Manusia? Berpikir? Masa bodoh! Tidak bagiku seorang yang berprinsip hemat. Mengkaji sesuatu bukan hal yang kuanggap menyenangkan, berpikir adalah satu – satunya jalan yang kutempuh dengan paksaan. Mencari uang, salah satu kegiatan yang kunikmati itu faktanya. Tapi hari – hari buruk pernah kudapatkan. Sama seperti seorang pemilik kapal pariwisata. Mereka mendesain interiornya sangat amat beau et très charmant. Makanan yang mereka sajikan bahkan bisa membuat herbivora pun berubah jalan ke omnivora. Pelayanan mereka tidak main – main, bagaikan mengasuh para bangsawan dalam sebuah ruangan yang besar dan megah. Hari buruk, satu hari tanpa pelanggan, sudah cukup membuat mereka bingung. Apalagi terus berjalan sebulan? Tagihan bulanan bukan sesuatu yang diremehkan. Well, kalau dipikir – pikir memang cukup menyedihkan.
Karena itu aku dipaksa untuk berpikir. Setidaknya bila disuruh memilih tanpa konsekuensi, tidur adalah pilihan paling tepat. Tenang, nyaman, tanpa perlu mengeluarkan kearogansian, dan mimpi. Bukan sesuatu hal yang kubuat lelucon, tapi tertidur dalam keadaan berpikir adalah hal – hal yang mengganggu malamku. Baiklah ini mungkin bukan hal yang seserius itu, tapi pernahkah kau berpikir pada hal yang paling sederhana? Sesuatu yang bila divisualisasikan adalah dasar dari semua bentuk. Seseorang mungkin sering melewatkan, tapi tidak bagi penulis. Sebuah titik. Tidak bermakna dalam, tidak dibaca, dan berada pada suatu akhir. Setidaknya punya peran.
Namun kukira sebuah titik, tidak hanya penting bagi seorang penulis. Seperti halnya atom yang berkumpul dan mengikat menjadi molekul, menurut seorang seniman bahwa sebuah titik yang berdempet, memanjang, mereka berganti penampakannya. Sebuah garis.
Lihat? Kukira memang benar bila berpikir saja cepat membuat orang bosan, aku saja malas memikirkannya. Tapi garis ya? ini hanyalah hal yang sederhana. Tidak rumit dan tidak cukup membuatku kerepotan bila hanya memikirkannya. Tapi, mari kita hanya berbicara pada hal – hal yang sederhana, diluar garis pasti sesuatu yang tak terbatas. Aku tak sanggup membicarakan hal itu. Kerucutkan saja pada garis.
Apa yang kau percayai tentang garis? Misalnya saja aku, itu cukup mudah. Garis adalah batasan yang boleh dan tidak untuk dilewati. Sekolahku, bukan tempat yang diimpikan untuk daerah Yorkshire, mengadakan festival lari bersama dengan sekolah lain. Tidak secara khusus budaya inggris, tapi kuyakin itu ditemukan di benua lain juga. Cara mainnya sederhana, seolah – olah mereka lari bersama, namun pada akhirnya dibatasi oleh peringkat. Nomor satu mendapat sepeda pancal unik. Well, tentu saja itu tidak menarik bila hanya sepeda pancal biasa. Setidaknya aku tidak sendirian, kami lebih tepatnya.
“Hadiah peringkat dua? Itu omong kosong. Tidak bagus, tidak menarik, dan hanya satu yang bisa menikmatinya. Jelas bukan tandingan sepeda pancal delapan pedal!” Kata pria berbadan paling tinggi diantara kami dan seolah – olah bersikap sebagai ketua geng. Suaranya agak kasar kepada gadis yang sama keras kepalanya.
“Ta-tapi ini TV, Roddy! Setidaknya ini lebih baik daripada diam di kamar?”
“Well, be-benar…. Tapi soal pembagiannya?” tanya gadis culun dengan rambut potongan rapi, ia menarik baju temannya dengan ringan.
“Jangan khawatir! Nona Verdamant ini adalah pembagi yang bijak dan adil!” tambahnya dengan penuh percaya diri dalam gelak tawanya. “Ahohohoho!”
Mataku melirik ke arah lain.
“Meh…,” tambahku tapi tidak kulontarkan langsung. ‘Tidak jauh dari drama di pagi hari, fashion di sore hari, dan kembali lagi drama untuk malamnya. Benar, sebaiknya tidak nomor dua.’
Aku tahu aku pria yang lemah lembut, setidaknya bisa kupastikan dengan kontras secara langsung setelah temanku itu menimpali perkataan.
“Ah! Verdamant untuk drama di pagi dan malam. Sore acara fashion! Saat tiba giliran yang lain, pasti ada – ada saja alasannya. Kau tahu arti dari permainan Monopoly kan?”
Aku ingin sekali menutup mulut pria itu, tapi terlanjur ember. Sebagai gantinya tanganku menepuk jidatku dengan penyesalan.
Dia sebenarnya pria baik, tapi saat berkemauan keras, kata – katanya seperti panah berlumurkan neurotoxin lima nanogram. Tolong turunkan derajatmu sedikit dan maafkanlah dia, Verdamant! Kau ini wanita yang baik, kan? Kataku dalam hati.
