Saat – saat yang tidak pernah kulupakan. Sebuah kesenangan beberapa orang atas sebuah perayaan. Lagipula ini tidak setiap saat, orang – orang terlihat seantusias ini, well tidak buruk untuk sedikit pengorbanan kakiku yang diperban.
“Lihat ini Woofwoof! Kau harus mengakuinya!”
Kuperhatikan saja ia menggunakan hadiah itu mondar – mandir mengelilingi kami. Lagipula itu hanyalah sepeda.
“Untuk pemenang. Mark!”
“Terima kasih.”
Tanpa kupedulikan, aku meneguk jus jeruk satu liter penuh tanpa memberi jeda dan ampun.
“Roddy! Hati – hati, nak! Kau bisa menabrak biskuitnya!” Kata Bibi Edelweiss yang agak was – was setelah mereka melintas hampir menabraknya.
“Maaf, Bi!” Katanya yang masih tidak berhenti.
Bibi Edelweiss memeriahkan kemenangan kecil kami. Kami pesta kecil – kecilan. Tidak hanya atas kemenangan itu, tapi berlalunya ujian semester akhir. Mimpi buruk dari semua murid, tentu saja dipaksa belajar untuk membuktikan nilainya. Berliter – liter jus jeruk, cola, susu, dan biskuit. Setidaknya itu yang harus kugarisbawahi saat temanku yang agak gemuk menasehetiku.
“Secara pribadi… Uku tudak merasa… kuburutun wulu tiduk menang.” Temanku yang agak gendut itu melahap biskuit bersamaan.
“Uhuk… Uft-“
Aku agak iba melihatnya, tapi bicaralah saat kau tidak sedang makan. Itu sudah seperti tabu bagi setiap makhluk berbudaya.
“Telan dulu, Foscow!” Isabeau mengelus punggungnya. Ia membantunya menegukkan air agar tak tersedak. Seperti ibu yang menegur anaknya.
Kalau soal Foscow, jangan terlalu mengucapkan hal yang sensitif, seperti membahas mengenai fisik. Aku selalu ingin memanggilnya gembrot, tapi itu tidak mungkin. Begitu – begitu aku menghargainya. Kalau kutebak, kelak dia nanti akan menjadi sang gastronomis pengkritik makanan. Sesekali pernah aku meminta pendapat atas tempat mana saja yang punya makanan enak tapi tidak terlalu mahal. Bahkan ia paham setiap bahan yang dimakannya.
Isabeau, gadis berkulit sawo matang, rambutnya pun hitam. Kalau tidak salah, ia bukan berasal dari sini, tapi yang pasti ia bukan Afrika. Gadis yang ramah, tak banyak tuntutan, tapi agak khawatiran. Well, aku merasa ia kelak besok akan jadi perawat.
“Makanan yang terpenting dan tak ada duanya. Bukan begitu, Foscow?” Celoteh Rodriguez yang hampir sama busuknya dengan Roddy.
“Tidak ada makanan, tidak ada kehidupan, bukan?” katanya yang masih terlihat rakus pada kue yang tidak terlihat berkurang. Aku mulai berpikir, apakah Bibi Edelweiss tidak bangkrut?
Untuk seseorang seperti Foscow, kata – katanya sangat dalam. Well, itu sedikit mengingatkanku untuk tidak pilih – pilih makanan meskipun kenyataannya hampir tidak bisa dimakan. Membicarakan makanan membuat perutku bersuara. Agak mengagetkan setelah meneguk sekian banyak jus jeruk.
“Bi, aku pesan satu burger. Porsi biasa.”
“Oh tentu, tentu!”
Sementara itu aku melihat beberapa orang yang tidak dari kelasku. Well, selain Sonia yang memang dari awal sukanya ikut campur.
“Oh, kau kesini, Ephey?”
Aku selalu merasa dia ini gadis yang lebih dewasa dibanding yang lainnya. Matanya agak sipit, tapi penglihatannya lumayan tajam. Aku tahu tidak semua gadis lembut, tapi yang satu ini juga kuyakin sebenarnya tidak kasar. Hanya saja pembawaannya, itu bisa diartikan bahwa orang yang pemalu dan agak kurang jujur dengan perasaannya. Alias pemalu dan agak mudah sebal.
“Oh hey, Mark!” teman di sebelahnya menyentuh perbanku. “Kau tidak papa?”
