“Jadi Cos x sama dengan cos (a + b)….”
Suara yang satu – satunya mengisi keheningan saat kelas dimulai, Madame Caulburn, dengan penggaris kayunya untuk berjaga – jaga saat seseorang mengantuk. Pelajaran yang menjadi musuh bagi semua temanku. Kami menyebutnya Shit Time, maknanya pelajaran yang menyebalkan untuk guru yang terkutuk. Tidak satupun seseorang dengan ekspresi semangat.
Tangan Caulburn menuliskan sesuatu, tanda alarm peringatan.
“Seperti yang sudah dijelaskan, tolong pewakilan…”
Semua orang memasang dua wajah. Satunya polos, dan yang satu panik. Lebih lucunya lagi, para kawanan tolol itu, Roddy, Rodriguez, Riggs, dan Gabbi, duduk di paling depan. Aku bisa membayangkan betapa putus asanya mereka.
“Eldritch, silahkan maju ke depan!”
Setiap orang menghela nafas. Namun aku tidak yakin ini berakhir begitu saja. Well, bila ada yang sial pasti ada yang paling beruntung. Pebble adalah gadis yang lugu dan tidak pernah dipanggil maju. Walaupun itu tidak akan seru, karena dia ini cukup pintar.
“Roddy! Silahkan nomor 2!”
Suara tawa mulai terdengar samar – samar, bahkan aku tak kuat menahannya.
“Tapi, madame…” nada Roddy merengek.
Suara pukulan penggaris kayu yang mengaggetkan, seketika membuat setiap orang berjingkrak.
Caulburn memasang wajah intimidasinya.
“Dengar anak muda! Tak ada tapi, tak ada menolak! Bila kau tidak bisa, maka belajarlah!”
Roddy pun beranjak dengan terpaksa.
Suara tawa terdengar tambah besar.
“Diam! Yang lain menyimak!”
Ia menciptakan suara pukulan mengaggetkan itu lagi. Aku bahkan merasa kasihan pada penggaris itu daripada Roddy yang wajahnya seperti mau dieksekusi.
Meskipun begitu, aku merasa kelas ini setidaknya belum lengkap.
--------------------- A MOMENT LATER --------------------
Pelajaran selesai, aku memutuskan tidak ikut tambahan keterampilan. Sebenarnya hari ini adalah pelajaran keterampilan memasak yang rasanya enggan sekali meninggalkannya. Masalahnya adalah sebuah janji. Pagi tadi sepucuk kertas menerobos celah pintu kamarku. Well, cukup menganggu tapi mari kita lihat apa yang bisa kulakukan.
Tiba – tiba seseorang menarik pundakku.
“Ahohoho! Kau tidak ikut kelas memasak, Mark?”
“Ah, Verd. Tidak untuk hari ini.”
“Ada apa? Ini tidak biasanya?”
Aku mulai mencari – cari alasan.
“Ah… aku mengerti. Kau juga menjenguk Foscow?” sahut Verdamant.
“Begitulah… rencananya.”
Verdamant mengangguk paham lalu pergi. Itu lebih cepat daripada yang kukira. Mungkin ia mengerti saat itu aku juga pingsan, masalahnya Foscow tiba – tiba muntah. Pebble mengabariku pagi itu. Setelah urusanku selesai, pasti kujenguk Foscow.
Langkahku kubuat se plegmatis mungkin, tapi jantungku berdebar - debar. Kepalaku menoleh ke berbagai arah. Aku hanya tidak ingin ada pertanyaan – pertanyaan lebih jauh, walaupun ini tidak seperti aku merahasiakannya. Hanya saja, instingku mengatakan bahwa sebaiknya ini tidak diketahui siapapun.
Aku menuju gedung yang sebenarnya sesekali aku pernah kesana, lalu harapanku dijatuhkan saat mengetahui aku di tempatkan di belakangnya.
Tempat pertemuannya di korridor yang sepi itu.
“Hey! Di sini!” ia melambaikan tangan dari agak kejauhan. “Um…”
“Mark.”
“Ah, Mark. Kenalkan ini temanku.”
