengerin. Sedangkan gua di cuekkin.”
“Omongan Rika itu bermanfaat.” kata Aziz.
“Jadi maksud lu, omongan gua enggak?” tanya Ahmad.
“Gua gak pernah ngomong kayak gitu kok.”
“Ngeles aja lu, kayak bajai.”
“Bajai itu alat trasportasi. Kenapa bisa di samain sama gua?”
“Terserah gua,” Ahmad mengakhiri percakapan tidak berguna itu dan menggantinya dengan topik lain.
“Ngomong-ngomong nanti kita makan bareng lagi ama Putri?”
“Iyah.” jawab Aziz, singkat.
“Gua tau kenapa kita gak ngajak temen-temen lain aja.” usul Ahmad.
“Temen lain?” Aziz perpikir sejenak. “Enggak ah. Gua masih belum pede kalau di suruh ngomong sama orang lain.
“Yaudah, kalau begitu gua ikut, ya?” tenbak Zidan, temen sekelas Aziz yang duduk di belakangnya.
“Ini lagi satu. Gua bilang kan, gua masih belum pede kalau di suruh ngomong sama orang lain.“ ulang Aziz.
“Tapi bukanya kita temen?”
“Pede amet.” ketus Aziz.
“Astaga, jahat amet sih. Hiks, hiks...”
“Bodo.” sengit Aziz.
Saat jam istirahat, seperti biasa, Aziz dan Ahmad pergi menjemput Rika di kelasnya.
“Putril, ayok!” ajak Ahmad yang berdiri di depan pintu kelas Rika. Sementara Rika ada di mejanya, sedang mengambil bekal dari tasnya.
“Iya, ayok.“ kata Rika sambil berjalan menghampiri mereka.
Sama seperti yang pertama kali, mereka makan siang di depan perpustakaan.
Saat Aziz dan Rika sedang asyik mengobrol dan menikmati makanannya, Ahmad tiba-tiba berdiri dari kursinya. Hal tersebut membuat kedua orang itu terkejud.
“Buset, kenapa lu?” tanya Aziz.
“Gua lupa bawa minum,” kata Ahmad, panik. “Gua ke kantin dulu ya. Jangan di makan, bekel gua.” ancam Ahmad lalu berlari menuju kantin.
Aziz dan Rika pun di tinggal berduaan di meja itu. Mungkin itu terasa biasa saja untuk Aziz, tapi tidak bagi Rika. Hatinya tiba-tiba berdetak kencang. Padahal ini bukan pertama kalinya ia duduk berduaan doang dengan Aziz.
“Aduhhh, kenapa sih kamu Putri?” tanyanya dalam hati. “Inikan bukan yang pertama kalinya gua duduk berduaan sama dia.”
“Aku Kasihan ama tuh orang.” kata Aziz tiba-tiba, membuat Rika menjadi tersadar dari halusinasinya.
“Ke-kenapa?” tanya Rika sambil mencoba menormalkan detak jantungnya.
“Sini aku bisikin,” kata Aziz lalu mendekatkan dirinya ke Rika. Dan lagi-lagi, itu membuat jantung Rika berdetak kencang. “Sih Ahmad suka ama Dinda.” bisiknya di telinga Rika, yang membuat muka Rika memerah.
“Tenang, tenang.” ucap Rika dalam hati sambil menormalkan detak jantungnya.
“O-o-oh, yah?” tanyanya terbata-bata. Aziz mengangguk. “Ta-tapi sebener siapa itu Dinda?”
“Temen sekelas gua.” jawab Aziz.
“Apakah dia cantik?”
“Iyah,” jawab Aziz, membuat Rika agak cemburu. “Bukan hanya cantik, dia juga pinter dan baik,” lanjutnya.
“Kayanya?” kata Aziz dalam hati.
Ia sendiri juga ragu. Tapi karena banyak cowok di kelasnya bilang begitu, jadi “Iya” adalah jawabannya. Aziz tidak tahu kata-katanya tadi membuat Rika tambah cemburu. “Tapi masalahnya dia gak berani ngungkapin perasaannya. Bagaimana memurutmu?” lanjutnya.
“Apakah benar sih gadis Dinda ini sehebat yang di katakan Aza tadi? Itu berarti Aza menyukainya.” kata Rika dalam hati, membuatnya tidak fokus terhadap pertanyaan Aziz.
“Rika?” tanya Aziz sambil menggoyang pelan tubuh Rika.
“O-o-oh, yah. Menurut ku juga begitu.” jawab Rika, ngasal.
“O-o-oke…”
“Apakah pembicaraan ku semembosankan itu?” tanya Aziz dalam hati.
Keadaan pun menjadi canggung di antara mereka berdua. Untungnya Ahmad datang dan menceriakan suasana.
“Hai… gua kembali,” kata Ahmad sambil berlarian menuju Aziz dan Rika.
“Lama bet dah lu. Udah mau bel masuk nih,” sengit Aziz lalu melihat ke seluruh penjuru tubuh Ahmad. “Lu makan ya disana?” tebak Aziz.
