Hari ini cuacanya hujan. Padahal hari ini, Ezra berencana untuk pergi ke sekolah Reika. Sebelum mulai berlatih dengan Akta, Ezra dan Mirza berencana untuk pergi ke sekolah Reika terlebih dahulu. Karena hujannya mulai reda, Ezra segera memesan taksi dan tidak lupa membawa payung. Awalnya Ezra ingin berangkat ke sekolah Reika menggunakan ojol. Tapi karena cuaca buruk, akhirnya ia terpaksa menggunakan taksi. Karena hari sabtu dan minggu latihan bersama Akta, baru dimulai pukul 12. Jadi Ezra masih memiliki 4 jam sebelum latihan. Baru saja ia keluar dari kamarnya, tiba-tiba Mirza menelepon. Ezra segera mengangkatnya.
"Ezra, hari ini kita jadi ke sekolahan Reika kan?" tanya Mirza melalui telepon.
"Iyah, jadi kok."
"Bagus lah kalau begitu. Gua kira lu lupa."
"Cepetan, mau ngomong apa?"
"Hari ini kita ke sekolahannya, gua yang jemput."
"Hah! Naik apaan?"
"Gua bawa mobil kok. Nanti lu tinggal ikut aja."
"Gua gak tau lu bisa nyetir."
"Iyah, gua udah lama bisa kok."
"Yaudah, gua tunggu yah di...depan kampus?"
"Oke."
Setelah percakapan mereka, Ezra mematikan teleponnya dan membatalkan pesanan taksinya.
"Untung gua punya temen yang bisa nyetir. Bisa menghemat biaya lah."Kata Ezra sambil membatalkan pesanan taksi di handphonenya. Lalu berjalan kaki sebentar, menuju depan kampusnya.
Setelah 15 menit menunggu, akhirnya sampai juga Mirza menggunakan mobilnya.
“Ezr!” panggil Mirza di dalam mobil.
Ezra menoleh ke sumber suara dan di lihatnya Mirza mengendarai mobil. “Oh, Mir.” sahut Ezra.
"Ayo masuk! Keburu hujannya tambah lebat." seru Mirza.
"Iyah-iyah." Ezra segera masuk kedalaman mobil dan tidak lupa menutup payungnya.
"Maaf yah agak lama." kata Mirza sambil metancap gas dan menyetirnya menuju sekolah Reika.
"Iyah, gak apa-apa," kata Ezra. "Kapan lu belajar nyetir mobil?"
"Setahun yang lalu. Itu juga gara-gara terpaksa." jawab Mirza.
"Terpaksa? Kenapa?" tanya Ezra.
"Gara-gara adik gua itu. Pangen anterin kemana-mana." jawab Mirza.
"Oh lu punya adik. Berapa?" tanya Ezra penasaran.
"Dua. Perempuan semua," jawab Mirza. "Itu juga gara-gara orang tua gua sibuk."
"Bukanya pas kecil lu di titipin sama keluarga Farel?"
"Iyah, emang. Bareng sama adik-adik gua." jawab Mirza.
"Berarti kalian bertiga di titipin di rumah Farel?" tanya Ezra tidak percaya.
"Iyah. Makanya sampai sekarang gua sama keluarga, berhutang banyak sama keluarga Farel." jawab Mirza.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sekolahan. Mirza memarkir mobilnya dahulu sebelum mencari Sang Pelaku, bersama Ezra.
"Udah nih. Silakan turun." kata Mirza mempersiapkan Ezra turun
"Oke." Kata Ezra lalu turun dari mobil Mirza. Mirza pun juga begitu. Karena hujan Mirza dan Ezra cepat-cepat masuk ke gedung sekolahan.
"Aduh, basah semua kan baju gua." keluh Ezra.
"Namanya juga hujan. Yah basah lah." kata Mirza. "Jadi dimana kita bisa mencari anak itu?"
"Gua juga gak tau yah." jawab Ezra santai.
"Lah! Terus gimana ini, kalau lu gak tau anaknya dimana?" tanya Mirza tidak percaya.
"Itu mah gampang. Kita tinggal tanyakan ke anak-anak di sini." usul Ezra.
"Yaudah, lu duluan." tantang Mirza.
Ezra berjalan ke sekumpulan siswa-siswi yang sepertinya satu ekskul dengan Sang Pelaku.
"Permisi," sapa Ezra kepada sekumpulan siswa-siswi itu. "Bolehkah saya bertanya sesuatu?"
Setelah 5 menit bertanya dengan sekumpulan siswa-siswi itu, akhirnya Ezra mengetahui keberadaan Sang Pelaku.
