Setelah selesai pelajaran, bel istirahat pun berbunyi. Anak-anak segera berlarian menuju kantin dan berebutan membeli makanan yang mereka inginkan. Tapi berbeda dengan yang lain, saat istirahat Aziz tidak pergi ke kantin. Ia lebih memilih untuk diam di kelas sambil membaca novel atau memakan bekal yang ia bawa dari rumah. Karena Aziz tidak suka keramaian. 269Please respect copyright.PENANAxwNfq4Ji7I
269Please respect copyright.PENANAtUBzfIVWB9
Saat sedang mengeluarkan bekal miliknya dari dalam tas, Aziz menyadari kalau ternyata ia tidak membawa air putih. Mimika mukanya yang biasanya tenang dan dingin, menjadi panik. Ahmad yang duduk di sampingnya, melihat ekspresi Aziz langsung bertanya. 269Please respect copyright.PENANAPI4gSHEBSK
"Kenapa ketua kelas?” tanya Ahmad dengan nada mengejek.
Yah, benar! Aziz telah terpilih menjadi ketua kelas. Ternyata banyak sekali murid-murid yang memilih Aziz sebagai ketua kelas. Tentu saja, dengan motif mereka masing-masing, begitu juga Ahmad. Kalau Ahmad, memiliki Aziz untuk menjadi ketua kelas bukan karena ia pintar atau bagaimana. Tapi karena ia ingin melihat wajah Aziz yang dingin dan cuek itu, menjadi terkejud. Dan dugaan Ahmad benar. Setelah Aziz di nyatakan sebagai ketua kelas, wajahnya langsung pucat dan terkejud setengah mati.
“Muka mu kayak baru ngeliat setan." tambahnya.
"Ini lebih parah daripada baru ngeliat setan,” kata Aziz sambil terus mencari-cari botol minumnya di dalam tas. “Air minum gua ketinggalan." lanjutnya.
"Oh... beli aja di kantin." kata Ahmad dengan santai, lalu menahan tawanya. Ia tahu bahwa Aziz tidak akan mau pergi ke kantin.
"Mad! Lu mau ke kantin kan?" tanya Aziz lalu mengeluarkan uang dari dalam kantong bajunya. "Tolong beliin gua air putih dong."
"Hah? Beliin? Beli aja sendiri."
"Please... Mad! Nanti gua kasih upah deh." bujuk Aziz.
Ahmad tidak memperdulikan Aziz. Ia dan kedua temannya langsung ngaci pergi ke kantin. “Makanya, jadi anak tuh jangan dingin-dingin amet. Sekarang lu lagi susah, kagak ada yang mau nolongin.” kata Ahmad sebelum keluar dari kelas.
"Ih… dasar tuh anak.” gerutu Aziz lalu duduk kembali di kursinya dan perpikir sejenak. “Hah. Yasudah lah. Gua aja yang ke kantin.” lanjutnya.
Dengan terpaksa Aziz pergi ke kanti. Dan itu lah pertama kalinya Aziz pergi ke kantin, semenjak masuk SMP. Siswa-siswa yang ada di kantin pun sampai kaged, melihat seorang Aziz pergi ke kantin.
“Eh… itu kan Kak Aziz.” bisik salah satu anak di situ.
“Gila… dia ganteng banget.”
Seperti dugaan Aziz, ia menjadi pusat perhatian seluruh murid yang berada di situ.
“Hah… gini amat dah hidup.” gumam Aziz sambil berjalan menuju salah satu toko di dalam kantin sekolah. Tidak disadari, Aziz melewati Ahmad dan beberapa temannya, yang sedang duduk santai sambil memakan jajanan mereka.
“Wah, wah, wah. Lihat lah siapa yang akhirnya mau pergi ke kantin.” ejek Ahmad, yang sedang duduk di salah satu bangku di meja tersebut.
Aziz menatapnya dengan tajam. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Setelah membeli air minum, Aziz cepat-cepat kembali ke kelasnya. Tapi baru saja ia keluar dari kantin yang membuatnya menjadi sengsara itu, Zidan, salah satu dari teman Ahmad yang ikut bersamanya ke kantin dan juga teman sekelas Aziz, menariknya dengan paksa menuju meja yang di tempatti Ahmad dan ketiga orang lain.
