Sesampainya Aziz di dekat gerbang sekolah, ia langsung mencari-cari di mana Rika berada. Ternyata Rika sedang berdiri di samping gerbang bersama seorang perempuan lain. Aziz segera mengejar Rika.
Saat sudah dekat dengan Rika dan satu peremuan itu, Aziz memanggilnya. “Rika!”
Perempuan itu menoleh, sedangkan Rika malah mencoba untuk kabur. Tapi untungnya Aziz spontan mengenggam tangannya.
Pandangan orang-orang mengarah ke Aziz yang terlihat sedang memohon-mohon ke Rika. Dan lagi-lagi kejadian ini membuat orang-orang di sekitarnya kaget.
“Lepasin,” bisik Rika sambil mencoba melepaskan genggaman tangan Aziz. “Kita di liatin banyak orang.”
“Itu beneran Kak Aziz?”
“Gila… di kejar-kejar sama cogan. Gua juga mau kali.”
“Dasar cewek sok jual mahal.” gosip orang-orang pun mulai bermunculan.
“Yaudah ayo pulang ke rumah ku.” bisik Aziz lalu menarik paksa Rika menuju mobil.
“Lepas-“
“Kau gak mau di liatin orang-orang kan?” tanya Aziz dengan dingin sambil menatap tajam mata Rika. “Makanya diem dan ikut aja dengan ku.”
“Emang lu kira lu siapa? Nyuru-nyuru gua.” ketus Rika tidak mau kalah.
Tapi Aziz tidak memperdulikan kata-kata Rika. Ia terus menarik menariknya sampai masuk ke dalam mobil.
“Pak, tolong tunggu sebentar, ya!” pinta Aziz, tajam.
“Sa-saya akan menunggu di luar saja.” Bahkan Pak Bin saja tidak berani mengganggu Aziz yang sedang serius seperti itu.
“Sekarang lu mau apa?” tanya Rika mulai emosi.
“Kenapa kamu jadi begini? Bukannya dulu kita bersahabat.”
“DULU,” batin Rika menekan, kata-katanya. “Sekarang kita bukan lagi sahabat atau bahkan teman.” lanjutnya.
“Kenapa begitu? Kita sudah 4 tahun gak bertemu. Apakah aku pernah berbuat salah kepada mu sebelum berpisah?”
“Itu dia masalahnya,” kata Rika memperkeras suaranya. “Kita udah 4 tahun gak ketemu dan kau masih mengira kita sahabat?”
“I-iy-“
“Gua enggak,” mimik muka Aziz yang marah menjadi masam. “Sekarang gua udah mempunyai kehidupan baru yang lebih baik dari pada saat gua berteman dengan mu.”
“Tapi bukannya kau balik ke Bogor untuk menepati janji mu dulu.”
“Hah? Jangan geer deh. Gua balik ke sini lagi gara-gara kerjaan ayah gua. Gua sebenarnya juga gak pernah mau balik ke sini.”
“Tapi selama ini aku selalu menunggu mu.”
“Di kira gua peduli,” batin Rika, membuat mata Aziz berkaca-kaca. “Lagian, Sil udah gak ada. Jadi kita gua yakin kita gak bisa berteman lagi.”
“Ke-kenapa? Kau kira selama ini kita berteman cuma gara-gara ada Salma!?” Aziz sudah tidak tahan lagi dengan sifat Rika yang berpikir semena-menanya saja terhadap persabahatan mereka.
“IYAH!” batin Rika. “Jadi lu gak usah pura-pura lagi. Gua tau kok alasan sebenarnya
lu mau berteman sama gua.”
“Apa!?” batin Aziz sambil memukul pintu mobil.
“Gara-gara lu suka sama Sil kan?” tebak Rika lalu matanya mulai berkaca-kaca. “Saat Sil koma, yang kau pikirkan hanya dia.”
“Ya, tentu saja. Aku khawa-“
“Lalu aku di tinggal begitu aja. Tidak di perduli. Yang kau pikirkan hanya Sil, Sil, dan Sil lagi. Aku MUAK!” bentak Rika sambil mengacak-ngacak rambutnya.
