Hari sabtu yang cerah, Aziz sedang bermain di halaman depan rumahnya bersama kucingnya, Mini. Tiba-tiba terdengar suara mesin mobil dari luar pagar. Pak Bin yang sedang menyiram bunga, langsung membukakan pagar untuk mobil itu masuk, yang di tumpangi oleh Pak Okta dan Bu Auris.
"Azis!" panggil Bu Auris yang baru saja keluar dari mobil dan berjalan menuju Aziz. "Mamah, papah pulang." lanjutnya lalu mencium pipi Aziz.
Aziz mencium tangan ibunya. "Selamat datang mamah, papah," katanya lalu mengambil barang yang dibawa Bu Auris. "Sini, biar aku yang bawa." tawar Aziz pada ibunya.
"Gak usah. Kamu bawa yang ada di dalam mobil aja," tolak Bu Auris lalu menunjuk ke arah bagasi mobil. "Ada oleh-oleh loh, buat kamu." bisiknya lalu masuk ke dalam rumah.
"Aziz." panggil Pak Okta sambil berjalan menuju Aziz.
Aziz membalikan badannya. "Eh, papah." kata Aziz lalu mencium tangan Pak Okta.
"Baik-baik aja kan, kamu di rumah?" tanya Pak Okta sambil mengelus rambut Aziz.
"Ya elah, aku kan udah sering ditinggal di rumah. Jadi pasti baik-baik aja. Kalau papah gimana? Udah selesai kerjaannya?" tanya Aziz.
"Udah," jawab Pak Okta sambi berhenti
mengelus rambut Aziz. "Sekarang kita masuk. Papah punya oleh-oleh nih buat kamu." lanjutnya lalu menggandeng tangan Aziz
"Tunggu pah," Aziz melepaskan tangannya. "Aku masih harus membantu mengambil barang-barang dulu di dalam mobil."
"Kamu anak yang baik yah."
Aziz tersenyum dan menuju ke belakang mobil untuk mengambil barang-barang.
"Oke udah semuanya." kata Aziz yang baru selesai mengangkut barang-barang dari dalam mobil.
"Terima kasih banyak ya, Aziz. Udah bantu Bapak." ucap Pak Bin sambil menutup pintu rumah.
"Iyah." jawab Aziz.
Tiba-tiba, Pak Okta yang sudah mengganti bajunya kembali dan membawa beberapa barang, yang isinya adalah oleh-oleh untuk Aziz.
"Aziz, ayok kita ke ruang tamu. Kamu boleh membuka oleh-olehnya di sana."
"Oke, pah." Aziz membantu Pak Okta membawa beberapa dan bersama Pak Okta, pergi ke ruang tamu.
Begitu lah, awal pagi Aziz. Setelah itu Aziz dan kedua orang tuanya mengobrol sambil memakan cemilan. Tidak terasa sudah siang.
"Permisi, Pak, Bu, makanannya sudah siap. Apakah ingin makan sekarang? Atau nanti saja?" tanya Mbak Rosa yang tiba-tiba datang dan menawarkan makan siang kepada mereka.
Bu Auris melihat jam dinding yang berada di dalam ruangan itu. Astaga sudah jam 12 aja." kata Bu Auris, terkejut.
"Ayo kita makan." ajak Pak Okta lalu berdiri.
"Sekarang?" tanya Bu Auris.
"Iya lah, kapan lagi?" canda Pak Okta.
Mereka bertiga pun makan siang bersama. Saat sedang asyik makan, tiba-tiba Bu Auris membawa suatu topik percakapan.
"Oh, yah, Aziz," Aziz yang sedang menikmati makanannya, menoleh ke ibunya. "Kamu kan sudah kelas 3 nih, SMA nya kamu mau di mana?"
Awalnya Aziz agak sedikit terkejut dengan pertanyaan ibunya karena dia sendiri belum pernah memikirkan di mana dia mau SMA nanti.
"Emmm, entah lah. Aku belum memikirkan nya." jawab Aziz ragu-ragu.
"Begitu yah," Bu Auris mulai menatap Aziz dengan serius. "Adakah rencana, kamu mau SMA dimana?"
"Enggak sih."
"Terus gimana?" tanya Pak Okta.
"Emmm, aku sih, ngikut aja sama sekolah yang papah sama mama rekomendasikan. Aku sendiri gak begitu mikirin mau sekolah di mana." jawab Aziz.
"Emmm, anaknya temen mamah sekolah di salah satu SMA terbaik dan katanya, sekolah itu emang bagus. Rencananya sih, mamah sama papah mau masukin kamu ke situ."
"Ohhh, emang nya di mana sekolahan nya? Di sekitar sini?"
"Di Jakarta, " Aziz terkejut setelah mati, mendengar di mana SMA itu berada.
"Hah! Jakarta? Jauh banget. Terus aku tinggal di mana?"
"Sama kita." jawab Bu Auris. Aziz memiringkan kepalanya. Sebuah isyarat tubuh kalau ia tidak mengerti.
"Sebenarnya papah sama mamah punya rencana untuk pindah rumah." jelas Pak Okta.
"Pi-pindah rumah?"
"Ini semua untuk kebaikan mu sendiri. Supaya kamu gak sendiri terus di rumah." jelas Bu Auris.
"Tapi aku udah sering ditinggal sendirian dirumah. Bahkan dari aku kecil."
"Itu makanya, papah dan mamah gak mau mengulangi hal yang sama sekarang." jawab Bu Auris.
"Menghabiskan waktu bersama mu tadi membuat papah tersadar, kalo banyak sekali waktu yang kami habiskan untuk bekerja. Daripada menghabiskan waktu bersama mu."