“Hehehehe, iya.” jawab Ahmad malu-malu.
“Udahlah, gua mau ke atas dulu,” kata Aziz lalu merapihkan kotak makannya. “Ayo, Rika. Kita tinggalin anak ini.”
“Astaga, jahat amet sih.”
“Lagian lama. Yaudah cepetan makannya. Gua tungguin.” kata Aziz lalu duduk kembali. “Kamu kalau mau ke atas duluan, boleh kok.” lanjutnya kepada Rika.
“Apakah dia mengusir ku?” tanya Rika di dalam hati. “Mungkin lebih baik gua pergi aja kali yah.”
“Oh… oke. Aku ke atas dulu yah.” Rika membereskan kotak makannya dan pergi, kembali ke kelasnya.
Saat Rika sudah pergi. “Mad,” panggil Aziz.
Ahmad yang sedang asyik makan, menoleh ke arah Aziz.
“Menurut lu, gua itu membosankan gak?” Ahmad mempercepat mengunyah makanannya dan segera menjawab pertanyaan Aziz.
“Lah, lu baru tau?” canda Ahmad.
“Ihh… gua serius.”
“Kenapa emang? Lu kagak biasa nanya kayak begituan.”
“Enggak sih. Cuma kayaknya, Rika kelihatan bosen aja, pas di tinggal berduaan sama gua.” jawab Aziz.
“Emmm, menurut gua sih, lu bukan membosankan. Tapi lebih… apa yah… Gua sendiri juga bingung ngejelasin pake kata-kata,” kata Ahmad sambil berusaha keras perpikir kata-kata apa yang cocok. “Mungkin, terlalu menarik? Tapi juga terlalu polos.”
“Maksudnya?” tanya Aziz tidak mengerti.
“Lu sadar gak, orang-orang ngeliatin lu?” Aziz mengangguk. “Lu tau kenapa mereka ngeliatin lu?” lanjutnya, mulai serius.
“Enggak.” jawab Aziz, singkat.
“Nah, itu menandakan kalau lu itu terlalu polos.”
“Gua gak ngerti? Emang kenapa orang-orang ngeliatin gua?”
“Jelas lah. Pinter, ganteng, berprestasi, jago pula main bulu tengkis. Gimana coba orang kagak ngeliatin lu.”
“Itu hal yang positive?” tanya Aziz, memastikan.
“Bodoh!” ejek Ahmad lalu mengakhiri makannya dan setelah itu merapihkan kotak bekalnya. “Udah yuk, ke atas. Bentar lagi masuk.” Ahmad mengambil kotak bekalnya dan pergi meninggal Aziz yang masih bingung.
“Ehhh, tunggu,” kata Aziz lalu berlari mengejar Ahmad. “Maksudnya apa Mad?” tanyanya, masih penasaran.
Tiba-tiba Ahmad berhenti. “Oh, iya. Gua lupa.” katanya lalu mukanya memucat.
“Kenapa?” tanya Aziz.
“Gua lupa belum nyelesain PR IPA. Mana abis ini pelajarannya lagi.”
“Eh, tunggu. Maksudnya tadi apa?”
“Maaf, tapi gua harus buru-buru. Lu tanya aja ke orang lain.”
“Siapa?”
“Makannya, jangan dingin-dingin amet ama orang. Pas lagi susah gak ada yang bisa ngebantuin kan.” kata Ahmad lalu berlari dengan kecepatan penuh, meninggal Aziz.
“Emang gua sedingin itu kah, dengan orang lain?” tanya Aziz dalam hati.
Ia pun berjalan kembali ke kelas sambil memikirkan apa maksud dari perkataan Ahmad tadi. Tapi karena terlalu fokus berpikir, ia jadi tidak fokus berjalan. Saat ia baru saja membuka pintu kelas, tiba-tiba dari arah yang berlawanan Dinda juga membuka pintu. Dan seperti dugaan kalian, mereka bertabrakan.
“Aduhhh…” keluh Dinda.
Aziz yang menyadari kalau orang yang ia tabrak adalah Dinda, segera bangkit dan membantunya berdiri.
“Lu kagak papa?” tanya Aziz lalu mengulurkan tangan, mencoba membantu Dinda.
“Eh, Aziz?” Dinda terkejud kemudian mukanya memerah di sertai detak jantungnya yang tiba-tiba menjadi cepat.
“Lu kagak papa?” ulang Aziz. Dinda mengangguk, lalu meraih tangan Aziz dan segera bangkit.
“Tangan ku bersentuhan dengan Aziz. Senangnya…” gumam Dinda dalam hati.
“Iya, aku gak papa. Makasih yah.”
“Oh, ya, boleh gak gua tanya sesuatu?” tanya Aziz pada Dinda.
“Hah? Aziz mau bertanya ke aku? Tentang apa yah?” kata Dinda dalam hati.
“Tapi kayanya kita ngomongnya di luar aja deh. Nanti malah mengganggu orang lain masuk.” usul Aziz lalu menarik tangan Dinda untuk masuk ke dalam kelas.
