Hari ini adalah hari sabtu. Biasanya hari ini adalah hari yang paling menyenangkan untuk Aziz. Karena hari itu, ia bisa menonton tv dan bermain game sepuasnya, tanpa harus memikirkan soal tugas sekolah atau teman-teman yang selalu merepotkan dirinya. Walaupun orang tuanya Aziz ada di rumah, tapi mereka berdua sangat sibuk, dan tidak punya waktu untuk bersama Aziz. Pagi itu Aziz sedang menonton tv di ruang keluarga, di lantai kedua, saat tiba-tiba Bu Auris datang dan menyuruhnya untuk turun ke bawah.
“Aziz! Ayok turun!” perintah Bu Auris.
“Kenapa emang mah?” tanya Aziz, tanpa melihat ke arah Bu Auris.
“Itu ada teman-teman kamu di bawah.” kata Bu Auris.
Aziz yang asyik menonton tv, kaged dan langsung bangkit. “Hah! Teman? Siapa mah?”
“Gak tau. Tapi ada sekitar 6 orang yang sudah menunggu di bawah.”
Mimik wajah Aziz yang datar menjadi ketakutan. “Te-terus, mamah biarin mereka masuk?” tanya Aziz.
“Iya lah. Sama dibiarin aja di luar.”
“Tapi mamah kan gak kenal mereka.”
“Ngomong-ngomong, Rika udah balik yah?”
“Aaaa…”
“Salah satu anak di bawah, menyatakan bahwa dirinya adalah Rika.”
“Terus mamah percaya begitu aja!?” tanya Aziz, tidak percaya.
“Awalnya sih enggak. Tapi mukanya emang mirip banget sama Rika waktu itu.”
“Ya ampun, mah.” kata Aziz sambil menepuk jidatnya.
“Udah, gak usah banyak ngeluh. Mending cepet kamu siap-siap dan cepatan rutun!” perintah Bu Auris.
“Hahhhh, baik mah.” dengan terpaksa, Aziz turun ke bawah dan bertemu teman-teman yang sudah menunggu di ruang tamu.
Dengan keadaan marah dan kesal, ia menjumpai teman-teman. “Ngapain lu pada di sini!?” tanyanya sambil menatap tajam ke mereka semua.
“Eh, ternyata lu udah bangun. Kirain masih tidur.” ejek Tristan.
“Kenapa kalian dateng tanpa ngomong ke gua?” ulang Aziz.
“Maaf, tapi pasti kamu tidak akan membolehkannya.” jawab Rika.
“Kalian juga Dinda, Rika. Ngapain sih, ikuti orang-orang yang gak punya ahlak begini?”
“Emang lu punya ahlak?” ejek Zidan. Aziz menatap dengan dingin.
“Eh, udah-udah jangan berantem,” kata Bu Andri yang datang sambil membawakan minum dan beberapa cemilan. “Ini silahkan di minum.” lanjutnya lalu meletakkannya di atas meja.
“Terima kasih, Tante.” kata Rika dan yang lain bersamaan.
"Ada apa ini ramai sekali?" tanya Pak Okta yang tiba-tiba lewat dan kaged melihat sekerumunan anak-anak yang ada di ruang tamunya.
"Entahlah. Tapi mereka bilang mereka adalah teman sekolahnya Aziz." jawab Bu Auris.
Ahmad bangkit dan memperkenalkan dirinya. "Maaf kami tiba-tiba datang. Perkenalkan nama saya Ahmad. Saya adalah teman sekelas Aziz dan juga sahabat baik Aziz." katanya.
"Apain sih lu? Gua sahabat baiknya," protes Rika. "Perkenalkan, saya Putri atau di kenal sebagai Rika. Saya adalah sahabat dekat Aziz dulu dan sekarang." lanjutnya, tidak mau kalah dengan Ahmad.
"Sahabat?" tanya Pak Okta.
"Apa-apaan mereka ini?" tanya Aziz di dalam hati.
"Iya, benar Bapak, Ibu." jawab Ahmad dengan sopan.
"Perkenalkan, saya Zidan. Saya adalah teman sekelas Aziz. " kata Zidan.