“Woi… lepasin tangan gua!” batin Aziz lalu menarik tangannya dari genggaman Zidan.
Tapi tanpa memperdulikan Aziz yang memberontak, ingin kabur, Zidan terus menariknya sampai ke meja.
“Tada…! Dapet deh orangnya.” kata Zidan.
“Apa-apaan sih ini?” tanya Aziz, yang merasa marah dan kesal.
“Ayo sini duduk.” ajak Zidan lalu memaksa Aziz untuk duduk di kursi. Karena tenaganya lebih besar di bandingkan Aziz, ia dengan mudah melakukannya.
“Ayo… makan bereng.” pinta Ahmad lalu menyodorkan sepiring berisi siomay kepada Aziz.
“Kagak. Gua udah bawa bekal.” sengit Aziz lalu mencoba untuk bangkit dan pergi.
“Hari ini kita bakalan ngapain latihan bultangnya, kapten?” tanya Tristan.
Anak kelas 9 dan salah satu siswa yang ikut ekskul bulu tangkis, sama seperti Aziz.
Aziz berhenti dan berpikir sebentar.
“Emmm… gak tau yah. Tanya aja sama Bu Lintang,” jawab Aziz.
Bu Lintang adalah guru pelatih ekskul bulu tangkis.
“Tapi… ngomong-ngomong, lu siapa yah?” lanjutnya. Semua tercengang, lalu seketika mereka tertawa terbahak-bahak, kecuali Tristan dan Aziz.
“Ada apa yah?” tanya Aziz, tidak mengerti.
“Kasian banget sih lu, Tris. Sama kapten sendiri gak di kenal.” ejek Ahmad sambil tertawa terbahak-bahak, membuat Tristan menjadi sangat marah.
“Lu kok jahat banget sih. Gua Tristan. Gua ikut ekskul yang sama kayak lu.” protes Tristan.
“Ohhh… maaf.” kata Aziz dingin.
"Oh, yah, lu udah pada tau belum?” tanya Revan tiba-tiba.
“Apa? Lu mau ngejel gua juga.” ketus Tristan.
“Enggak. Gua cuma mau ngomong, besok kelas gua kedatengn murid baru loh,”
“Terus?” tanya Zidan.
“Katanya murid barunya cewek. Cantik pula." jelas Revan.
“Oh, yah?” tanya Ahmad depan mata berbinar-binar.
“Kok lu bisa tau anak barunya cantik?” tanya Tristan.
“Kata temen gua,” jelas Revan. “Terus katanya, rumahnya deket rumah Aziz.”
"Terus? Emang gua pikirin,” sengit Aziz. "Lagian, lu kok bisa tau rumah gua di mana?" lanjutnya.
"Iyah, deh. Orang ganteng mah, bebas." ejek Zidan.
“Gua pernah di kasih tau sama Ahmad.” jelas Revan.
“Oh…” Aziz tidak perduli. Ia langsung cepat-cepat kembali ke kelasnya, tanpa sepengetahuan yang lain.
“Hah, hah, hah,” Aziz terngos-ngosan karena ia lari dari kantin ke kelas.
“Akhirnya, gua kembali ke kelas,” kata Aziz dalam hati lalu melihat jam tangannya. “Astaga! Ini udah jam segini. Bentar lagi bel masuk.” lanjutnya lalu kembali ke mejanya dan buru- buru menghabiskan bekalnya.
Tak lama kemudian Pak Rohman, salah satu guru killer di SMP Dimas Karya, masuk dengan mimik muka senang. Pak Rohman adalah guru senior berumur 53 tahun yang jangkung dan berbadan kurus. Beliau adalah guru matematika kelas 91 dan guru BK yang banyak di takuti murid-murid SMP Dimas Karya. Tapi tidak biasanya Pak Rohman menunjukan ekspresi senangnya kepada murid-muridnya.
"Selamat siang anak-anak." sapa Pak Rohman.
"Selamat siang juga Pak." jawab murid-murid serentak.
"Bapak keliatannya senang. Ada apa Pak?” tanya Ahmad.
“Ohh, enggak. Ini bukan masalah kalian.” jawab Pak Rohman.
“Yah… Pak. Ceritain dong.” pinta Ahmad dengan muka memelas.