"Terima kasih banyak." kata Ezra ramah sambil pergi menuju Mirza.
"Bagaimana? Sudah tau dimana keberadaan Sang Pelaku." tanya Mirza.
"Sudah. Sekarang ayo ikuti gua." Kata Ezra sambil menunjukan jalan ke tempat Sang Pelakub erada.
Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah ruangan khusus basket. Di sana terdapat banyak sekali siswa. Mirza saja sampai bingung.
"Ezr, lu tau yang mana Sang Pelaku?" tanya Mirza yang tampak kebingungan melihat seberapa banyak siswa di sini.
"Tau. Ikutin gua aja." kata Ezra yang tampak serius mencari Sang Pelaku di kumpulan siswa-siswi.
Setelah beberapa detik, Ezra akhirnya menemukan Sang Pelaku.
"Nah, itu dia," teriak Ezra sambil menunjuk seorang anak yang sedang duduk dipojokan bersama anak-anak lain.
"Ayo cepatan
“Ayo, cepetan Mir. Keburu orangnya kabur!” seru Ezra sambil berlari menuju anak itu.
“Tunggu, tunggu,” kata Mirza sambil mencegah Ezra menakuti anak-anak basket itu. “Lu mau nakutin mereka?” tanya Mirza. “Kagak usah lari. Itu malah akan menakuti Sang Pelaku. Mending jalan aja kayak biasa.” usul Mirza.
“Benar juga yak.” Kata Ezra yang baru memikirkannya.
Tidak jadi berlari, Ezra dan Mirza mendatangi Sang Pelaku dengan tenang. Saat sedang berjalan menuju Sang Pelaku dan teman-temannya.
“Ngomong-ngomong, yang mana Sang Pelaku?” tanya Mirza.
“Cowok di tengah itu, yang memakai jakat merah, putih.” jelas Ezra.
“Nanti biar gua aja yang ngomong ke dia. Biar tidak ada kesalah pahaman.” kata Mirza dengan tenang.
“Baikalah.” kata Ezra yang tidak tahu sebenarnya itu adalah ejekan.
Sesampainya mereka, Mirza memandang sang pelaku dengan pandangan jijik. Tapi berganti menjadi seyuman palsu. Supaya mereka tidak curiga.
“Hai, permisi,” sapa Mirza.
“Oh, yah ada apa?” tanya sang pelaku.
“Apakah kamu adalah anak yang bernama Irfan?” tanyanya kepada anak di depan mereka.
“Iyah, saya Irfan. Ada apa?” tanyanya penasaran.
“Kau pemain basket kan?”
“Iyah. Kenapa?”
“Aku dengar, kau adalah pemain basket yang hebat,”
“Iyah, saya memang lumayan hebat dalam bermain basket. Kenapa memang?” kata Irfan menyombongkan diri.
“Dasar anak yang sombong. Bagaimana Reika bisa berteman dengan anak ini?” tanya Mirza dalam hati.
“Ada yang kami ingin bahas dengan mu. Soal kompetisi basket.” kata Mirza berbohong.
“Waw! Benar kah? Baikalah, ayo” katanya bersemangat.
“Silahkan sebelah sini.” kata Mirza sambil menunjukan arah ke mana mereka akan tuju.
Irfan, Ezra, dan Mirza pergi meninggal ruangan basket tersebut dan pergi menuju ruangan kosong di sebelahnya.
“Baiklah, sekarang tentang kompetisi basketnya, kapan?” tanya Irfan.
“Boleh, tapi pertama-tama, aku mau bertanya dulu.” kata Mirza mulai serius.
“Iyah ada apa?” tanya Irfan.
“Ezra silahkan.” kata Mirza, mempersilahkan Ezra berbicara.
“Tapi tolong jangan buat dia ketakutan." bisik Mirza di kuping Ezra. Ezra menganggu.
"Apa yang telah kau lakukan kepada sahabat mu?" tanya Ezra lalu mendekat.
"Sahabat? Apa maksudnya?" tanya Irfan tidak mengerti.
Sementara Mirza menutup rapat-rapat pintu. Agar tidak seorang pun bisa keluar atau masuk.
"Saya tidak punya sahabat." Katanya berbohong.
"Tidak punya sahabat? Bagaimana dengan Reika?" tanya Ezra.
"Reika? Siapa itu?" tanya Irfan, pura-pura tidak mengerti. Tapi tubuhnya tidak bisa berbohong. Tangannya gemeta, karena takut.
"Dasar sahabat palsu," sengit Mirza.
"Oke, gua mau langsung ke intinya," kata Ezra mulai tidak sabar.
"Kenapa lu membuat berita bohong itu tentang Reika?" tanya Ezra tajam. Irfan terkejut.