Aku hanya mengangguk
“Agak perih, tapi perlahan mungkin…”
Winfred, bukan dari kelasku, tapi dia selalu bersama Ephey. Well, gadis dengan bando pink yang penyabar. Ia juga membantuku menerjemahkan maksud Ephey dengan sikap dinginnya.
Sementara Ephey malah buang muka.
Aku tidak akan menganggapnya insiden, melainkan kecelakaan kecil. Normalnya seingatku memang darahnya agak banyak. Tapi karena suasana Roddy yang menafsirkan di telingaku untuk terus jangan menyerah. Setidaknya James dan Darent juga datang. Meskipun berbeda kelas, kami semua tetap teman.
“Kau sebaiknya hati – hati,” Ephey yang memandangku dalam – dalam, nadanya merajuk, lalu bersama Winfred, bergerombol dengan Verdamant dan Pebble.
Kata – katanya itu sedikit mengingatkanku pada kejadian lalu. Bukan dari kelas kami, tapi setidaknya satu kelas, katanya telah dikeluarkan. Mereka hanya seperti kami, dari sisi belakang gedung, sesuatu yang kurang dihargai. Ini tidak seperti aku punya kenalan yang tiba – tiba lalu menaruh dendam. Mungkin lebih ke sikap waspada dan mencari petunjuk.
Sementara itu, Bibi Edelweiss menaruh pesananku.
“Kukira aku hanya pesan porsi normal, bi?”
“Ini bonus! Sudah jangan keluarkan omong kosongmu, dan makan yang banyak! Ahahaha!
Dia mendorong dan memaksaku untuk mengunci mulut ini selain menikmati hidangan yang diberikan. Tanpa berpikir lama lagi, langsung kusantap. Bahkan Foscow yang melihatku juga tidak sabar. Dengan tubuhnya yang buncit, ia mengacungkan tangannya.
Kemudian perlahan aku masih menikmati hidangan ini. Lalu kulihat di sekeliling….
Entah kenapa aku merasa lebih ringan.
“Ada apa, Mark? Kepalamu pusing?” tanya Beckey padaku yang tiba – tiba lewat.
“Oh, huh? Oh- tidak, tidak. Aku hanya melihat – lihat sekitar. Mereka ini meriah sekali, kan?”
“Well, itulah faktanya dan kukira… para tolol ini pantas mendapatkannya. Lagipula kita menang semuanya, dan si jangkung Roddy, juga puas dengan sepadanya itu? Ahahaha!” ia menepuk pundakku lalu pergi. “Sampai nanti.”
Seperti yang dikatakan Beckey, gadis yang sangat konyol bila bersama Verdamant, rambutnya pun cukup aneh, kuncirannya seperti sengaja mirip telinga Mickey Mouse. Tipe yang agak tomboy dan tak mau ambil pusing.
Tapi berbicara soal pusing, mungkin itu ada benarnya. Aku kira rasa ringan ini adalah pembawaan dari suasana meriah ini. Padahal sangat jelas, suara bersahutan mereka, agak sedikit terganggu bila mencari ketenangan.
Kunikmati lagi hingga separuhnya, aku melihat dari kejauhan saat memandang ke arah gedung depan. Mata yang memegang kebencian, dari lantai tiga, tepat memandang ke arahku? Atau mungkin ke arah mereka? Atau… apakah aku memang benar – benar melihatnya?
Saat suapan terakhir…
Aku kurendahkan pandanganku. Kukira memang benar, sang pemilik mata tajam tadi, sudah turun, lalu mengawasi kami dari balik jendela unit pelayanan kesehatan. Masalahnya adalah, bagaimana bisa secepat itu? Atau pandanganku saja yang agak kacau karena saat ini tubuhku sangat ringat sekali?
Beagle? Sedang apa dia? Dalam hatiku. Suara – suara terdengar agak abstrak. Semuanya seperti terdengar nyaring tapi lambat dan tiba – tiba bergabung tanpa aturan. Pandanganku terlalu kabur.
“Huerggh!”
Itulah jeritan terakhir yang kuingat terakhir, setelah sesuatu benda seperti dibanting.
Karena sesuatu, yang tentunya tidak kuingat, entah kenapa bab itu harus dilanjutkan.
Padahal inginya kututup… tanpa terus menulis….
***
ns 15.158.61.21da2