“Jadi begini…”
Sebenarnya Ahmad ingin Pak Rohman menceritakan kenapa dirinya senang, bukan kerena kepo, tapi sebagai alasan untuk tidak belajar pelajaran yang ia sangat benci itu. Karena sekalinya Pak Rohman bercerita, tidak akan ada habisnya. Sampai akhirnya bel berbunyi dan berganti pelajaran.
269Please respect copyright.PENANABLGMpougmH
Waktunya pulang sekolah. Anak-anak buru-buru mengemas barang-barangnya dan pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi tidak bagi Aziz. Karena ia tidak suka keramaian, ia selalu keluar dari kelas paling terakhir. Dan lagipula, hari ini Aziz masih ada ekskul yang harus ia ikuti. Jadi ia tidak perlu terburu-buru. Sebelum pergi ke lapangan, Aziz ke kamar mandi dulu untuk berganti pakaian.
“Aziz!” panggil Ahmad dari kejauhan. “Ayo cepetan!”
Walaupun sudah di panggil-panggil sama Ahmad, Aziz tetap berjalan dengan santai.
“Buset, lama bet sih loh.” protes Tristan.
“Lah? Bu Lintang nya aja belum dateng.” kata Aziz tidak mau kalah.
“Tapi kan loh di minta untuk mendata anak-anak baru.” jelas Tristan.
“Kenapa gak Fadlan aja? Dia kan wakilnya.”
“Kagak mau bertanggung jawab amet sih,” ketus Ahmad. “Sih Fadlan lagi bantuin Bu Lintang ngerakit jaringnya.” lanjutnya sambil menunjuk ke arah Fadlan yang sedang sibuk membantu Bu Lintang merakit jaring untuk bermain bulu tangkis.
“Hah, yasudah mana sini buku absennya?” Aziz pun terpaksa melakukan pekerjaan yang ia tidak suka.
“Nih.” kata Ahmad sambil menyerahkan buku absen kepada Aziz.
Aziz pun mendata anak-anak baru dengan terpaksa.
“Hahhhh, akhirnya selesai juga.” keluh Aziz di dalam hati.
“Ayo semua berkumpul!” pinta Bu Lintang yang sudah selesai memasang jaring.
Melihat Bu Lintang yang sudah tidak sibuk lagi, Aziz segera menghampirinya dan menyerahkan buku absen yang sudah terisi nama-nama anak baru dan lama.
“Ini bu,” kata Aziz lalu memberikan buku absennya kepada Bu Lintang. “Saya sudah selesai mendata anak-anak barunya.”
“Oh, iyah. Terima kasih, ya Aziz.” kata Bu Lintang lalu mengambil buku absen tersebut dari Aziz.
“Selamat datang untuk anak-anak kelas 7 dan anak-anak kelas 8 atau 9, lain yang baru bergabung. Perkenalkan nama Ibu, Bu Lintang. Saya adalah guru yang akan mengajar ekskul ini,” sapa Bu dengan ramah. “Dan ini adalah ketua dan wakil ketua ekskul bulu tangkis. Silahkan perkenalkan diri kalian masing-masing.” lanjutnya, mempersilahkan Aziz dan Fadlan untuk berganti memperkenalkan diri.
“Hai semuanya!” sapa Fadlan dengan penuh semangat. “Nama gua Fadlan Saputra Rizki. Gua kelas 96. Salam kenal.”
“Nama saya Ramadhan Aryanda Aziz. Saya kelas 91.” sapa Aziz.
“Wahh, itu Kak Aziz yah. Ganteng yah.”
“Ihhh, lucu banget kakak itu.”
“Kalau ada yang ingin di tanyakan, jangan sungkan untuk bertanya. Gua dan Aziz akan senang hati membantu kalian,” kata Fadlan kepada siswa-siswa yang berada di depan mereka. “Cie, cie. Cewek-cewek pada ngeliatin lu tuh.” bisiknya kepada Aziz. Tapi seperti biasa Aziz tidak memperdulikannya.
“Kita tuh masih SMP. Jangan mikirin cewek mulu.” bisik Aziz dengan nada sengit.
