"Selamat pagi mah, pah,” sapa remaja laki-laki bernama Aziz. 334Please respect copyright.PENANA6EgtybMW6j
4 tahun kemudian, anak SD yang bernama Ramadhan Aryanda Aziz atau akrab dipanggil Aziz, sekarang sudah duduk di bangku 9 SMP. Sekarang Aziz bersekolah di SMP Dimas karya. Salah satu sekolah favorit di kota Bogor. Aziz adalah salah satu murid terpintar di sekolahnya. Selain pintar dalam hal akademis, Aziz juga pandai bermain bulu tangkis. Banyak teman-teman di sekolahnya yang sangat kagum dengannya. Bukan hanya di kagumi oleh teman-teman sesekolahnya saja, bahkan dari luar sekolah pun ia di hormati dan di sukai oleh banyak orang. Tapi walaupun begitu, Aziz adalah anak yang pendiam dan tidak begitu suka bergaul dengan orang lain. Satu-satunya teman yang ia punya hanyalah Ibrahim Ahmad atau biasa dipanggil Ahmad. Ahmad adalah anak kelas 9, sama seperti Aziz. Ia memiliki sifat ceria, tapi kadang-kadang agak bawel. Ahmad juga termaksud anak yang pintar seperti Aziz di Dimas Karya, walaupun tidak sepintar Aziz. Ia juga adalah salah satu pemain bulu tangkis terbaik di sekolah. Bahkan ia dan Aziz pernah ikut serta dalam perlomba bulu tangkis sekota Bogor. Dan mereka berhasil meraih peringkat ke 8, dari beribu-ribu peserta lainnya.
334Please respect copyright.PENANA5tszkQvDQY
Aziz sebenarnya tidak suka dengan Ahmad. Karena menurut Aziz, Ahmad adalah anak yang bawel. Tapi karena mereka sama-sama ikut ekskul bulu tangkis dan ia dipaksa oleh orang tuanya. Jadi ia tidak punya pilihan lain. Kenapa di paksa? Karena orang tua Aziz dan Ahmad adalah teman dekat. Yah… bergitu lah. Jadi Aziz hanya berteman dengannya karena ia terpaksa.
“Sarapannya pagi ini apa?" lanjutnya sambil menarik kursi untuk ia duduki.
"Ohh, pagi juga,” sapa Bu Auris sambil tersenyum ceria. “Ini bibi (Maksudnya asisten rumah tangga) sudah buatkan roti panggang keju kesukaanmu,” katanya sambil menyuguhkan sepiring berisi roti keju dan susu. “Ayo cepat dimakan." lanjutnya.
Tanpa berpikir panjang, Aziz segera menyantap roti kejunya dengan lahap.
"Hari ini papah yang anter ke sekolah ya. Mumpung pekerjaan papah lagi gak banyak." kata Pak Okta, yang duduk di sampingnya.
"Gak usah pah. Aku kan udah kelas 9. Lagipula tiap hari aku juga pulang pergi sendiri ke sekolah." tolak Azia lalu melanjutkan melahap roti panggang kejunya.
Setelah selesai menghabiskan sarapannya, Aziz segera bersiap-siap untuk sekolah. Saat sedang memakai sepatu di garasi depan rumah, tiba-tiba Ahmad datang untuk menjemput Aziz.
"Aziz! Aziz!" panggil Ahmad, dari luar rumah.
Mendengar suara Ahmad dari luar, Aziz segera mempercepat memakai sepatunya. Tapi sebelum berangkat, Aziz tidak lupa untuk berpamitan dulu kepada kedua orang tuanya.
"Mah, pah, aku berangkat ya." pamit Aziz lalu menyalim tangan Pak Okta lalu Bu Auris.
"Hati-hati yah." pesan Bu Auris lalu mencium kening putranya.
"Iyah. Aku berangkat yah." Aziz segera membuka pagar dan keluar.
Di luar, Ahmad sudah menunggunya sambil memasang muka masam.
"Lama bet dah." protes Ahmad.
"Ya elah, sabar kali." ketus Aziz.