“Iya lah, aku khawatir. Karena dia sudah koma selama beberapa hari. Lagian kalau kau misalnya yang koma, pasti aku akan memikirkan mu terus.”
“BOHONG!” bentak Rika lalu sedikit demi sedikit air keluar dari matanya. “Bahkan sebelum Sil koma, gua yakin yang ada di pikiran lu juga cuma doang, kan?”
“Jangan sok tau kamu!” bentak Aziz, membuat Rika ketakutan.
“Lu suka kan sama Sil?” tebak Rika.
Tanpa mengalihkan pandangannya, Aziz menjawab dengan lantang. “Ya, emang
Tapi bukan berarti gua gak peduli sama lu.”
“BOHONG!” bentak Rika.
“Kalau emang yang pikiran gua cuma Salma doang, gak akan gua nyelamatin lu saat lu hampir jatuh ke jurang,” batin Aziz sambil menatap tajam mata Rika yang sudah merah kerena air mata yang terus-terusan keluar. “Lu akan MATI, kalau gua gak nyelamatin lo saat itu. Lo gak akan bersekolah di sini sekarang kalau dulu gua gak ngajarin lu tiap hari. Dan lu gak akan ada di sini kalau gua cuek dan tidak memperdulikan lu,”
Memang benar. Dahulu, setiap pulang sekolah, Aziz selalu menyempatkan diri untuk membantu Rika belajar. Karena dulu, Rika bukanlah anak yang begitu pintar dalam hal pelajara. Ia sering kali mendapatkan nilai-nilai yang jelak. Bahkan ia pernah terancam tidak naik kelas. Tapi terima kasih kepada Aziz, Rika tidak jadi tinggal kelas dan bisa memperolah nilai-nilai yang cukup memuaskan. Itu semua mereka lakukan berdua. Salma tidak ikut-iktutan. Walaupun Salma tidak ikut, ia tidak pernah meresa cemburu atau marah, tapi tidak bagi Rika. Saat Salma koma, Aziz jadi jarang mengajarkannya lagi. Dan itu membuat Rika menjadi cemburu.
“Gua gak bermaksud sombong atau bagaimana. Tapi lu coba inget-inget! Banyak hal yang gua lakukan ke lu, yang bahkan Salma gak tau. Dan sampai sekarang pun masih begitu,” Aziz memberikan sebatang coklat yang ia beli tadi dengan tulisan yang menepel pada bungkusnya yang bertuliskan “Selamat datang kembali Rika. Semoga kita bisa terus berteman.”
“Dan lu masih kira gua gak perduli ama lu?” lanjut Aziz.
Amarahnya seketika hilang. Rika tidak bisa lagi menahan air matanya lagi. Melihat itu, Aziz segera memeluknya dan Rika menangis di pelukkan Aziz.
“Maaf, tadi gua ngebentak lu.” bisik Aziz di telinga Rika.
Rika tersenyum lalu menggeleng dan berkata. “Aku rindu pelukan hangat mu, Aza.”
“Aku juga.” balas Aziz sambil tersenyum lebar.
Saat sedang momen-momen mengharukan, tiba-tiba Rika melihat jam di mobil Aziz. Dan pertapa terkejudnya saat ia tahu ini sudah hampir jam setengah 4. Rika segera melepas pelukan Aziz dan berkata. “Yaampun, ini sudah hampir jam setengah 4. Aku harus pulang sekarang.” Rika pun mengambil barang-barangnya dan mencoba untuk membuka pintu. Tapi di hentikan oleh Aziz.
“Ayo, pulangnya bareng aku aja,” katanya sambil tersenyum manis ke Rika. Seketika membuat hati Rika berdetuk kencang. “Kamu tinggal bilang aja di mana rumah kamu. Nanti supir ku yang akan mengantarkan kamu sampai ke rumah. Lagian ini gerimis. Nanti kamu malah ke hujanan di tengah jalan.”