"Apa-apa ini? Ku kira kalian akan membahas tentang turnamen basket. Tapi ternyata tidak. Saya akan pergi saja." kata Irfan mencoba untuk kabur.
"Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan," kata Ezra lalu memojokannya ke tembok.
"Jawab pertanyaan gua. Kenapa lu membuat berita bohong itu tentang Reika?" ulang Ezra.
"Bukannya Reika sahabat mu? " tanya Ezra.
"Kenapa saya harus menjawabnya? Ini kan bukan urusan kalian." sindir Irfan.
"Reika itu temen ki-"
"Biar gua aja yang urus." kata Mirza.
"Kalau lu kagak kasih tau apa alasannya, gua akan langsung lapor ke BK." ancam Mirza.
"Emang anda punya bukti apa?" tantang Irfan. Mirza memperlihatkan handphonenya yang terdapat sebuah sebuah berita yaitu.
'Di balik Senyuman Kapten Tim Basket.'
Yang tertulis di website sekolah. Tempat di mana Irfan, menyebarkan berita bohong itu. Membuat Irfan terkejut setengah mati.
“Lu bisa mendapatkan posisi kapten karena curang kan?” tanya Mirza lalu tersenyum sinis. “Lalu bagaimana yah, kalau orang-orang tau kau hanyalah seorang penipu? Minimal kau akan di jauhi teman-teman. Atau mungkin kau akan di keluarkan dari sekolah. Entalah. Tapi yang pasti kehidupan SMA mu sudah berakhir.” ketua Mirza.
"Ba-bagaimana ka-kau bisa tau? Dan ba-bagaimana kau bisa masuk ke website sekolah? Ku kira hanya murid-murid sekolah ini saja yang bisa." kata Irfan terbata-bata.
"Lu kagak perlu tau,” sinis Mirza. “Sekarang jawab pertanyaan kami. Jika tidak, gua akan sebarkan berita ini ke seluruh sekolah. Dan semua orang akan tahu, kalau lu hanyalah seorang penipu.” ancam Mirza.
“Baiklah, gua mengaku. Gua yang nyebari berita hoax itu.” jawab Irfan mengaku.
“Kenapa kau tega melakukannya? Emang Reika salah apa?” tanya Ezra.
“Ini cara gua balas dendam.” jawab Irfan.
“Balas dendam? Kenapa?” tanya Ezra.
“Lu kagak mungkin ngerti. Tapi gara-gara dia sahabat terbaik gua MATI!” seru Irfan naik piitam. “Dia yang pertamanya merebut dia dari gua. Lalu, gara-gara dia juga sahabat gua harus menghembuskan nafas terakhirnya.” jelas Irfan. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Kenapa lu seyakin itu, kalau Reika yang membunuh Ubai?” tanya Ezra sambil memukul tembok sebelahnya. Irfan terkejud mengetahui bahwa Ezra juga kenal dengan Ubai.
“Tapi apakah lu pernah tanya kepada Reika, apa yang sebenarnya terjadi pada Ubai? Apakah lu pernah tanya, bagaimana perasaan Reika saat itu? Apakah lu pernah tanya, usaha apa yang di lakukan Reika saat Ubai menghembuskan nafas terakhirnya? Sebenarnya lu kagak pernah bertanya apapun kan ke Reika. Lu langsung menuduhnya begitu saja, tanpa melihat fakta.” kata Ezra kesal.
“Lu kenal Ubai?” tanya Irfan.
“Iyah gua kenal.” jawab Ezra. “Pertanyaannya, lu tau kagak apa yang sebenarnya terjadi sebelum Ubai menghembuskan nafas terakhirnya?” tanya Ezra.
“Enggak, gua gak tau.” jawab Irfan dengan suara pelan.
“Terus bagaimana lu bisa membuat berita itu, tanpa mengetahui faktanya?” tanya Ezra. Irfan tidak menjawab. Ia begitu malu dengan perbuatannya, sampai-sampai tidak tahu harus menjawab apa.
“Sekarang denger yah, gua gak mau menjadi seperti lu. Jadi gua gak akan menyebarkan berita ini di website sekolah lu,” mendengar itu, mata Irfan yang berkaca-kaca berubah menjadi berbinar.
“Tapi lu juga harus hapus berita palsu lu itu. Dan jelaskan kepada teman-teman lu, kalau Reika bukanlah seorang pembunuh.” tambah Mirza.
“Ba-bagaimana gua melakukannya?” tanya Irfan.
“Itu masalah lu. Tapi kalau lu kagak bisa menepati janjinya, gau dengan mudah akan menyebar berita ini.” ancam Mirza.