Aku sedikit mengernyitkan dahiku. Masalahnya dulu aku pernah mendengar dari seseorang bila kami yang dari kelas belakang tidak boleh terlibat oleh gedung depan. Mereka memandang kami seperti sampah yang seenaknya masuk akses ke sekolah terkenal. Ini tidak seperti aku membenci mereka, tapi perasaanku agak takut.
Aku mengabaikan tangan yang mengajak berjabat.
“Kau mengatakan hal aneh pada kami, Elysa?” tanya salah satu teman gadisnya berambut panjang lurus yang menawan.
Elysa juga terlihat bingung.
Sementara satunya pria berambut kuning itu malah agak malu, situasinya memang benar – benar aneh. Tangannya masih mengajak berjabat.
“Ah! Maaf… Mark.”
Aku kemudian menjabat tangannya.
Lagipula, kukira seorang diri. Masalahnya aku juga tidak mendengar dia bilang sendirian sih.
“Ah, santai saja, kawan. Aku Herald, dan ini Prestone.”
“Hi!”
Gadis berambut lurus tadi tersenyum hangat.
“Yeah…”
Mereka kemudian menceritakan apa yang menjadi permasalahannya.
“Baik, baik. Tapi kenapa harus aku?”
Mereka saling memandang satu sama lain.
“Karena kau satu – satunya yang aneh. Maksudku, hanya kau seorang yang dekat dengan gedung kami.”
Aku malah tambah bingung.
“Apa? Kadang – kadang aku memang berjalan di sekitar tempat itu! Lagipula bukan hal biasanya ada anak dari bagian depan, kan?”
“Seperti itulah persepsi kami, Mark. Bahkan Elysa juga berpikir seperti itu. Lagipula Laboratorium berada di antara keduanya.” Jelas Herald.
Aku menggaruk – garuk kepalaku saking frustasinya dengan pernyataan itu.
“Baik, baik. Jadi tadi katanya kau melihat sesuatu?”
Mereka terlihat sedikit khawatir. Terutama saat memandang Elysa.
“Seperti yang kau dengar sebelumnya, legenda sekolah ini, gadis bernama Selena ini, sekitar 20 tahun yang lalu menghilang!” katanya dengan semangat sambil meraih pundakku dan menatap sangat dekat. “Bukannya itu sangat menegangkan?!”
Kukira apa, ini lebih cepat dimengerti. Terutama kedua temannya yang terlihat sangat khawatir. Lagipula ini mengingatkanku di masa lalu. Pribadi yang bersemangat untuk hal yang abu – abu selalu berakhir tidak bahagia.
Aku bisa mengerti tanda kedipan mata dari Prestone, gadis yang wajahnya tenang, tipeku yang kedua setelah Beagle dengan juteknya, yang mengisyaratkan padaku bagaimana caranya agar nona bersemangat ini bisa berhenti mencari hal – hal yang membahayakannya.
“Ah, ini. Aku menemukan tergeletak di tanah.”
Dia memberiku sesuatu setelah mulutnya yang mengobrol tanpa henti.
“Lencana polisi?!”
Kali ini aku benar – benar menganggap serius. Namun bukan legenda yang diomongkan Elysa, sang gadis penyemangat tadi. Kupandangi berkali – kali, aku merasakan perasaan tidak jelas, lebih mengarah ke khawatir.
“Jadi bagaimana, Mark?” Elysa yang semakin tidak sabaran.
Aku menggali otakku sedalam – dalamnya. Yang penting, ia bisa puas dengan jawaban ini. Sementara itu kugerak – gerakan mataku, isyarat lain.
“Hey, Ely, tidakkah kau lupa kalau hari ini ada pelajaran tambahan?”
Ia terdiam saja dan membuang muka.
“Itu tidak bagus, Elysa. Kau tahu? Caulburn pernah tidak meloloskan muridnya bila merah terus.”
“Eh!?” ia menjadi panik.
Gadis itu langsung lari terbirit – birit.
“Nah jadi bagaimana?” Herald menjadi sangat serius. Begitu pula teman gadis di sebelahnya.
Aku perlu menimbang – nimbang permasalahan ini. Aku seorang yang malas berpikir? Disuruh untuk memecahkan kasus? Tidakkah mereka ini tolol? Itulah yang ingin kukatakan. Seperti aku ingin mereka tidak ikut campur dengan urusan kami. Namun saat ada lencana ini, aku mulai takut. Takut kalau – kalau mempengaruhi temanku juga.