“Oke…” kata Rika malu-malu. Karena hal tersebut, Aziz menjadi tertawa.
“Ih… kenapa sih?” tanya Rika yang marah kerena di tertawakan.
“Enggak, enggak,” kata Aziz sambil berusaha menahan tawanya. Lalu ia membuka pintu mobil dan keluar. “Tunggu yah. Aku panggil Pak Bin dulu.”
Rika yang berada di dalam mobil, mengangguk. Aziz tersenyum dan langsung pergi menemui Pak Bin.
“Kenapa tiba-tiba gua begini yah?” tanya Rika dalam hati sambil memegangi dadanya. “Gua baru engeh, sih Aziz itu ternyata ganteng yah. Padahal pas kecil gak kayak gitu. Segitu lamanya kah? Gua gak ketemu sama Aziz?”
Sesaat kemudian, Aziz kembali bersama dengan Pak Bin.
“Oh… Rika yah?” tanya Pak Bin yang baru masuk ke dalam mobil.
“Iyah pak.” jawabnya ramah.
“Udah gede yah,” kata Pak Bin sambil memasang sabuk pengaman. “Baiklah, sekarang kita pulang?”
“Iyah pak,” jawab Aziz sambil meletakkan tasnya di bawah. “Tapi kita nganterin Rika pulang dulu.” lanjutnya.
“Oke… rumahnya dimana sekarang?” tanya Pak Bin kepada Rika.
“Di komplek Taman Jati.” jawab Rika sambil menunjuk ke arah jalan komplek tersebut.
“Oh… yah?” tanya Pak Bin tidak percaya. “Berarti sama dong sama Aziz.”
“Iyah?” tanya Rika juga tidak percaya.
“Apa jangan-jangan, rumah kamu yang di deket gerbang masuk?” tebak Aziz.
“Iyah. Kok kamu bisa tau?” tanya Rika.
“Abisnya pas kemarin lewat, aku liat poster tanda jualnya udah ilang. Jadi aku kira rumah kamu di sana.” jelas Aziz.
“Ohhh… begitu.”
“Oke. Sekarang kita pulang.” kata Pak Bin lalu mengendarai mobil menuju rumah Rika.
Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai di depan rumah Rika. Rika segera mengambil barang-barangnya. Tapi sebelum turun, ia tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Aziz dan Pak Bin.
“Terima kasih banyak ya, Aza dan Pak Bin.” kata Rika sambil mencoba mengendong tasnya.
“Iya, sama-sama neng.” jawab Pak Bin.
“Sini aku bantu.” tawar Aziz, spontan membantu Rika membawakan tas yang berisi semua buku-buku paket kelas 9.
Karena hari ini, hari pertama Rika masuk ke sekolah SMP Dimas karya, ia langsung di bagikan buku-buku paketnya untuk belajar.
“Ohhh, makasih.”
Aziz pun membantu Rika membawakan tas yang berisi buku-buku paket tersebut. Sesampainya mereka di depan pintu masuk rumah Rika, Aziz segera meletakkan tas tersebut di bawah lantai, tepat di mana Rika memintanya untuk menaruhnya.
“Terima kasih banyak, ya Aza. Udah nganterin aku pulang sama udah ngebawain buku-buku ku.”
“Iyah, sama-sama.”
“Yaudah, aku pulang dulu, ya,” pamit Aziz lalu beranjak pergi. “Sampai ketemu besok.” lanjutnya. Rika pun melambaikan tangannya.
Setelah beberapa menit kemudian, mobil Aziz sudah berkendara jauh, menuju ke rumahnya. Sementara Rika, masuk ke rumahnya dan bersih-bersih.
Sesampainya di rumah, Aziz segera pergi menuju kamarnya dan membaringkan diri di atas kasur sambil tersenyum-senyum sendiri. Mbak Rosa yang tiba-tina masuk ke kamar Aziz, kaged. Karena tidak biasa setelah pulang sekolah, Aziz tersenyum-senyum sendiri seperti itu.