"Udahlah, kalian gak perlu khawatir. Aku ditinggal setahun, juga gak papa."
"Tapi di sana kamu bisa punya temen." kata Bu Auris.
"Di sini aku juga punya temen kok. Lagian, kok kalian bisa sepercaya itu, kalo aku akan dapet temen di sana?" tanya Aziz mulai kesal.
"Tentu saja. Karena banya temen mamah dan papah yang anaknya sekolah di sana." jawab Bu Auris.
"Tapi bukan berarti temen kalian, teman aku juga kan." ketus Aziz.
"Tapi dengan kamu sekolah di sana, kesempatan mu masuk ke universitas akan lebih tinggi."
"Aku bisa kok, masuk ke universitas itu tanpa masuk ke SMA di Jakarta."
“Tapi bagaimana dengan papah dan mamah? Kamu gak kasian apa, tiap hari bolak balik dari Jakarta, Bogor? Kan capek nak.” jelas Pak Okta.
“Jadi itu, tujuan utama kita pindah rumah?” tebak Aziz.
“Bisa di bilang begitu. Tapi sekolah kamu juga termasuk.” jawab Bu Auris.
“Kalo emang tujuan cuma itu, kenapa gak dari 2 tahun yang lalu aja, saat perusahaan papah, mamah baru buka?”
“Awalnya sih emang mau nya begitu. Tapi kamu udah keburu masuk ke sekolah. Dan prestasi kamu disana udah sangat bagus. Belum tentu saat pindah kamu kayak gitu lagi.” jelas Bu Auris.
Aziz membuang muka. “Coba kamu pikirkan baik-baik. Nanti kita akan bahas lagi.” Pak Okta menyudahi makannya dan pergi dengan keadaan kecewa.
“Aziz, papah sama mamah tau yang terbaik untuk kamu. Jadi tolong, pikirkan lagi, oke?” kata Bu Auris sebelum meninggal tempat. Aziz hanya mengangguk.
“Tapi… bagaimana dengan Rika?” tanya Aziz di dalam hati. “Aduh bagaimana ini?” lanjutnya sambil mengacak-acak rambutnya.
Saat tiba-tiba Mbak Rosa datang dan bertanya kepada Aziz, “Aziz, kamu kenapa nak?”
Aziz menoleh. “Oh, gak papa Mbak.” Jawabannya.
“Kamu di minta ikut ke Jakarta yah, sama Bapak dan Ibu?” tebak Mbak Rosa lalu membereskan piring-piring kotor yang ada di meja makan itu.
"Kedengeran yah?" tebak Aziz.
"Iya. Tapi bukan maksudnya mbak nguping yah. Tolong jangan salah sangka." kata Mbak Rosa dengan nada agak panik.
Aziz tertawa kecil. "Iya-iya, tenang aja. Tapi… aku mau tanya deh ke embak."
"Apa itu?" tanya Mbak Rosa, mengalihkan pandangan nya ke Aziz.
"Kalau misalnya mbak adalah aku, apa yang mbak akan lakukan? Ikut ke Jakarta atau tinggal di sini?"
"Sebenarnya alasan kenapa Bapak sama Ibu mengajak kamu untuk pindah karena mereka tidak tau kalo kamu di sini udah punya temen. Kamu juga sendiri gak pernah cerita sama mereka."
"Iyah sih…"
"Mungkin kalo kamu menunjukkan kamu punya temen di sini, Bapak sama Ibu akan memikirkan ulang rencana mereka untuk pindah."
"Bener juga sih…" Aziz tidak berpikir jernih saat itu.
"Tapi kalo embak pribadi sih lebih milih untuk ikut pindah ke Jakarta."
Aziz kaget. Karena ia kira dengan pemikiran Mbak Rosa tadi, beliau akan memiliki untuk tinggal. Tapi ternyata tidak. "Loh, kenapa?" tanya Aziz.
"Karena belum tentu kamu akan bersama nya sampe SMA nanti. Bisa saja dia balik lagi ke Bali atau kalian gak bisa masuk ke SMA yang sama."
"Bener juga sih…"
"Jadi mending cari aman aja, " Aziz benar-benar tidak bisa berkata-kata. Mimik muka nya makin menjadi masam. "Tapi itu hanya pendapat mbak aja. Terserah kamu mau pilih yang mana."
Kebingungan Aziz makin menjadi, tidak tahu harus memiliki yang mana.
Keesokan harinya, Aziz baru saja turun dan ingin pergi ke ruang makan, tiba-tiba Pak Okta memanggil nya dari arah belakangnya.
“Aziz!” panggilnya.
Aziz membalikkan badannya dan menjawab, “Ada apa?” tanyanya dengan nada sedih.
“Sudah kamu pikirkan, tentang kemarin?” tanya Pak Okta sambil menuruni tangga untuk menghampiri Aziz.
“Udah.” Jawab Aziz lalu membalikkan badannya lagi.
“Jadi bagaimana, kamu mau ikut pindah ke Jakarta?”
“Yah.” Jawab Aziz singkat tanpa melihat ke arah Pak Okta.
Pak Okta memeluk Aziz dari belakang. “Syukurlah, terima kasih yah Aziz.” ucap Pak Okta lalu membalikkan badan Aziz dan mencium keningnya.
Aziz tidak bisa menanggapi nya lagi. Ia hanya pasrah dengan keadaan.
"Yaudah, aku mau berangkat dulu." pamit Aziz lalu kembali menuruni tangga.
"Gak sarana dulu, Aziz?" tanya Pak Okta.
"Iya." Aziz berbalik arah, menuju ke ruang makan.
ns 15.158.61.21da2