Aku mengangguk sesaat. Kami berjalan ke arah gedungku.
“Kalian juga mendapati Caulburn mengajar pelajaran matematika?” tanyaku.
“Well…” Prestone mengangguk sambil menoleh ke arah temannya yang ikut mengangguk juga.
“Guru yang ketat, tapi beliau mencetak murid – murid menjadi pintar!” tambah Herald.
“Begitu? Pantas tadi ia panik.”
“Huh?” tambahnya. “Tidak, Caulburn tidak seburuk itu. Ia tetap meloloskan kok. Aku hanya ingin Elysa menjalani kehidupan yang sebenarnya.”
Aku mengangguk mengerti. Kami sampai di perbatasan gedung belakang, dimana Elysa sempat terjatuh. Di dekat sebuah laboratorium.
Tiba – tiba gadis berambut lurus dengan wajah tenang itu panik saat meraba sakunya.
“Oh sial! Aku lupa! Itu ketinggalan! ”
“Apanya?”
“Dia ini ikut seni tari untuk pentas,” tambahnya. “Kau lupa sesuatu Prestone?”
Saat ia menyebutkan benda itu, dengan anehnya ada di sakuku. Tidak, ini bukan miliknya, tapi Verdamant yang menyelipkan sesuatu bersamaan dengan benda ini.
Kuserahkan padanya.
“Wow! Ini barang bagus!” ia segera memasukkan ke dalam sakunya. Lalu dari sakunya pula, ia mengeluarkan sesuatu. “Ini. Anggap saja pertukaran yang ideal! Baik sampai nanti!”
Gadis itu pergi. Sayangnya aku tidak sempat untuk minta nomor ponselnya? Ah itu tidak penting. Setidaknya pertukaran ini lebih pantas. Lagipula aku juga tidak punya ponsel. Sebatang coklat yang mewah? Aku cukup beruntung.
“Baiklah, kalau begitu lencana ini kuambil dulu.”
Aku hendak berbalik kembali, ia menahanku.
“Ini dariku.”
Ia memberikan sebungkus biskuit. Aku sedikit merasa iri, tapi bila ini buatan tangan, kelasnya seperti restoran atau hotel kelas atas. Biskuit dengan choco chip.
“Wow kau membuat biskuit?”
Ia hanya mengangguk biasa. Senyumannya tidak mengedepankan kebanggan, lebih tepatnya rendah hati.
“Katakan padanya, legenda itu bohong. Itu adalah isu yang dibuat Widehope untuk menutupi isu lainnya. Itulah yang biasa dilakukan korporat. Lalu alasan kenapa ia dikejar? Well, laboratorium punya standarnya. Mereka tidak ingin ada orang mengintip pekerjaannya, Kode etik, seperti itulah. Bagaimana?”
“Genial! Kau ini seperti wartawan, ahaha! Itu sudah cukup, terima kasih.”
Rasanya lega. Permasalahan sepele yang berpotensi beresiko.
“Mark, berhati – hatilah. Kudengar berita di koran saat ini sedang membicarakan hal yang mengkhawatirkan.”
“Terima kasih.”
Aku pun pergi.
Dalam beberapa langkah, aku merasa agak sangsi. Tepatnya semenjak aku menerima lencana polisi yang ditemukan Elysa, well gadis yang ceroboh. Otakku memberi peringatan melalui gambaran – gambaran buram, semakin dicari tahu, semakin aneh. Keanehan ini menimbulkan sedikit ketakutan.
Aku mungkin berhasil dengan alasan – alasan yang membuat pria bernama Herald itu tadi kagum. Tapi aku tidak menemukan alasan lencana polisi ini.
Tiga pertanyaan lebih tepatnya…
Apa yang dilakukan benda ini tergeletak di tempat itu?
Siapa yang mengejar Elysa?
Berita koran yang mana?
Sesat pada akhirnya pikiran itu sempat buyar karena mengingat agendaku selanjutnya.
‘Ah! Aku hampir lupa! Monsieur Foscow…’ kataku dalam hati.
ns 15.158.61.54da2