Saat – saat ironis adalah ketika mata sudah tertutup, kepala sudah bersandarkan bantal. Bukannya mimpi, malah ada banyak hal dalam pikiran. Bukannya matahari terbit, tapi bangun saat bulan bersinar. Kupikir aku tertidur beberapa jam, tapi ternyata melamun sambil menutup penglihatanku dalam beberapa jam. Mungkin bukan tengah malam, tapi setidaknya jam menunjukkan pukul sepuluh.
Well, malam yang bukannya membawa ketenangan. Telingaku dibuat bising dengan amarah tuhan melalui petirnya, sementara air langit dengan derasnya turun tanpa ampun. Ditambah angin kencang , boleh dikatakan agak ganas, membuat arah air setidaknya agak menyerong. Dengan usaha yang agak berlebih, aku memasang dua ember, tepat di bawah atap yang sudah agak lapuk. Kamar yang tidak benar – benar memberi perlindungan.
Setelah aku merasa sedikit lega, langkah selanjutnya adalah menunggu Beagle. Sebelumnya, aku telah menyuruhnya untuk kembali ke kamar guru yang disediakan, bukan kembali ke tempat TKP. Karena itu aku tak perlu kaget tempat itu lampunya mati. Masalahnya adalah aku harus bermusuhan dengan air hujan ini, gedung guru ada di sisi depan.
Pintu akhirnya dengan berat kubuka. Ini tidak seperti aku penakut, toh kemarin juga lebih malam saat aku membantu sedikit pekerjaan Gwendoline. Efek kilat dan derasnya hujan, kompak bersamaan membuat kesan mengkhawatirkan. Bahkan mereka memecahkan keheningan. Yang paling meragukan adalah bila terjadi sesuatu. Seperti pepatah jepang mengatakan, siang punya mata, malam punya telinga.
Setelah pintu kututup kembali, aku berjalan menepi mengikuti atap yang melindungiku dari jatuhnya air. Dari agak kejauhan dua tangga di tengah koridor, terliht seseorang. Kepalanya menoleh ke segala arah dengan hati – hati, ia memanfaatkan mantel kuningnya untuk menutupi kepalanya. Sebelum langkahnya cepat berlari memecah gemercik derasnya hujan, saat ia menoleh ke arahku.
“Siapa?” gumamku.
Bangunan kamar ini memanjang, sepuluh kamar dua tingkat, mengotak mengikuti lapangan. Sementara lorongnya bila malam hari tidak terlalu terang, namun jujur saja angin yang agak kencang ini membuat mereka tertidur.
Aku berjalan mengelilingi koridor. Seperti biasa, kamar tertutup dengan rapat. Aku berjalan berlawanan dengan gadis yang lari dengan tiba – tiba tadi. Hingga aku berjalan di koridor sebelah barat, dua kamar terbuka. Sama sekali tidak ada petunjuk apa yang terjadi, namun ini membuatku khawatir.
Aku berlari kembali menuju deretan kamarku, tapi di lantai duanya.
“Oh tuhan, tidak!” gumamku yang masih terus berlari sambil memandang ke bawah. Aku tidak mau terpeleset.
Kamarnya memang terbuka, tapi aku tertarik dengan Gwendoline yang tergeletak di lantai tepat di depan pintu kamarnya agak basah kuyup. Aku dengan panik memegang nadinya sambil mengingat pelajaran sains yang diajarkan Beagle padaku. Itu terasa agak bergerak, aku merasa lega. Kututup pintu kamarnya kembali. Masalahnya selain jejak kakiku, aku melihat yang lain. Itu tepat berhenti di depan pintu kamar sebelah Gwendoline, milik Sonia.
“Apa yang dilakukan itu di tempat ini?” pikirku.
