Keesokkan paginya, sekitar jam 8, Ezra sedang tertidur pulas di asramanya, tiba-tiba Al datang dan merusak suasana.
“Tok, tok, tok” suara pintu dikutuk.
“Ezr, Ezra bangun woiii!” sahut Al sambil mengetuk-ngetuk pintu. “Hei...anak malas bangun. Temen lu datang bawa sesuatu loh…”
Ezra yang tadi tidur dengan nyaman, menjadi terbangun karena suara bising yang dibuat oleh Al. Ezra pun terpaksa bangun dan membukakan pintu untuk Al.
“Woi...berisik amet sih. Gua lagi enak-enak tidur, jadi bangun dah.” batin Ezra sambil membukakan pintu untuk Al.
“Hah? Jam segini masih tidur? Gila kali loh,” ejek Al.
“Ihhhh, mau apa sih, pagi-pagi begini? Kita kan berangkat ke konsernya jam 12.”
tanya Ezra sambil mengacak-acak rambutnya.
“Iyah, gua tau. Nihh, gua bawain bubur favorit elo.” kata Al sambil memberikan bubur itu kepada Ezra.
“Ohhh, makasih. Tapi gua yakin elo ada maksud lain dateng kesini,” ucap Ezra. Al hanya tersenyum. “Jadi apa mau lo yang sebenarnya?”
“Gua cuma mau nanya tentang kemarin, soal Reika. Katanya lu tau alasan dia jadi begitu?” tanya Al.
“Yaelah, kan gua bilang, lu liat aja langsung.” batin Ezra.
“Tapikan, kemungkinan besar, cuma gua yang ikut. Yang lain sibuk dengan kuliahnya masing-masing. Jadi yah... karena gua doang yang ikut, gak papa lah kasih tau sedikit. Kan, biar gua bisa bantuin.” bujuk Al.
“Yaudah ayo masuk dulu. Ngomongnya didalem aja.” kata Ezra sambil mempersilahkan Al masuk.
Ezra dan Al sama-sama duduk di atas kasur.
“Gua makan yah buburnya.” kata Ezra sambil membuka styrofoam buburnya.
“Iyah, makan aja.” jawab Al. Ezra pun memakan buburnya dengan lahap.
“Nahhh, sekarang gua pengen nanya. Kenapa sih Reika jadi begitu?” tanya Al mulai serius.
“Gua gak tau bener atau enggak yah. Ini cuma menurut gua aja, kenapa sih Reika begitu.” jawab Ezra.
“Iyah, jadi menurut lu apa?” tanya Al penasaran.
“Menurut gua, dia itu di bully,” jawab Ezra tenang. Tapi tidak bagi Al, yang belum pernah merasakan apa itu di bully.
“Hah? Dibully, kenapa? Kenapa lu bisa perpikir begitu?” tanya Al.
“Kemungkinan terbesarnya sih itu. Karena tidak mudah bagi orang, untuk bisa mengubah sifatnya, secepat itu,” jawab Ezra sambil menikmati buburnya.“Yahhh, atau gak, stress.”
“Kenapa sih lo, dugaannya serem-serem amet,” protes Al.
“Lu punya dugaan lain?” tanya Ezra kesal.
“Mungkin ia lagi mengalami pubertas,” tebak Al.
“Bego lu.” batin Ezra.
“Yahhh, lagian dugaannya stress lah, di bully lah. Gua aja baru merasakan strees itu baru-baru ini. Pas SMA gua gak pernah ngerasain hal-hal itu.” kata Al.
“Yah elu,” kata Ezra dengan nada sedih, sambil memalingkan muka.
“Emang... lu pernah?” tanya Al. Ezra tidak menjawab. Ezra malah pergi untuk membuang styrofoam, bekas buburnya.
“Gua gak tau, lu pernah di bully. Kapan itu?” tanya Al.
“Udah lama kok. Pas gua masih SMP. Sebelum gua ketemu sama lu ama Satria.” jawabnya. Akhirnya Al mengetahui, alasan, kenapa Ezra menduga hal-hal itu. Karena Ezra sendiri sudah pernah merasakan, rasanya dibully dan stress. Hal yang tidak mungkin dirasakan oleh Al dan Satria saat kecil.
“Maaf, jika gua jadi membuat lu, mengingat-ngingat masa lalu.” kata Al yang merasa bersalah.
“Selow aja,” jawab Ezra sambil tersenyum.
“Yaudah, karena gua udah tau tentang dugaan lu itu, gua akan ngebantu lu, membuat sih Reika mau menjadi vokalis Melody Night.” kata Al bersemangat.
