Suasana yang damai, aku memandang langit - langit. Kali ini pikiranku tenang sekali. Musim panas tidak berarti harus di bawah atap. Tapi bukannya aku menghamburkan uang jatahku. Di dunia ini tidak ada yang gratis, bahkan bila ingin berdamai dengan tempat yang tidak berbayar sama sekali.
Sekitar 10 menit kail itu dilempar, aku khawatir pada gadis pendek kepala permen itu merasa bosan. Sedangkan Beckey boleh saja tidak kupedulikan, aku bahkan tidak menyadari dari mana kucing hitam yang digendongnya. Namanya juga musim panas, karena aku lelaki yang peka dan boleh dibilang agak romantis, maka kuputuskan untuk mencari persediaan dulu. Setidaknya dua gadis ini seperti es krim yang ditaruh di meja seharian.
Awan – awan berkumpul menyapa mataku sesaat.
“Syukurlah.” Gumamku
Kubangunkan tubuh yang hendak mengantuk ini.
“Aku mau pergi ke toko lokal.”
“Ah! Aku ingin teh lemon botol,” sahut Gwendoline sambil mengibas – kibaskan topinya.
“Soda boleh,” tambah Beckey. “Satu setengah liter.”
Aku tahu memang musimnya harus banyak minum, tapi gadis ini melebihi dugaanku. Aku tidak keberatan bila itu teh atau air putih, tapi tidak untuk soda.
“Kau ingin mandi soda, Beckey?” sindirku.
“Kau punya rekomendasi lain?” ia mengangkat bahunya.
Serius gadis ini? Bahkan tidak punya pilihan. Jadi tidak masalah kan kalau kuberikan bensin? Kuangkat jempolku dan ia mengangguk menurut.
“Well, Papa Mark akan berangkat.”
Aku kembali ke jalan tadi. Kali ini aku lurus saja, melewati pepohonan Laysike. Kalau dipikir – pikir tidak ada salahnya mengajak Gertrude dan Rita ke sini. Kupikir tidak mungkin bila tidak ada serangga, apalagi kumbang. Tapi setelah menimbang hal lain, itu akan semakin mempercepat kantong kering bila ada tambahan orang. Aku sedikit lega.
Sekitar 1 km telah berjalan, melewati rimbunnya Laysike, tibalah tantangan terakhir. Setidaknya dua kali aku harus melewatinya.
“Jembatan… gantung…” gumamku.
Aku menelan ludah.
Memang terlihat kokoh, paling tidak aku berfirasat kalau itu sudah direnovasi. Meskipun begitu, jembatan gantung tetaplah jembatan gantung. Sama seperti yang di film – film. Bila dinaiki, getarannya terasa bahkan sampai ke ujung sekalipun. Masalahnya bila aku hilang, tidak ada satupun yang mencemaskan.
Aku melompat – lompat kecil, mengambil kuda -kuda, menghembuskan nafas dengan maksimal. Pemanasanku selesai.
“Baiklah, Papa Mark harus mendapatkan ransum untuk dua istriku!”
Itu adalah kata – kata paling percaya diri dan bodoh yang pernah kuucapkan. Setidaknya bila tidak beruntung, aku telah mengeluarkan kalimat keren. Walaupun, bodoh.
Kakiku mengambil langkah pelan, tapi jantungku seakan sudah melayang duluan. Mataku tidak sekali – kali memandang bawah sekalipun itu sungai. Tidak akan kubiarkan sesuatu mengintimidasiku. Aku membayangkan menjadi burung.
Setelah lima menit, waktu yang cukup lama untuk meresikokan hidup, akhirnya aku sampai. Masalahnya aku tidak boleh puas dulu, karena akan kuhadapi dua kali.
Setelah itu aku berjalan lurus, terlihat palang bertuliskan Water Lane. Sapuan padang rumput yang luas, sejenak aku berpikir ini adalah tempat yang cocok untuk beternak. Mengikuti jalan agak melengkung, sampailah pada toko lokal. Tidak terlalu ramai dan aromanya menggunakan bau kopi. Lumayan cocok.
“Permisi.” Kataku pada ketiga ibu rumah tangga yang sedang ngerumpi.
Mereka menoleh ke arahku.
“Oh, orang luar?” kata ibu kaos biru agak lusuh.
Aku memperkenalkan diri dan menjelaskan pada mereka.
“Ah, murid Widehope!” sahut ibu berkulit hitam sambil tersenyum ramah.
“Oh! Itu mengagumkan untuk anak zaman sekarang yang masih memancing?” kata ibu yang memakai kemeja kotak – kotak dan memakai kaca mata.
Mereka hanya tidak tahu kalau kami bukan dari yang sisi depan.