“Kenapa Kak? Ada apa di sekolah?” tanya Mbak Rosa sambil meletakkan nampan berisi kue dan teh pahit hangat di atas meja, sebelah kasur.
“Gak papa.” jawab Aziz sambil tersenyum sendiri. Membuat Mbak Rosa semakin penasaran.
“Cepetan mandi sama ganti baju! Jangan tersenyum-senyum terus.” ledek Mbak Rosa.
“Iyah-iyah.” kata Aziz, terpaksa.
“Oh, yah. Ngomong-ngomong, papah sama mamah ada?” tanya Aziz sebelum ia keluar dari kamar.
“Ada kok. Mamah lagi ada di kamar. Sedangkan papah ada di rooftop.” jawab Mbak Rosa.
“Ohhhh, oke.”
“Mandi dulu, sebelum ketemu Bapak dan Ibu.” saran Mbak Rosa.
“Iyah Mbak.” Aziz memgambil handuknya dari lemari dan pergi ke kamar mandi.
Malam harinya, saat Aziz dan orang tuanya sedang makan malam. Aziz memutuskan untuk menceritakan kejadian hari ini kepada orang tuanya.
“Mah, pah, tau gak hari ini ak-“
“Heiii, awas,” kata Bu Auris lalu mengambil gelas di dekat siku Aziz. “Nanti air nya tumpah.” lanjutnya.
“Eh, iyah. Maaf.”
Lalu Aziz kembali mwncoba menceritakan kejadian hari ini. “Ngomong-ngomong, hari ini ak-“
“Oh, iya, papah hampir lupa,” kata Pak Okta sambil menepuk jidatnya, membuat Aziz berhenti berbicara. “Besok papah sama mamah mau pergi ke luar kota sebentar.”
“Loh kenapa? Kok mendadak banget.” kata Aziz, terkejud.
“Iyah, maaf. Papah juga baru dapet kabar kemarin.”
“Berapa lama?” tanya Aziz.
“Detail nya sih papah gak begitu tau. Tapi paling lama sih 3 minggu.”
“Palingan lebih dari satu bulan,” pikir Aziz, negative, di dalam hati.
“Oh, gitu.” katanya, dengan lantang, yang sekarang tampak tidak perduli.
“Iyah, maaf. Tapi di rumah kan ada Mbak Rosa dan mbak-mbak lain,” kata Bu Auris, mancoba untuk menenagkan Aziz. “Nanti kamu boleh kok ngundang temen ke sini. Asalkan bilang dulu ke mamah atau papah.” lanjutnya.
“Ohhh, yaudah lah.” kata Aziz pasrah.
“Nanti papah bawain oleh-oleh deh.” bujuk Pak Okta.
“Iyah-iyah.” kata Aziz lalu kembali memakan makanannya.
“Begitu dong anak papah.” kata Pak Okta sambil mengelus-ngelua kepala Aziz.
“Pergi aja terus. Anaknya kagak di urusin.” ketus Aziz di dalam hati.
“Yaudah, setelah makan, ayok kita main bulu tangis sebentar.” bujuk Pak Okta.
“Gak ah. Aku capek. Mau tidur.” jawab Aziz, tidak merasa tertantng.
“Ayo lah, bentar aja.” bujuk Pak Okta.
“Dengan terpaksa, Aziz menyetujui keinginan ayahnya. “Oke.” jawabnya dengan memasang senyuman palsu.
Yah… begitu lah, Aziz menjalani malamnya. Setelah makan, sesuai janjinya, Aziz dengan kedua orang tuanya bermain bulu tangkis. Awalnya memang Aziz tidak begitu semangat. Tapi setelah beberapa kali bertanding, semangatnya kembali lagi. Mereka terus bermain, sampai akhirnya Aziz kecapean dan menutuskan untuk mengakhiri permainannya.383Please respect copyright.PENANAagW0adjOiA
383Please respect copyright.PENANAmWZFKxdwsD
383Please respect copyright.PENANAgrEPXYXGHQ