“Semangat amet pak?” canda Ezra.
“Iyah dong. Yaudah, itu doang yang pengen gua tanya. Gua sekarang pulang dan siap-siap dulu. Nanti jam 12, jangan lupa yah.” kata Al sambil membuka pintu.
“Iyah, iyah. Makasih yah buburnya.” kata Ezra sambil melambaikan tangannya.
Al pun pulang dari kamar Ezra.
“Hemmm, sekarang gua ngapain yah?” tanya Ezra pada dirinya. “Makan udah. Yaudah deh, gua olahraga aja. Dari pada tidur lagi.” jawabnya.
Bukan hanya sejak SMP ia dibully, tapi sejak SD. Alasannya sih karena Ezra tidak memiliki orang tua dan saat itu kondisi keuangan kakek dan nenek Ezra rendah. Walaupun sering dibully dan merasa stress, Ezra tidak pernah berkecil hati dan malah menjadikan itu motifasi untuknya. Sekarang lihatlah, Ezra sudah memiliki banyak teman. Karena sifat tak menyerahnya, ia banyak memenangkan kontes-kontes musik dan bahkan sekarang Ezra bisa masuk ke jurusan yang hebat. Dengan Ezra memenangkan kontes-kontes musik, ia bisa membantu kondisi keuangan kakek dan neneknya. Kita sebaliknya juga mencontoh perilaku Ezra. Jangan dengarkan orang lain dan teruslah berjuang menuju cita-citamu.
Setelah Ezra, Al, dan beberapa teman lainnya bersenang-senang di konser Akta, mereka memutuskan untuk pulang. Tempat parkiran Lapangan D Senayan,
“Wahhh, gila konsernya seru amet.” kata Satria sambil merenggangkan tangannya.
“Makasih yah Al udah ngajak gua ikut ke konser Akta.” seru salah satu teman sekosan Al, Danis.
“Iyah sama-sama. Ini semua berkat Putra.” jawab Al. Tak disangka Putra ada disana dan mendengar semua percakapan Ezra dan teman-temannya.
“Iyah lah.” jawab Putra yang ada di belakang mereka. Al yang menyadari, langsung berjalan menuju Putra.
“Ehh, Put. Kok lu disini? Kagak sama anggota Akta yang lain?” tanya Al.
“Gua kabur. Gua pengen ketemu lu ama temen-temen lu.” jawabannya.
“Yaampun, lu-lu Putra. Pemain bass di Akta. Boleh saya minta tanda tangannya?” tanya Kiki, salah satu teman sekosan Al, sambil mengeluarkan selembaran kertas dan pulpen dari tasnya.
“Boleh kok,” jawab Putra.
“Ini, silahkan. Oh yah, ngomong sama gua gak usah baku-baku amet. Pake lu, gua juga gak apa-apa.” kata Putra sambil mengembalikan selembaran kertas yang sudah tertulis tanda tangannya dan pulpen.
“Eh, Ezra yah? Lu kagak minta tanda tangan gua.” kata Putra menyombongkan diri.
“Sombong amet lu. Tapi enggak, terima kasih.” jawab Ezra.
“Awas lo, nanti nyesel baru tau.” kata Putra. “Ngomong-ngomong, lu udah ngenemuin vokalis buat band lu?”
“Belum,” jawab Ezra sedih.
“Tapi kalo lusa belum ketemu juga, nanti kita enggak bisa ngelatih lu dan band lu,” kata Putra cemas.
“Kalo itu, gua juga tau.” jawab Ezra.
“Maunya sih Reika. Tapi gak tau deh, bisa apa enggak.” jawab Al, menggantikan Ezra.
“HAH? Reika? Ngak mungkin. Kita aja udah sekian lama ngebujuk dia, tapi dianya kagak pernah mau. Mending yang lain aja, biar lusa kalian bisa tetap kami ajar” kata Putra.
“Enggak, gua kagak mau. Gua yakin bisa membuat Reika masuk ke band gua.” kata Ezra penuh percaya diri.
“Kalau Ezra sudah memutuskannya, tidak ada yang bisa menghentikannya. Dia tidak akan pernah menyerah,” kata Al menjelaskan. “Itulah yang gua suka pada Ezra.”
“Tapi kalau gak berhasil gimana? Lu punya rencana cadangan gak?” tanya Putra.
“Eeeee,”
“Astaga. Terus rencana lu apa besok? Ngedatengin dia. Terus memohon-mohon?” tanya Putra.