“Oke, ayo kita mulai latihannya. Seperti biasa, untuk anak-anak senior, ibu minta tolong. Tolong kalian mentori adik-adik kelas kalian. Tapi tentu saja di bawah bimbingan ibu,” pinta Bu Lintang lalu membuka buku absen yang tadi di berikan Aziz. “Ibu yang akan menentukan siapa yang mementori siapa. Mulai dari Aziz dan Fadlan dulu. Oh, yah!” lanjut Bu Lintang.
“Oke, untuk Fadlan... kamu dan kamu, silahkan,” kata Bu Lintang sambil menunjuk 2 anak laki-laki di depannya. “Ohhh. Dan kamu juga deh.” lanjutnya sambil menunjuk ke perempuan di paling pojok.
“Untuk Aziz, kamu ibu pasangkan dengan Salsa, Andira, dan Radja.” kata Bu Lintang sambil membaca nama anak-anak di buku absen.
“Iyah, bu.” jawab Aziz.
“Oke, sama satu lagi... Dinda deh.”
Semua murid-murid di sana terkejud mendengarnya. Bahkan Aziz sendiri pun juga terkejud.
“Gua gak tau sih Dinda ikutan ekskul ini?” tanyanya dalam hati. “Bukannya dia ikut ekskul PMR dulu?” lanjutnya.
“Cie, cie. Aziz.” goda Ahmad.
“Cieeee!”
Yang lain pun ikut-ikutan menggoda Aziz. Beberapa dari mereka ada iri dengan Dinda, ada juga yang senang.
“Ayo-ayo, jangan ribut,” kata Bu Lintang, mencoba untuk mendiamkan murid-muridnya. “Aziz, Fadlan! Cepat segera bergabung dengan anak-anak yang ibu sudah umumkan tadi.”
“Baik bu.” kata Aziz dan Fadlan serentak.
“Oh, iyah, ibu lupa. Kelompok yang ibu buat ini hanya berlaku selama 1 bulan. Jadi setelah 1 bulan kelompok ini tidak berlaku lagi.” jelas Bu Lintang.
“Gua duluan Ziz. Jangan lu apa-apain adik gua yah. Kalau enggak!” ancam Fadlan.
“Ehhh, bentar! Lu punya adek? Yang mana-“ belum selesai Aziz bertanya, Fadlan sudah ngacir entah kemana.
“Buset!” batin Aziz dalam hati.
“Aziz, kamu juga yah.” kata Bu Lintang, mengigatkan.
“Iyah… Bu.” Aziz segera mencari anak-anak yang sudah di sebutkan Bu Lintang tadi. Sementara Bu Lintang sibuk membagikan kelompok anak-anak yang lain.
“Kenapa gua di bagiinnya pake nama? Kenapa sih Fadlan enggak?” tanyanya dalam hati.
Dengan berat hati, ia mencari ke tiga anak yang tadi di sebutkan Bu Lintang. Aziz berdiri di depan barisan anak-anak dan mulai menyari mereka.
“Permisi,” kata Aziz, mencoba mendapatkan perhatian para murid yang sedang ribut. “Di sini yang bernama Salsa, Andira, dan Radja? Kalau ada, tolong maju!” pinta Aziz dengan suara keras.
Tak lama kemudian ketiga anak itu maju ke depan dan begitu juga Dinda.
“Ayo, pada pada ambil raketnya. Nanti balik lagi ke sini.”
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya keempat anak itu kembali dan sudah membawa raket mereka masing-masing. Lalu Aziz membawa ke 4 orang itu menuju pojokan dan memulai latihan mereka.
“Yah, seperti yang kalian sudah tau. Nama ku Aziz. Aku akan menjadi mentor kalian selama satu bulan ini,” kata Aziz memperjelas. “Tapi ngomong-ngomong, siapa yang di sini adiknya Fadlan?”
Tanpa ragu, salah satu anak itu menjawab. “Saya,” jawab salah satu perempuan di depannya. “Saya Andira. Saya adiknya Kak Fadlan.”
“Ohhh,” kata Aziz pura-pura mengerti. “Tapi kok nih anak kagak mirip yah sama Fadlan.” katanya dalam hati.
“Aku tidak mau membuang-membuang waktu lagi. Jadi mari kita mulai pelajarannya. Ini namanya teknik Forehand," kata Aziz sambi memperagakan tehnik tersebut. "Teknik ini bisa dilakukan dengan tangan kanan atau kiri. Untuk melakukannya, pertama posisi kepala raket sedikit menyamping, lalu pegang raket dengan cara seperti bersalaman. Posisi ibu jari dan jari telunjuk huruf V. Sementara jari yang lainnya menggenggam erat raket," jelas Aziz. "Sekarang aku ingin kalian mencobanya." lanjutnya.