“Mengerti?” tanya Mirza. Irfan mengangguk, mengerti.
“Bagus. Sekarang kami akan pergi,” kata Mirza lalu beranjak pergi. “Jangan lu lupain janji lu. Ayo Ezr, kita pulang.” ajak Mirza lalu membuka pintu dan keluar.
Ezra mengikuti Mirza dari belakang.
“Mir, tunggu!” seru Ezra di belakangnya.
Mirza menoleh. “Hemm, apa?” tanya Mirza lalu menghentikan langkahnya.
“Kok lu bisa tau, anak itu mendapatkan posisi kapten dengan curang? Dan bagaimana lu bisa tau dia menyebarkan beritanya di website itu?” tanya Ezra.
“Gua punya temen yang sekolahnya di sini. Dan dari dia juga, gua tau kalau Reika itu di bully dan di fitnah sama teman-teman.” jawab Mirza.
“Ohh, jadi yang tau itu temen lu. Lu hanya di kasih tau.” tebak Ezra.
“Yahh. Kurang lebih begitu.” kata Mirza.
“Berarti lu udah tau dong siapa Sang Pelaku?” tanya Ezra.
“Udah.” jawab Mirza singkat.
“Kalau begitu mah, kenapa lu nunggu gua? Lu sendiri kan bisa.“ tanya Ezra.
“Kalau sendiri gua gak berani. Gua masih butuh orang untuk nemenin gua.” jawab Mirza.
“Bererti gua hanya sebagai peneman saja?” tanya Ezra.“Tapi gak apa-apa lah. Kalau enggak mungkin interogasinya belum selesai-selesai." kata Ezra. Mirza tersenyum. Ia juga senang masalah Reika sudah di atasi. Jadi sekarang mereka hanya tinggal fokus pada festival musik yang sebulan lagi akan di di adakan.
Sebelum keluar dari gedung sekolah tersebut, tiba-tiba dari kejauhan Mirza menyapa seseorang, yang tampak tidak asing bagi Ezra.
“Syafa! Hai.” pada Mirza kepada seorang remaja perempuan di depannya.
Yang tidak lain adalah teman Mirza, yang memberikan semua informasi tentang Irfan.
“Kak Mirza?” tanya Shafa tidak percaya. “Ngapain kakak di sini? Kakak udah menangkap pelakunya?”
“Hah? Pelakunya? Apakah dia juga tau?” tanya Ezra dalam hati.
“Iyah udah.” jawab Mirza.
“Permisi, siapa kau? Dan bagaimana kau tau tentang itu.” tanya Ezra.
“Loh, kakak lupa siapa aku?” tanya Syafa lalu mengambil kaca matanya dari dalam tas dan memakainya. Sesaat Ezra perpikir dan akhinya ia sadar siapa perempuan itu.
“Kamu anak yang kemaren yah? Yang ngasih informasi tentang Ubai.” tebak Ezra.
Syafa tersenyum dan mengangguk. Ezra terkejud.
“Ezra perkenalkan ini temen gua, Syafa,” kata Mirza memperkenalkan Sayafa. Syafa tersenyum dan melambaikan tangannya. “Dia adalah orang yang memberikan semua informasi tentang Irfan ke gua.” lanjutnya.
“Ohhh, ternyata kamu.” kata Ezra.
“Salam kenal kak.” sapa Syafa.
“Syafa, ini temen gua, Ezra,” kata Mirza. “Yang ngebujuk gua untuk masuk ke bandnya.”
“Oh, itu kakak orangnya?” tanya Syafa.
“Farel juga kenal sama dia?” tanya Ezra pada Mirza.
“Enggak. Farel kagak tau.” jawab Mirza.
“Terus kok lu bisa kenal sama dia Mir?“ tanya Ezra.
“Orang tua gua sama orang tua dia saling kenal. Dan sejak kecil kami suka saling pertamu.” jelas Mirza.
“Ohhh.” kata Ezra mengerti.
“Yasudah kalau begitu. Saya harus kembali ke ruang drama. Kalau tidak saya akan dimarahi.” kata Syafa.
“Oh, yaudah, ati-ati yah.” kata Mirza sambil melambaikan tangan.
Lalu tidak lama kemudian, Syafa sudah berada jauh di depan.
“Ayo kita pulang. Keburu hujannya dateng lagi.” ajak Mirza lalu melanjutkan perjalannya ke parkiran.
“Cie, cie Mir.” goda Ezra.
“Dia itu cuma TEMEN.” kata Mirza, memperjelas kalimatnya.
“Hemm, terserah lu aja deh.” kata Ezra.264Please respect copyright.PENANAPOBxGRrVMl