Nada wanita yang berparas seperti orang kaya itu meninggi. Wajahnya merah gelap tanda amarah.
“A-apa kau bilang!?”
Mereka beradu mulut. Sementara Pebble menghentikan Verdamant yang hendak menampar pria itu.
Seperti itulah garis yang tidak bisa kau injak, batasan yang tidak boleh dilewati. Setidaknya kau bisa belajar dariku menjadi pria lemah lembut, traitement spécial pour les femmes(perlakuan khusus untuk wanita).
Tiba – tiba seseorang ikut nimbrung.
“Tapi ya, kurasa hadiah ketiga tidak buruk.”
Bila penampilannya mengaca pada cermin, maka Pebble adalah pantulannnya dan terlihat lebih culun. Setidaknya tidak dengan kacamata dan rambut yang dikuncir dua sebahu. Sonia adalah gadis yang terlihat berwawasan dan berbudaya. Paling tidak ia adalah gadis selera dan favorit semua kelas. Keramahannya, kecepatannya dan ketepatannya berpikir bahkan akupun setuju kalau dia menjadi ketua kelas. Penampilannya hampir seperti Verdamant yang seolah – olah seperti putri kaya namun banyak bicara, tapi ia lebih kearah putri mahkota karismatik.
“Huh? Alat untuk memanggang? Serius?” kata temanku yang masih mengotot dengan hadiah pertama.
Gadis yang terlihat pintar itu bersuara lagi.
“Tidak ada yang terbaik selain alat untuk membuat makanan. Apalagi bila dimakan ramai – ramai?”
“Well, kalau Sonia yang bilang benar juga,” kata Verdamant yang tiba – tiba setuju.
“Eh!? bukannya itu sama seperti yang kubilang padamu sebelumnya?” kata Pebble sambil memukul – mukul kecil Verdamant.
Bahkan Roddy versi wanita pun menurut. Seperti itulah gambaran dari Sonia. Apa? Kau benar – benar ingin tahu pendapatku tentangnya? Well, misalnya seperti ini. Bila kau ke supermarket di waktu – waktu tertentu, mencari daging dengan potongan harga, pastinya kau tidak akan mendapati kualitas yang A5. Begitulah Sonia, gadis yang tak mudah ditemui dan sangat bernilai, bagi satu kelas, teman – temanku, ataupun orang – orang berseragam putih.
“Bagaimana denganmu, Mark?” tanya Sonia padaku.
Wajahnya yang semringah, rambutnya coklat keemasan lurus sebahu. Terlihat bak bunga matahari di mata orang – orang, namun tidak padaku.
“Tidak buruk. Well, aku menganulir hadiah kedua. Setidaknya itu tidak seperti kita sering menerima makanan yang enak setiap harinya. Lagipula kertas pun dipanggang jadi abu. Aku ragu bila abu rasanya enak.”
“Persis! Semua disini sangat menyedihkan. Kupikir tempat ini cukup terkutuk meskipun di perkotaan. Makanannya tidak lebih baik dari penjara. Tidak ada hiburan. Ini hanya seperti penyakit yang menggerogoti harapan kita.”
Kata – kata Roddy barusan membuat setiap orang merasakan keputusasaan. Walaupun harus kuakui dengan sulit, Widehope School, lingkungan dan sekitarnya, tidak benar – benar memberikan harapan. Gedungnya megah, bak sekolah swasta dengan harapan tinggi. Namun ketika kau sudah berada di dalamnya, itu hanya seperti kucing dalam kandang. Bedanya adalah kalau kucing yang tidak patuh masih terlihat imut, disini kau terlihat menjijikan tiada ampun. Dibuang? Tidak sesuai dengan norma kemanusiaan? Siapa peduli? Itulah pertanyaan yang dilontarkan, tapi jawaban mana yang kau harapkan bila pendanaannya saja dari para ilmuwan mencurigakan. Banyak slogan mengatakan ‘Buanglah sampah pada tempatnya’ itulah yang kurasakan pada tempat ini. Sebuah tempat legal, dimana kau bisa membuang aib, atas nama keadilan.
“He-hentikan itu Roddy! Kau hanya membuat yang lainnya sedih! Ini tidak seburuk itu, kita hanya perlu adaptasi! Untuk itulah kita saling membahu. Satu untuk semua! Bukan semua untuk satu! Benar?”
Sonia melemparkan pertanyaan yang sedikit tidaknya memberi harapan. Kata – katanya mendekati pemimpin sungguhan daripada ketua geng.
Roddy hanya membuang muka.
“I-itu benar. Kita bukanlah dibuang. Kita hanya belum matang! Benar, kan?” Kata Pebble matanya berkaca – kaca padaku.
Tatapanku agak iba, namun khusus pada gadis culun ini. Setidaknya ia masihlah gadis, dan bukannya seorang pria.
“Tidak ada yang lebih menyeramkan dari Cage D'âme milik para duyung.”
“Tapi itu tidak sama, kan?”
Katanya agak merengek.
Sebenarnya aku masih tidak terlalu yakin, tapi sikap pria sejatiku menjejak pada garis yang menghormati segalanya mengenai wanita.
“Aku tidak pernah seyakin itu, Pebble.”
Setelah mengatakan itu, rasanya semakin aku membenci Yorkshire.
ns 15.158.61.8da2