Keesokan harinya saat jam istirahat, mereka seperti biasa makan siang bersama di depan perpus. Tapi hari ini tidak seperti biasa. Karena hari ini, bukan Aziz yang menjemput Rika di kelasnya, tapi sebaliknya. Padahal bel baru berbunyi, tapi Rika sudah menunggu Aziz di depan kelasnya.
“Mad, gua duluan yah.” kata Aziz, pamit ke Ahmad.
“Hemm.” jawab Ahmad. Aziz segera pergi ke depan kelas, menemui Rika.
“Kamu kok bisa keluar cepet?” tanya Aziz pada Rika.
“Tapi guru aku gak ada. Jadi aku gak belajar deh,” jawab Rika dengan ekspresi ceria. “Tapi ngomong-ngomong, kok Ahmad gak ikut kita makan?” tanyanya sambil melihat ke arah Ahmad yang masih duduk di kursinya sambil mengarjakan sesuatu.
“Dia remedial Bahasa Indonesia hari ini.”
“Ohhh, jadi kita aman dong, untuk ngebahas rencana kamu.”
“Iya. Tapi hari ini kita kedatangan satu orang lagi.”
“Siapa itu?” tanya Rika, penasaran.
“Ada deh…” jawab Aziz, sok rahasia.
“Dasar lo!”
“Tapi kita harus ngejemput dia. Kalo enggak, dia bakalan nyasar.”
“Hem, oke, ayo. Kelas berapa dia?”
Aziz tidak menjawab, ia berjalan menuju kelas di sampingnya. Rika tidak tau apa yang di rencana Aziz. Tapi ia hanya mengikutinya dari belakang.
Aziz mengetuk pintu, yang sebenarnya terbuka lebar. Tak lama kemudian Tristan keluar dan menghampiri Aziz.
“Mau di mana kita ngebahasnya?” tanyanya yang baru keluar dari kelas.
“Lu kagak bawa bekel?” tanya Aziz, yang melihat Tristan keluar kelas tanpa membawa apa-apa.
“Kagak. Gua gak biasa bawa bekel. Jadi gua jajan aja.”
“Kagak sehat amet sih.” ejek Aziz.
“Ngomong-ngomong, siapa cewek di belakang lu?” tanya Tristan sambil menunjuk ke Rika.
“Ohhh, ini sahabat gua, Rika.”
“Oh… aku kenal kamu. Kamu yang jago main bulu tangkis itu, ya?” tebak Rika. Tristan mengangguk lalu tersipu malu.
“Perkenalkan, nama ku Zarika Kalin Putri dari kelas 97. Kamu bisa panggil aku Putri.” sapa Rika sambil memperkenalkan dirinya.
“Salken juga Putri. Gua Tristan dari kelas 92. Gua temen satu ekskulnya Aziz,” Rika menundukkan sedikit kepalanya, tanda perkenalan orang Jepang. “Ngomong-ngomong, ngomong sama gua gak usah sopan-sopan amet. Pake lu, gua juga gak papa.” lanjutnya.
“Oke.”
“Lu mau jajan dulu atau gimana?” tanya Aziz.
“Uang gua udah abis dari istirahat pertama. Jadi langsung ke tempat makan biasa lu aja.”
Aziz, Rika, dan Tristan pun pergi menuju ke depan perpus. Dan seperti biasa, menempati bangku dan meja yang biasanya mereka duduki.
“Ohhhh, disini kalian biasanya makan. Gua baru tau.” kata Tristan sambil menarik bangku untuk ia duduki.
“Lu sih, kagak pernah bawa bekel. Jadi makannya di kantin terus.” ejek Aziz.
“Gua juga kalo bawa bekel, kagak bakal di ajak makan bereng kalian kan?” tebak Tristan.
“Iyah sih, benar juga.”
“Jadi rencana licik apa yang kau rencana kali ini?”
“Jadi begini...” Aziz memulai memberitahukan rancangan rencananya.
5 menit kemudian, setelah Aziz selesai memberitahukan rencananya kepada Tristan dan Rika.
“Bentar, bentar! Gimana?” tanya Tristan yang masih memproses semua informasi ini.
“Otak lu lemot banget sih.” ejek Aziz.
“Gua mungkin gak begitu mengerti. Tapi lu yakin itu akan berhasil?” tanya Tristan, ragu dengan rencana Aziz. “Kenapa gak, lu ngajak mereka jalan-jalan bertigaan sama lu? Kan lama-lama, mereka jadi deket juga.” lanjutnya, dengan rencana lain yang ia buat.
“Heem, bener kata Tristan. Walaupun aku mengerti, tapi rencana yang kamu buat terlalu… nekat. Terus bagaimana kalau gak berhasil dan mereka malah kabur meninggal mu?” tanya Rika, khawatir.
“Gua yakin berhasil.” ujar Aziz penuh percaya diri.
“Ngomong gitu aja terus,” ketus Tristan, kesal. “Terus gunanya kita cuma itu?” tanyanya lagi.
“Enggak. Tugas kalian selain itu adalah, ngebujukin mereka. Kalau misalnya mereka gak mau dan malah memutuskan untuk pergi dan meninggal kita di tengah jalan. Tapi gua yakin sih, itu tidak akan terjadi.” jelas Aziz.
“Sombong amet.” ketus Tristan di dalam hati.
“Ohhh... Tapi kalau ada kita, mereka gak jadi berduaan dong?” tanya Rika.
“Enggak. Nanti pas di pertigaan sana,” kata Aziz sambil menunjuk ke arah pertigaan itu. “Kalian berpencar. Nanti kamu ama Tristan ke arah jalan yang salah. Sedangkan Ahmad sama Dinda akan ke arah jalan yang bener. Jadi mereka tidak ada pilihan lain untuk bekerja sama deh. Entah itu mau ngapain aja, gua yakin itu butuh kerja sama.” jelas Aziz.
“Pinter juga sih… Tapi jangan salahin gua ya, kalau rencananya gagal.” ancam Tristan, tidak ingin ikut-ikutan.
“Iyah-ya, tentang aja. Rika mau ngebantuin, kan?” tanya Aziz sambil tersenyum, membuat wajahnya terlihat manis.
Hal itu membuat Rika tidak bisa menolak. Rika pun akhirnya mengangguk setuju.
“Ta-tapi tunggu, mereka gak akan curiga kalo aku ikut? Besok kan aku gak ada ekskul apa-apa.“
“Gak papa, kamu bisa pura-pura buku kamu ketinggalan di kelas. Terus ada PR yang belum kamu kerjakkam untuk hari senin. Mumpung banyak orang di sekolah.” jawab Aziz.
“Wouu, pinter juga ya.” kata Rika, kagum.
“Lu bener-bener udah nyiapin rencana ini mateng-mateng, ya?”
“Iya, dong,” ujar Aziz dengan penuh semangat. “Oke… besok mari kita laksanakan rencana kita.” lanjutnya.
ns 15.158.61.7da2