"Kalau saya Fadlan. Saya adalah tangan kanan Aziz di sekolah." kata Fadlan tanpa merasa malu sedikit pun.
"Tangan kanan? Aziz, apa maksudnya?" tanya Bu Auris pada Aziz yang berdiri di samping nya.
"Aaaaa…"
"Seperti yang Anda tau, Aziz adalah ketua dari ekskul bulu tangkis di sekolah,"
"Tunggu! Aziz kamu ketua dari ekskul bulu tangkis?" tanya Pak Okta yang sama sekali tidak tau. Aziz hanya bisa pasrah dan membiarkan teman-temannya berkata seperti itu.
"Iya, benar Pak. Dia adalah ketua yang baik dan hebat. Banyak orang yang mengangguminya, termasuk saya. Bapak tidak tahu?"
"Fadlan… udah napa!" kata Aziz di dalam hati sambil menutupi sebagian mukanya dengan tangan. Untuk menutupi rasa malu terhadap teman-temannya
"Enggak, gak tau. Kok kamu gak pernah cerita, Aziz?" tanya Pak Okta pada Aziz. "Kau tau mah?" lanjutnya, bertanya kepada Bu Auris.
"Enggak," jawab Bu Auris lalu bertanya kepada Aziz. "Apakah itu benar, Aziz?"
"Eeee, iya sih. Tapi udah mu ganti kok orangnya. Jadi sebulan lagi bukan aku."
"Dari kapan itu?" tanya Bu Auris.
"Aaaaa.."
"Dari awal kelas 8, Tante." jawab Fadlan, menggantikan Aziz.
"Kok, kamu gak pernah bilang?" tanya Bu Auris lagi.
"Eeee.."
"Mungkin dia malu Tante." tebak Fadlan.
"Saya juga, saya adalah teman Aziz, Tristan. Saya ikut ekskul yang sama dengan Aziz. Salam kenal Om, Tante." ucap Tristan dengan sopan.
"Terus kamu siapa nya Aziz?" tanya Pak Okta pada Dinda. "Lalu apa itu yang kamu bawa?" lanjutnya sambil menunjuk kotak yang di bawa Dinda.
Dinda mengambil kotak itu dan bangkit. "Perkenalkan, nama saya Dinda. Saya teman Aziz. Dan ini adalah kue buatan saya, untuk Anda," kata Dinda lalu menyerahkan kotak itu kepada Bu Auris.
Bu Auris menerimanya dengan senang hati. "Wahh… kamu bisa memasak?" tanyanya.
"Iya, Tante. Semoga Tante dan Bapak suka."
"Terima kasih banyak." ucap Bu Auris.
"Oh, yah, Tante," Bu Auris langsung melirik ke arah Dinda. "Bapak, Tante tahu gak? Kalau Aziz adalah ketua kelas 91 dan saya adalah wakilnya."
"Oh, yah?" tanya Bu Auris tidak percaya.
"Aduhhh, udahan napa." ketus Aziz di dalam hati.
"Dia adalah ketua kelas yang baik loh. Dia selalu mendahulukan kepentingan teman-teman sekelas, daripada kepentingan dirinya,"
"Wouu…" Pak Okta dan Bu Auris juga tidak mengetahui hal itu.
"Banyak orang yang menghormati nya, bahkan saya juga. Walaupun dingin, tapi Aziz adalah anak yang baik dan sangat perduli pada temannya. " lanjutnya.
Aziz tidak tahan lagi. "Eh, udah napa!" bentaknya, membuat orang-orang terdiam.
"Kalian kalau mau kayak gitu, mending pergi aja!" lanjutnya.
"Aziz, jangan begitu." kata Bu Auris mencoba menenangkannya.
"Kalian cuma kayak gini gara-gara gua mau pindah kan?" tebak Aziz.
Ahmad bangkit dan menjawab, "Yah, itu benar. Lalu kenapa? Kau adalah teman kami, dan kami tidak akan membiarkan kau pergi begitu aja tanpa memberitahukan kami dulu." sengit Ahmad.