"Ayo berangkat. Nanti gua tinggal loh." ancam Ahmad lalu beranjak pergi dari depan rumah Aziz.
Karena rumah Ahmad dan Aziz berdekatan, setiap hari mereka berangkat dan pulang ke sekolah bersama-sama.
"Hoahhhh, gua ngantuk bet." gumam Ahmad sambil mengusap-ngusap matanya.
"Alah, tiap hari ngantuk terus." ketus Aziz.
“Oh, yah, Ziz. Kemarin malem gua nonto film, bangus banget. Terus pas...”
Saat Ahmad sedang asik mengobrol dengan Aziz, yang sebenarnya tidak mendengarkan, tiba-tiba Aziz berhenti. Ahmad yang berjalan di depannya, juga berhenti.
"Kenapa Az?" tanya Ahmad lalu membalikkan badannya.
"Gak papa," jawab Aziz, berbohong sambil mengamati sebuah rumah kosong di kanannya. "Ini… udah ke jual rumahnya?"
Ahmad ikut-ikutan mengamati rumah tersebut. "Gak tau yah. Kenapa?"
"Cuma agak kepo aja," jawab Aziz lalu tidak butuh waktu lama, ia sudah jauh berasa di depan Ahmad. Sementara Ahmad masih sibuk memerhatikan rumah itu. "Ayo cepatan. Gua gak mau telal gara-gara lu."
Ahmad yang baru menyadari jika ternyata Aziz sudah berada jauh di depannya, mencoba untuk mengejar. "Iyah…." Ahmad pun berjalan cepat menuju Aziz.
5 menit kemudian, mereka sudah sampai di sekolahan.
"Selamat pagi." sapa Dinda, salah satu murid di SMP Dimas Karya.
"Pagi…" jawab Ahmad.
sedangkan Aziz, seperti biasa tidak menjawab sapaan orang-orang.
“Az!” Ahmad mencolek tanya kiri Aziz sambil melirik ke arah Dinda.
“Hah… selamat pagi juga ketua kelas.” sapa Aziz, terpaksa.
“Namanya Dinda, BAMBANG!” batin Ahmad.
“Oh…” kata Aziz dingin, lalu kembali berjalan menuju kelasnya.
Dinda adalah murid teladan sekolah ini. Ia juga menjabat sebagai ketua osis, sampai akhir semesters pertama ini, dan mantan ketua kelas 88, kelas Aziz dulu. Dinda adalah salah satu perempuan cantik dan populer di SMP Dimas Karya. Ia banyak di sukai oleh laki-laki di sekolahnya, termaksud Ahmad. Walaupun begitu, Dinda tidak memperdulikannya. Karena ia sudah memiliki rasa suka untuk Aziz. Dan itu sudah terlihat jelas, bahkan sejak kelas 7. Tapi seperti biasa, Aziz yang tidak menyadarinya dan tidak memperdulikannya.
334Please respect copyright.PENANA5R2c81faBY
Sampai di kelas, Aziz meletakkan tasnya di gantungan meja dan mengambil beberapa buku pelajaran dari dalam tas. Saat sedang mencari buku, tiba-tiba Ahmad yang baru datang menyenggol Aziz sampai jatuh dan menabrak salah satu teman sekelas.
"Maaf. Maaf, gua gak sengaja," kata Aziz kepada orang yang ia tabrak tadi.
Aziz menatap tajam ke arah Ahmad. "Woii! Ati-ati napa. Kasian orang ini." protes Aziz kepada Ahmad yang berada di belakangnya.
"Maaf, maaf." kata Ahmad, yang tampak tidak bersalah.
Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Aziz dan seluruh teman sekelasnya segera bersiap-siap untuk memulai pelajaran.
“Selamat pagi semua.” sapa Bu Andri, wali kelas 91, lalu berjalan menuju meja guru dan meletakkan buku-bukunya di sana.
“Selamat pagi juga bu.” jawab semua siswa kelas 91.
“Seperti yang kalian sudah tau, ibu akan menjadi wali kelas kalian tahun ini. Dan seperti biasa, sekarang kita akan menemukan siapa saja yang akan menjadi pengurus kelas,” kata Bu Andri lalu menulis sebuah kalimat di papan tulis.