269Please respect copyright.PENANA8qfC5mKiU1
2 jam kemudian, Aziz dan murid-murid lain selesai ekskul. Mereka cepat-cepat berganti baju dan pulang, begitu juga Aziz.
“Aziz ayo pulang.” ajak Ahmad.
“Iyah, bentar.” jawab Aziz yang sedang sibuk melipat bajunya.
Beberapa menit kemudian. “Oke, gua udah selesai. Ayo pulang.”
Mereka berdua pun pulang dengan berjalan kaki sambil asyik mengobrol. Saat di perjalanan.
“Eh, gimana murid-murid lu? Lu bisa ngajarnya?” tanya Ahmad.
“Bisa kok.” jawab Aziz dengan santai.
“Iyah lah ,bisa, anak pinter,” kata Ahmad dengan nada mengejek. “Tapi lu enak sih. Gua kelompoknya cowok semua.” protes Ahmad.
“Lah? Bukannya ada sih Eva?”
“Iyah, sih… Tapi Eva itu kan temen sekelas kita. Dan lo sendiri tau kan, Eva anak gimna.”
“Menurut gua, Eva baik kok. Dia yang selalu ngebantu gua kalo lagi pelajaran Seni Budaya.”
“Selera lu ngebingungin yah.” ejek Ahmad.
Saat sedang asik mengobrol, tiba-tiba Aziz berhenti di depan rumah yang sama dengan waktu yang tadi pagi.
“Kenapa Az?” tanya Ahmad lalu berjalan mundur ke tempat Aziz. “Ngeliatin rumah ini lagi?” lanjutnya.
“Ini… mobil… kayak aku pernah liat deh.” kata Aziz, tidak memperdulikan pertanyaan Ahmad.
“Mobil kayak gitu kan banyak. Jadi pantes aja lu sering liat.”
“Enggak, enggak. Gua benerah pernah liat mobil yang sama kayak gini. Tapi di mana yah?” tanya Aziz sambil mencoba perpikir di mana ia pernah melihat mobil tersebut. Tiba-tiba petir menyambar. Membuat kedua anak itu kaged.
“Eh, Az, kayaknya udah mau hujan deh. Sebaiknya kita cepet pulang. Nanti yang ada kita kehujanan di jalan.” kata Ahmad lalu berlari menuju rumahnya, dan begitu juga Aziz.
“Gua duluan yah!” teriak Aziz lalu berbelok di pertigaan. Sedangkan Ahmad berjalan lurus menuju rumahnya.
“Yahh..” jawab Ahmad dari ke jauhan.
Setelah 6 menit berlari, akhirnya Aziz sampai di depan gerbang rumahnya. Lalu membukanya dengan kunci yang selalu ia bawa.
“Aku pulang!” seru Aziz lalu meletakkan tasnya di sofa dan beranjak pergi ke dapur, mencari Mbak Rosa, asisten rumah tangganya.
“Eh, Aziz udah pulang?” tanya mbak Rosa lalu memberikannya segelas air putih untuknya. “Ini silahkan di minum.” lanjutnya sambil memberikan segelas air putih kepada Aziz.
“Makasih.” kata Aziz lalu duduk di kursi di sebelahnya dan meminum air putih tersebut.
“Papah ada Mbak?” tanya Aziz setelah selesai meminum air putih tersebut.
“Ada kok. Pak Okta sedang di ruang kerjanya.”
“Oh, oke,” kata Aziz lalu mengembalikan gelas tersebut ke Mbak Rosa. “Ngomong-ngomong, kita kedatangan tetangga baru yah?”
“Di mana yah?” tanya Mbak Rosa sambil mencoba mengigat-ngigat kembali.
“Di sebelahnya pintu gerbang masuk komplek.” jelas Aziz.
“Oh… rumah yang ada pohon manggahnya itu yah.” tebak Mbak Rosa.
“Iyah benar. Ada mbak?”
“Poster tanda jualnya sih udah gak ada. Mungkin udah di beli.”