“Aaaaa, iyah,” jawab Ezra ragu-ragu.
“Yaampun, Ezra, Ezra maunya apa sih. Yaudah besok gua ikut. Kasih tau gua rencananya!” perintah Putra.
“Eh, kalian masih lama? Gua mau pulang nih.” keluh Satria yang sudah lelah.
“Yaudah, kalian pulang aja duluan. Nanti kita nyusul.” usir Al.
“Oke, kita pulang yah.” kata Kiki sambil pergi meninggal Ezra, Al, dan Putra, bersama Danis. Danis, Kiki, dan Satria pulang mendahului Ezra dan Al. Sementara Al, Ezra, dan Putra pergi ke kafe dekat situ .
“Silahkan, pesanannya.” kata pelayan disana, sambil memberikan pesanan Ezra dan yang lain.
“Terima kasih.” ujar mereka bertiga. Sang pelayan pergi, dan meraka memulai pembicaraannya.
“Jadi... apa rencana kalian, untuk besok?” tanya Putra sambil mengambil caramel macchiato miliknya.
“Besok sih kita berencana untuk dateng ke sekolah Reika, saat waktu makan siang.” jelas Ezra sambil menyendoki cheesecake yang ia pesan.
“Jadi sekitar jam 12 san?” tanya Putra.
“Mungkin, jam 11 aja kali yah. Gua jam 1 siang masih ada jam kuliah.” kata Al.
“Jadi apa rencana lu, untuk ngebujuk sih Reika?” tanya Putra lagi.
“Gak ada sih. Ngomong aja kayak biasa.” jawab Ezra
“Lu gila kali yah. Rencana cadangan kagak punya, rencananya juga ngawur. Maunya apa sih? Kagak bakalan mau dah dia.” kata Putra.
“Maunya sih, Reika masuk.” canda Al. Ezra merasa tersinggung.
“Tapi Ezra emang begitu kok. Walaupun enggak punya rencana, gua yakin dia berhasil. Ezra itu memiliki tekat yang sangat lah kuat. Jadi gua yakin dia bisa membujuk Reika untuk masuk ke Melody Night.” kata Al membela Ezra. Raut muka Ezra yang tadinya masam berubah jadi ceria.
“Ohh yah, abis ini lu langsung pulang atau ada acara lain dengan Akta?” tanya Ezra tiba-tiba.
“Ya enggak lah, mana bisa gua langsung pulang. Yang ada abis gua, dimarahin ama Rangga.” jawab Putra. “Emang kenapa?”
“Boleh gak, lu kasih tau Reyvan, tentang rencana kita besok.” pinta Ezra.
“Lah? Buat apa?” tanya Putra balik.
“Gua cuma mau Reyvan tau yang sebenarnya terjadi pada adiknya. Karena menurut ku, sebagai seorang kakak, setidaknya ia harus tau ada masalah apa pada adiknya di sekolah.” jawab Ezra.
“Oke... gua usahakan. Berarti besok kita ke sekolah Reika berempat?” tanya Putra.
“Pertanyaan lebih tepatnya, naik apa besok kita kesana?” tanya Al. “Kalau naik taksi, kayanya gua gak mampu deh. Transportasi pulang, pergi kita hari ini aja, udah ngabisin uang jajan gua bulan ini.” protes Al.
“Nanti gua tinggal minta ke Reyvan aja, untuk ngejemput kita.” jawab Putra.
“Emang kenapa sih Reyvan?” tanya Al.
“Dia itu anak orang kaya. Dia punya supir pribadi. Bahkan pas ulang tahun yang ke 19 yang kemarin, bapaknya ngasih dia mobil mewah,” jelas Putra yang merasa agak iri.
“Gua juga pernah kan di ajak kerumahnya. Dan itu rumahnya gila sih, besar banget.”
“Ohhh, jadi Reika itu anak orang kaya. Pantesan.” kata Ezra kagum.
“Kalau elu? Kan kalian sama-sama anggota Akta.” tanya Al mengejek.
“Ya... gak gitu juga dong. Kalau gua ngekos. Keluarga gua juga biasa-biasa aja.” jawab Putra.
“Jadi maksudnya, kita berangkat kesana, dianterin sama supirnya Reyka? tanya Al.
“Yah... itu juga kalau dia mau ikut.” jawab Putra.
“Gua yakin dia mau.” kata Ezra.
“Yakin amet bos.” tanya Putra.
Mereka pun melanjutkan perbincangan mereka hingga malam. Dan baru pulang sekitaran jam 12 malam.
ns 15.158.61.6da2