"Terus kenapa, kalo gua mau pindah? Kita udah mau lulus. Dan gua yakin, gak hanya gua yang akan pindah. Pasti masih banyak orang-orang lain yang melakukan hal yang sama, " kata Ahmad lalu memandang Rika dengan tajam. "Bahkan Rika juga akan pindah sekolah. Lu kagak bisa memaksakan orang untuk tetap berada di SMA nya sama dengan lu." kata Aziz mulai menaikkan nada suaranya.
Rika pun ikutan bangkit. "Enggak. Aku dan yang lain sudah memutuskan untuk melanjutkan sekolah kami di Dimas Karya, bahkan Ahmad pun."
Dimas Karya bukan hanya SMP saja, tapi juga ada SMA nya juga. Dan SMA termasuk SMA swasta terbaik di kota Bogor.
Aziz kaget lalu bertanya, "Bukannya orang tua lu maunya di SMA negri?"
"Gua udah bernegosiasi sama orang tua gua. Dan mereka bilang gua boleh tetap bersekolah di Dimas Karya, asalkan nilai UN gua bagus. Supaya gua dapet potongan harga. " jawab Ahmad.
"Bodoh, napa lu sampe melakukan hal itu?" tanya Aziz sambil menepuk jidatnya.
"Untuk pertemanan kita," Aziz langsung kaget dan begitu juga kedua orang tua Aziz. "Gua gak perduli lu mau ngatain gua apa. Yang penting lu harus tetap di sini dan bersekolah di Dimas Karya bersama kami."
“Terima kasih semua, sudah susah-susah melakukan semua hal itu cuma demi gua. Tapi keputusannya tidak merubah.”
“Ta-tapi,”
Aziz memegangi bahunya. “Maaf, tapi gak ada yang bisa gua lakukan.” katanya, memotong pembicaraan Rika.
Bu Auris menatap kearah Pak Okta. Pak Okta menyadari maksud dari Bu Auris, dan berkata kepada Aziz. “Tentu saja kau gak bisa melakukan apaapun, kerena semua keputusan berasal dari kami,” katanya lalu meneyentuh rambut Aziz. “Maaf, kami tidak memberikan mu kesempatan untuk mengutarakan pendapat mu. Kamu boleh tinggal di sini, jika mau.” katanya sambil tersenyum kepada Aziz.
Mata Aziz langsung berbinar-binar, begitu juga teman-temannya. “Jadi apa pilihan mu? Tinggal atau ikut bersama kami?” tanya Bu Auris.
“Kalo aku tinggal disini, bagaimana dengan kalian?” tanya Aziz.
“Kalo soal itu, biar kami yang urus. Itu bukan lah hal yang kau perlu pikirkan sekarang. Pertanyaan nya adalah, kau ingin tinggal dan bersekolah dimana nanti?” tanya Pak Okta.
Aziz menatap langsung mata ayahnya. “Aku boleh memilih?” Pak Okta mengangguk. Aziz menatap teman-temannya dan dan langsung tahu, apa jawaban dari pertanyaan itu. “Aku akan tinggal disini, bersama yang lain. Dan akan bersekolah di Dimas Karya.”
Rika merasa begitu senang. Sampai-sampai tidak sadar saat ia menghampiri Aziz dan langsung memeluknya. Aziz dan yang lain sangat kaged, terutama Pak Okta dan Bu Auris.
Saat Rika akhirnya tersadar, ia langsung melepas pelukannya dari Aziz. “E-e-eh, maaf.” katanya sambil tersipu malu.
Tapi Aziz tidak membiarkannya. Ia langsung dengan erat memeluk Rika. “A-Aziz?” tanya Rika dengan janjungnya yang terasa ingin copot.
“Terima kasih, sudah melakukan ini semua. Dan tidak menyerah padaku.” kata Aziz.
Ahmad yang hanya memerhatikan, cemburu. “Heiiii, ini kan semuanya rencana gua. Kenapa Rika yang malah di peluk?” tanyanya.
Aziz melepas pelukannya dan menjawab, “Lu mau di peluk ama cowok?” tanya Aziz.
Ahmad tersenyum. “Ih, ogah banget.” jawabnya.
“Lu peluk aja sih Dinda. Kalo berani.” ejek Tristan, membuat yang lain tertawa. Ahmad menjadi malu sendiri.
ns 15.158.61.20da2