Ketua kelas:334Please respect copyright.PENANAtw8gP8t7Bk
Wakil Ketua Kelas:
Seketaris 1:
Seketaris 2:
Bendahara 1:
Bendahara 2:
334Please respect copyright.PENANAvm6I1jVZrj
“Ini adalah pengurus-pengurus kelas yang wajib ada di setiap kelas. Sekarang pertanyaannya, adakah yang bersedia menjadi salah satu dari keenam pengurus kelas ini?” lanjutnya.
“Andre bu!”
“Siska dan Raya bu!”
“Aziz bu!” teriak Ahmad, ikut-ikutan.
“Apaan sih lo?” tanya Aziz, tidak suka.
Semua menjadi ribut gara-gara ini.
“Sudah-sudah,” kata Bu Andri, menenangkan murid-muridnya. “Kalau begitu, biar ibu saja yang pilihan kandidat-kandidatnya.”
Bu Andri menulis di papan tulis, siapa anak-anak yang akan menjadi kandidat-kandidatnya.
Elena334Please respect copyright.PENANAbObFbuJLiz
Habib
Saputra
Aziz
Dinda
Laila
Aziz yang tadinya bengong sambil menatapi jendela kecil di sebelahnya, setengah melihat ke papan tulis, ia langsung terkejud. Wajahnya seketika menjadi pucat. Ahmad tertawa karena melihat wajah Aziz yang pucat itu. Bu Andri yang dari tadi melihat tingkah laku mereka berdua, penasaran dan bertanya.334Please respect copyright.PENANAGOH7dGRyNw
“Ada apa Ahmad? Ada yang lucu?” tanya Bu Andri.
“Ini sih Aziz bu.” jawab Ahmad sambil menunjuk ke arah Aziz.
Bu Andri mengarahkan pandangan matanya kepada Aziz. “Ada apa Aziz?” tanyanya.
“Biasa lah bu. Dia gak mau menyusahkan dirinya sendiri. Jadi pas ibu pilih dia untuk menjadi kandidat, wajahnya langsung pucat.” jelas Ahmad.
Aziz menatap tajam ke arah Ahmad, yang tampak tidak bersalah.
“Kamu gak boleh gitu dong Aziz. Kamu anak yang pinter dan berbakat loh. Masa jadi pengurus kelas gak mau.” nasehat Bu Andri.
“Iyah bu…” jawab Aziz.
Walaupun salah satu anak terpintar di SMP Dimas Karya dan sering memenangkan lomba-lomba akademik, non akademik, Aziz paling tidak suka saat dirinya harus menjadi pengurus kelas, atau apapun itu. Alasannya, Aziz tidak suka menyusahkan dirinya sendiri. Apalagi untuk mengurusi orang lain. Satu-satunya jabatan yang ia pegang adalah sebagai kapten dari ekskul yang sekarang ini ia ikuti, yaitu bulu tangkis. Itu juga karena ia dipaksa. Padahal saat SD Aziz adalah anak yang aktif dan dengan senang hati menjadi ketua kelas atau apapun itu.
334Please respect copyright.PENANA3dU71kkFqw
Setelah berbicara dengan Ahmad dan Aziz, Bu Andri kembali fokus ke kandidat pengurus kelas.
“Baiklah, sekarang kalian tulis di kertas. Siapa menjadi pengurus kelas apa,” pinta Bu Andri lalu kembali ke mejanya. “Ibu berikan waktu 5 menit, untuk kalian menentukan pilihan kalian. Ingat! Pilihan dengan baik dan jujur.” nasehat Bu Andri.
“Baik bu...” jawab anak-anak serentak.
“Sttt!” bisik Ahmad ke Aziz. Aziz tidak memperlulikannya. Ia hanya menganggapnya sebagai angin lalu saja.
“Oiii..”
“Ayo… nulis pake tangan. Bukan pake mulut.” tegas Bu Andri.
334Please respect copyright.PENANAmjIech71ob
334Please respect copyright.PENANAy6wNfnr12X