Aku tak menggubris dulu, menggendong Gwendoline untuk kubawa ke kamarku. Aku berjalan menuruni koridor, tanpa khawatir seseorang salah paham. Karena suara – suara itu telah disamarkan dengan derasnya hujan dan kerasnya petir. Setelah sampai di kamar, kulilit tubuhnya dengan handuk, lalu kukunci kamar itu.
“Baik, mari kita mengurus gadis yang satu itu.”
Tidak akan kubiarkan gadis itu lari dariku. Setidaknya tidak dengan yang paling mencurigakan. Aku mendengar suara aneh. Aku mengintip dari salah satu tangga. Demi tuhan, itu bukanlah sesuatu hal yang ingin kulihat. Paling tidak, hal yang terakhir tertangkap oleh kedua mataku adalah kepala yang terseret. Sebagai faktanya, aku mengintai dengan hati – hari dari belakang.
Di balik derasnya hujan, aku melihat dia berbelok, menuju toko – toko kecil dengan pohon – pohon apel. Sambil menyeret sesuatu yang pasti sudah tidak hidup lagi. Hingga dia benar – benar berbelok, aku mengintip dari toilet yang menghibungkan pertigaan tempat lima toko kecil itu.
Dia pun berhenti, membawa sesuatu dengan amarah. Setidaknya aku tahu wanita yang membawa sebuah pemukul baseball, dari celemeknya dan dia tidak akan pernah asing dari kami meskipun hujan di tengah malam. Masalahnya adalah aku melihat ada tiga orang anak, yang ia sendiri juga bingung, dua dari mereka diikat di salah satu pohon apel dekat dengan dua toko yang masih belum ada penyewanya. Ia bahkan berusaha membangunkan mereka bertiga dengan menggerak – gerakan pipinya.
“Siapa? Mantel kuning itu?” kataku yang menyadari dari jauh.
Sementara dari belakang, aku melihat cahaya senter seakan membesar dari kantin. Aku panik dan tidak punya pilihan lain. Saat itu aku sudah siap mempertaruhkan apapun untuk menyeberang di garis penentuan.
Wanita itu menoleh penuh kepanikan setelah aku menjejakan langkahku mendekati area pandangnya.
Ia menaruh apa yang diseretnya tadi, lalu mendekat padaku dengan pemukul itu. Bahkan air sederas ini, tidak benar – benar menghapus bekas itu.
Kami saling menatap satu sama lain. Aku bisa mengerti ia mengenggam itu dengan penuh dendam. Malam itu, aku melihat wanita yang sudah kuanggap bibiku sendiri, yang kami membeli makanan darinya, wajahnya tanpa penyesalan. Namun aku tahu, matanya tidak benar – benar membenciku. Karena pemukul itu tidak diayunkan ke arahku.
Aku menoleh sejenak ke arah belakang, cahaya itu semakin melebar, mendekati jarak area pandang kami.
“Tetap tenang, dan tolonglah mereka,”
Ia dengan cepat meraihku lalu mendorongku ke arah ketiga gadis yang terikat itu. Aku menghindari mereka dan membentur tembok lumayan keras. Tapi cahaya itu menyinarinya.
“Hentikan!” kataku dengan lantang.
Tapi pistol terlanjur ditarik pelatuknya.
Dua constable berlari ke arahku sambil membawakan payung. Namun aku lebih mempedulikan gadis yang diikat di pohon.
“Gertrude! Rita! Sonia!” tanganku menggerak – gerakkan mereka.
Aku tidak bisa berhenti sebelum mereka tersadar. Namun karena hujan itu derasnya bukan main, aku dan dua constable itu melepaskan ikat mereka dan membawanya ke ruang unit kesehatan.
Sesampainya di sana, itu ternyata dikunci. Well, kewajaran yang cukup menyebalkan di saat genting. Salah seorang petugas mendobrak dengan sepatu bootnya.
Pintu itu terbuka dengan keras dan agak kasar.
Kami kemudian menurunkan di tempat tidur. Bahkan meskipun dalam keadaan sangat basah.