“Aziz menggandeng tangan ku. Aaaa… rasanya aku mau pingsan.” kata Dinda dalam hati.
Aziz membawa Dinda menuju bangku di sebelah kelas mereka. Dinda memduduki bangkunya. Sementara Aziz berdiri di sampingnya.
“Kamu gak duduk?” tanya Dinda kepada Aziz.
“Gak usah. Ini gak lama kok.”
“O-o-Ohhh,” kata Dinda kecewa. “Jadi ada apa kamu mau bicarakan?”
“Menurut lu, gua orangnya gimana?” tanya Aziz, malu-malu.
Aziz belum pernah menanyakan hal tersebut kepada orang lain sebelumnya. Tapi ia begitu penasaran dengan apa yang di maksud oleh Ahmad tadi.
“Kenapa Aziz tiba-tiba menanyakan hal itu kepada ku? Apakah Aziz ingin menembakku?” kata Dinda dalam hati.
“Aaaaaa, menurut ku sih kamu orangnya ba-baik.” jawab Dinda, malu-malu.
“Baik, yah? Terus apakah gua orangnya dingin?”
“Yah… mungkin sedikit. Terutama kalau sama perempuan.”
“Ohhh, begitu,” Aziz agak kecewa. Tapi ia agak senang. Karena ia mulai memahami perasaan orang-orang terhadapnya.
“Jadi lu juga berpikir gua dingin dong?” canda Aziz sambil tersenyum sinis.
“Yah… sedikit.” jawab Dinda, agak ragu. Tapi kemudian mereka berdua tertawa.
“Sama satu lagi,” kata Aziz mulai serius. Dinda pun juga berhenti tertawa.
“Maaf ,kalau ini agak menyinggung,” kata Aziz lalu mendekat ke Dinda. “Adakah ada cowok yang kamu suka sekarang?” bisik Aziz.
Dinda sangat kaged mendengar hal tersebut. Tidak di sangka, Aziz bertanya hal tersebut ke dirinya, yang sebenarnya menyukai Aziz.
“Aziz menanyakan hal itu kepada ku? Apakah Aziz suka sama gua?” tanya Dinda di dalam hati.
“Aaaaaa… entah lah,” jawab Dinda, berbohong. “Kenapa emang?” tanya Dinda, balik, yang sangat penasaran dengan maksud Aziz bertanya hal tersebut kepada dirinya.
“Enggak papa. Cuma mau nanya.”
“Ka-kalau kamu, adakah cewek yang kamu suka?” tanya Dinda, malu-malu. Wajahnya mendadak menjadi merah lagi.
“Cewek yang gua suka, ya? Ada,” wajah Dinda berseri-seri. “Tapi itu dulu sih.” lanjutnya. Mimik wajahnya yang senang dan ceria menjadi masam.
Melihat mimik wajah Aziz yang seketika berubah, membuatnya menjadi tersadar sesuatu.
“Dia sudah tiada, ya?” tebak Dinda.
“Hemm, begitu lah.”
“Maaf, aku bertanya.” kata Dinda, merasa bersalah.
“Gak papa lah,” kata Aziz lalu tersenyum hangat ke Dinda. Membuat cewek-cewek yang melihatnya, berteriak histeris.
Tiba-tiba bunyi bel terdengar, “Kringggg!!!”
Para murid segera berlarian ke kelasnya masing-masing. Dan begitu pun Aziz dan Dinda.
“Eh, udah bel,” kata Aziz lalu lalu mengulurkan tangannya dan menundukkan kepalanya, bagaikan seorang pangeran kepada putrinya. “Ayo, kita masuk kelas.” lanjutnya.
Lagi-lagi membuat wajah Dinda memerah dan membuat jantungnya berdetak kencang. Dan lagi-lagi, membuat orang-orang yang melihatnya, berteriak historis. Rika yang kebetulan sedang lewat, juga melihatnya. Aziz yang menyadari kalau Rika memandangnya, tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya. Tapi entah mengapa Rika tidak membalasnya seperti biasa. Dadanya terasa sesak, menahan rasa cemburu.
“Ba-baik.” lalu meraih tangan Aziz. Mereka pun bergandengan tangan hingga sampai di dalam kelas.
Mungkin Aziz yang polos itu, biasa-biasa aja. Tapi tidak bagi Dinda, yang menyukai Aziz.
"Dadah… sampai ketemu nanti pulang sekolah, wakil." kata Aziz sambil berjalan menuju kasurnya.
"Aaaaa!!!" teriak Dinda, dalam hati. "Gua gak akan pernah ngeluin kejadian tadi."
"Cie, Cie, Cie…" goda Ahmad.
Tapi bukannya marah atau kesal, Aziz malah tersenyum sinis pada Ahmad.
"Lah, kenapa tuh anak?" tanya Ahmad dalam hati.
"Mari kita mulai rencananya, " ujar Aziz di dalam hati. "Tapi gua akan butuh bantuan seseorang." lanjutnya.
Pikirannya pun sudah melayang ke mana-mana. Bahkan saat pelajaran berlangsung, Aziz tidak bisa fokus.
ns 15.158.61.7da2