“Ohhh, begitu,” kata Aziz lalu berdiri dari kursinya. “Makasih yah Mbak. Sekarang aku mau mandi dulu.” lanjutnya lalu beranjak pergi.
“Mau di siapin makana?”
“Gak usah deh Mbak. Makannya nanti malam aja,” sebelum keluar dari dapur, Aziz membalikan badannya dan bertanya, “Ada kue gak? Atau makanan yang manis?”
Mbak Rosa perpikir sejenak. “Ada brownies. Kamu mau?” tawar Mbak Rosa.
“Boleh Mbak. Nanti tolong bawa ke kamar aku, ya.” pinta Aziz lalu kembali ke ruang tamu untuk mengambil rasnya dan pergi ke kamarnya.
“Berarti benar. Ada tetangga baru.” kata Aziz dalam hati sambil satu persatu menaiki anak tangga.
Saat baru saja Aziz ingin memasuki kamarnya, tiba-tiba Pak Okta datang dan menyambut kepulangan anaknya yang tercinta itu.
“Aziz baru pulang nak? Kok papah gak tau.”
“Eh, papah. Iyah aku baru pulang,” jawab Aziz lalu mencium tangan ayahnya. “Aku mau masuk dulu ke kamar yah pah.”
“Oh, iyah. Silahkan, jangan lupa mandi yah.”
“Iyah pah.” Aziz pun masuk ke kamarnya dan bersiap-siap untuk mandi.
269Please respect copyright.PENANA3e1cJSQyQt
Malam harinya sebelum makan malam, Aziz sedang membereskan buku-bukunya, setelah belajar.
“Hah, akhirnya selesai.” kata Aziz lalu membaringkan dirinya di atas kasur.
“Hujan yah? Indah sekali.” Saat sedang enak-enakan berbaring di kasur sambil melihat hujan melalui jendelanya, tiba-tiba Bu Auris memanggil dari luar kamar.
“Aziz!” teriak Bu Auris. “Ayo makan nak.” katanya lagi.
Aziz terkejud dan cepat-cepat turun dari kasurnya.
“Iyah mah. Tunggu.” Baru saja Aziz turun dari kasur, tiba-tiba ia terjatuh karena setumpukkan buku yang ia belum rapihkan.
“Aduh..”
“Aziz, suara apa itu?” tanya Bu Auris.
“Enggak mah. Bukan apa-apa. Nanti aku akan turun sebentar lagi.”
“Yaudah mamh tunggu di bawah.”
Bu Auris pun pergi dan kembali ke ruang makan. Sedangkan Aziz masih terbaring di lantai, mencoba untuk bangun. Saat ia sedang mencoba untuk bangun, Aziz menemukan sebuah kotak biru yang berdebu di bawah kolong kasur. Aziz yang penasaran, mengambil kotak tersebut dan membukanya. Dan bertapa terkejudnya dirinya, saat melihat isi kotak tersebut. Ternyata kotak tersebut berisi barang-barang pemberian Salma dan Rika dulu.
“Ya ampun, ini masih ada aja di sini,”
Karena penasaran, Aziz mengambil buku berwarna merah. Dan ternyata isisnya adalah foto-foto mereka saat kecil. Dan bukan hanya itu, di dalamnya juga terdapat surat-surat balasan dari Rika.
”Salma. Bagaimana kabar mu disana?” tanya Aziz sambil melihat-lihat fotonya bersama Rika dan Salma. “Sahabat awan?” Aziz tertawa mengigat-ngigat masa mereka masih bersama dan memanggil diri mereka dengan panggilan ‘Sahabat Awan’.
“Wah… lihat! Ini kan gelang yang aku beli pas ulang tahunnya Salma,” kata Aziz sambil memperhatikan gelasnya, lalu memakainya. “Aku harap waktu bisa di ulang. Hah…”
Tiba-tiba dari luar kamar, Mbak Rosa mengetuk pintu. “Aziz! Ayo makan. Papah sama mamah kamu sudah menunggu di bawah.”
Aziz benar-benar lupa. Ia segera membereska kotak tersebut dan meletakannya di atas kasur.
Aziz keluar kamar dan buru-buru pergi ke ruang makan.
“Aduh… kamu ini. Padahal masih muda loh.” ejek Mbak Rosa.
“Hehehehe…”
ns 15.158.61.7da2