Aku khawatir dengan kondisi mereka yang sama sekali belum sadar.
Salah satu constable itu menggelengkan kepalanya saat memegang leher gadis rambut panjang itu. Sementara satunya lagi juga diam saja dan bingung. Aku masih berusaha agar gadis bermantel kuning ini bangun. Mantel kuning dengan tulisan cina warna merah di bagian depannya.
“Well, nak, bagaimana dengan nadinya?” tanya salah satu dari mereka.
“Demi tuhan! Masih ada, sir! Saya masih berusaha!” jelasku sambil terus menampar ringan pipi gadis bermantel kuning ini.
Mereka memandangku kasihan, tapi aku percaya dengan nilai sainsku. Aku tidak menggubrisnya dan masih mencoba membuatnya tersadar.
Dia berbicara dengan handy talky.
“Ini Constable Whitlock dan Constable Stoll, melaporkan bahwa pukul 10:27, telah menembak seseorang wanita tua membawa tongkat baseball sedang mengancam siswa, setidaknya empat mayat yang ditemukan,” tambahnya sambil menoleh sesaat ke arahku. “Kami butuh ambulan dan tim untuk segera mengevakuasi ke lokasi. Ini darurat 911!”
Sementara temannya yang dipanggil Constable Stoll sedang menelpon Sersan Mcpherson.
Usahaku menyadarkan gadis ini membuahkan hasil. Matanya yang pelan – pelan bangun. Keadaannya lemas dan mengigil kedinginan, aku pun panik lalu meminjam teko elektrik milik Beagle yang ia tinggalkan.
“Diulangi, di sini Constable Whitlock, kami melaporkan untuk mengkoreksi, situasi berubah, mayat menjadi tiga orang. Tolong secepatnya untuk memprioritaskan ambulan!" katanya dengan cepat nadanya agak senang.
Aku kembali pada gadis itu.
“Kau baik – baik saja?” Kataku sambil mengusapkan handuk pada wajahnya.
“Di-dingin, Mark.” Katanya dengan gemetar.
Aku tidak akan bertindak sebodoh itu melucuti bajunya yang basah mengingat kedua polisi itu ada di tempat, tapi setidaknya mereka mendengar yang barusan ia katakan.
Tanpa kata – kata, aku mengambil payung milik polisi itu dan berlari mengambil baju di kamarku. Kuputar kunci itu lalu knobnya. Aku agak lupa bahwa aku meminjam Gwendoline di kamarku.
“Ma-mark? Apa yang terjadi?” katanya agak lemas tapi juga terlihat gemetar.
Kepalaku mulai meledak dengan situasi ini. Aku punya beberapa handuk, lalu kubuka bajunya dengan paksa, kuusap dengan handuk tubuhnya, lalu kupaikan kemejaku yang agak tebal. Kemudian aku menggendong Gwendoline ke punggungku, membawa beberapa pakaian dan payung, kemudian berlari ke tempat sebelumnya setelah mengunci kembali kamarku.
Kedua polisi itu bingung saat aku membawanya. Setelah itu, aku menarik tirai dari gadis bermantel itu. Mereka ingin sekali menghentikanku, tapi di sisi lain aku tahu apa yang harusnya kulakukan. Kulakukan hal yang sama tanpa pikir panjang seperti yang kulakukan pada Gwendoline.
Air hangat itu sudah siap tidak lama dari lima menit. Aku menyuruh mereka untuk menghangatkan diri. Sementara Beagle dan Superintendant Mcpherson datang.
Salah satu constable itu menjelaskan.
Sementara Beagle memeriksa keadaan empat gadis yang berbaring. Aku hanya pasrah saja, ketika gadis itu tiba – tiba mengatakan hal itu.
“A-aku tidak terlibat! Aku bersumpah! Pembunuhan yang bahkan aku tidak melakukannya!”
***
ns 15.158.61.12da2