“Hey, nak, bagaimana kabar, Garnache?”
“Maaf, madame?” sahutku balik bertanya pada wanita dengan kemeja kotak – kotak.
Aku tidak mengerti apa yang ia tanyakan. Tapi aku yakin pernah dengar nama itu.
“Itu sudah lama sekali, Lauren! Mereka tak akan tahu.” Kata wanita yang berbaju agak lusuh.
“Maaf, nak, kami pemisi dulu!”
Mereka pun pergi.
Aku memesan beberapa barang.
“Maaf, Siapa Garnache yang ibu tadi tanyakan?” tanyaku pada penjual yang tadi juga ikut mendengar.
“Oh, teman lama. Madame Garnache, dia ini sangat mendukung orang – orang desa lokal. Ia bahkan pernah memborong semua hasil kebun tomat dan selada Madame Browne sebanyak total dua ton!”
“Sebanyak itu?”
“Well, dia orang kaya. Punya restoran. Kalau tidak begitu mana berani ia memborong lima ekor sapi milik Madame McLoughlin.”
“McLoughlin?”
“Yang baju biru agak lusuh tadi.”
“Lalu apa hubungannya dengan Widehope?”
Tangan pria yang rambutnya sudah tidak hitam lagi itu mengusap wajahnya. Ia kemudian menjelaskan dengan singkat dan agak berat.
“Inilah yang membuat kami sekarang agak susah.”
“Kalau boleh tahu, beliau terkena penyakit apa?”
Ia menggeleng tidak tahu.
“Tadi kata anda donatur terbesar?”
“Yeah, katanya ia ikut menyumbang proyek Widehope gedung belakang.”
“Ah, begitu. Terima kasih, sir.”
Saat hendak pergi, aku teringat sesuatu.
“Maaf pak, jembatan itu sudah direnovasi?”
Ia berpikir sejenak.
“Oh! Jembatan Gantung Menethorpe? Yeah, tiga tahun yang lalu.”
“Saya kira oleh Madame Garnache.”
“Bukan, itu dari orang lain. Entahlah, Heide, Schneide…” katanya sambil menebak.
“Reider?” sahutku membantunya.
Ia menggeleng sambil menggaruk – nggaruk rambutnya.
“Muller… Reiner… Krueger…”
Setelah beberapa saat, matanya terbuka lebar.
“Ah! Groeneweg. Yeah, dengan beberapa kawanan berjas hitam. Pebisnis mungkin?”
“Terima kasih.” Tambahku dalam hati, itu bahkan tidak satupun mirip.
Aku kembali melewati jembatan laknat itu, sampailah sekitar 15 menit.
“Maaf, Beckey, aku… belikan yang lebih baik.”
Aku memberikan botol sebesar sekitar 1 liter lebih.
“Oh, yang ini juga tidak masalah.”
Setelah itu aku diam – diam dari belakang, kutempelkan botol yang dingin itu pada pipinya.
Gwendoline kaget hampir terjebur. Untuk kupegang tangannya.
“Yikes! Grrr… lakukan dengan normal!”
“Hehe, maaf,” Tambahku sambil melihat embernya yang sudah berisi dua ikan. “Oh? Perch tidak buruk.
Ia menghela nafas.
“Rasanya mustahil untuk menangkap anadromous. Tapi aku bahkan tidak menangkap satu trout pun.” Katanya agak merengek.
Mengambil pancing, dan kulemparkan kailnya. Lalu aku duduk di sebelah Gwendoline.
“Santai saja, tidak ada yang salah dengan itu.”
Kuminum satu botol yang sama seperti milik Gwendoline, lalu ditaruh menyamping.
“Ngomong – ngomong, kenapa kau lama sekali?” tanya Gwendoline agak sebal.
“Oh ya?” lirikku.
“Empat puluh lima menit kurang lebih.” Jelas Beckey.
“Oh, waktu memang tidak terasa kalau sedang piknik? Benar?”
Kali ini Gwendoline benar – benar tidak membiarkanku. Kedua tangannya tiba – tiba meraih kerahku. Untungnya itu semakin melemah.
“Baik, baik… Papa Mark akan berterus terang,” kataku agak merintih dan kuwalahan.
“Tcih! Apanya yang Papa!”
Aku menjelaskan pada mereka.
“Jembatan Gantung? Hey, hey! Aku ingin ke sana!” katanya dengan semangat.
“Oh, ayolah, Beckey! Beri aku istirahat!” kataku mengeluh.
Sementara Gwendoline pandangannya masih pada pancingannya.
“Hey, katamu tadi Garnache?”
“Kau tidak asing, Gwen?”
Sementara pancinganku bergetar tak bisa ditahan, atau akan menyesal bila dilakukan.
ns 15.158.61.23da2