Sudah tiga hari, Farel dan Mirza tidak berbicara kepada satu sama lain. Biasanya mereka itu sangat dekat. Tapi beberapa hari ini meraka malah seperti menjauhi satu sama lain. Teman-teman sekampus mereka pun sampai bingung dengan perilaku mereka berdua yang tidak seperti biasanya. Raka, salah satu kakak kelas di kampus Farel dan juga kakak kelas di SMA mereka dulu, mencoba berbicara dengan Farel, yang tiga hari ini tidak begitu ceriya. Di kantin, Farel sedang duduk sendirian di pojokan. Biasanya Farel selalu makan bersama Mirza. Tapi karena hubungan mereka beberapa hari ini tidak terlalu baik, Farel jadinya makan sendiri. Raka yang melihat Farel sendirian, menghampiri dan menyapanya dengan ramah.
"Haii Farel, udah lama tidak berjumpa." sapa Raka sambil menduduki kursi kosong sebelah Farel.
"Oh, yah, hai juga." balas Farel lalu berhenti memainkan makanannya karena kedatangan Raka.
"Lu kenapa Rel? Sakit? Kayanya gak semangat banget hari ini." tanya Raka, khawatir kepada keadaan Farel.
"Enggak kok. Saya gak apa-apa. Tapi makasih udah mengkhawatirkan saya." jawab Farel.
"Ammm, ini emang bukan urusan gue sih. Tapiii, gua agak penasaran. Lu ama Mirza ke mana pas hari minggu kemarin?" tanya Raka sambil mengaduk-aduk mie ayam, yang ia pesan tadi.
Farel yang mendengar pertanyaan Raka tersebut, terkejut. Karena ia kira pertanyaan Raka akan tentang hubungannya dengan Mirza saat ini. Tapi ternyata tidak. Raka malah menanyakan hal lain. Raka adalah anak yang cerdas, ia tahu jika ia bertanya tentang hubungan Farel dan Mirza saat ini, Farel tidak akan menjawabnya atau hanya akan mempersedih perasaan Farel.
"Aaaaa, ke restoran cepat saji dekat kantor polisi itu,” jawab Farel. “Kenapa emang?" tanya Farel yang sangat penasaran dengan apa yang dimaksud dengan pertanyaan Raka tadi.
"Ohhh, lu cuma berduaan? Atau ada orang lain yang ikut sama kalian?"
"Ada dua orang lain sih yang ikut." jawab Farel yang agak ragu harus menjawab pertanyan Raka tadi atau tidak.
"Siapa itu?" tanya Raka penasaran.
"Aaaaa, kakak masih inget Kak Zidan gak?"
"Kak Zidan? Ohhh, orang yang ikut ekskul musik sama lu yah pas di SMA." tebak Raka.
"Yah itu Sama satu orang lagi."
"Siapa itu?" tanya Raka dengan nada agak memaksa.
"Emmmm, itu,”
“Siapa? Tolong jawab!” paksa Raka sambil menatap tajam ke arah Farel.
“Mahasiswa tahun pertama, jurusan arsitektur dan lingkungan dari kampus sebelah."
Farel sebenarnya tidak ingin melibatkan Ezra dan Zidan dalam masalah pribadinya. Tapi karena Raka sangat memaksa, ia tidak punya pilihan lain selain menjawabnya.
"Ohhh begitu yah. Oke, terima kasih." kata Raka sambil mencoba memakan mie ayamnya yang sebenarnya masih panas. Membuatnya harus terus-menerus meniup mie ayamnya sampai dingin.
"Hanya itu saja? Tidak ada pertanyaan tentang kenapa saya sama Mirza jadi tidak dekat begini?" tanya Farel tidak percaya.
“Jurusan arsitektur dan lingkungan? Keren amet.” kata Raka dalam hati. Membuatnya tidak mendengar pertanyaan Farel yang tadi.
“Kak?” tanya Farel.
"Ohh, yah. Maaf. Tidak, hanya itu saja,” jawab Raka lalu melihat makanan Farel yang mulai lodoh. “Ayo cepat dimana baksonya. Nanti keburu dingin loh." tambahnya.
Farel memandang Raka dengan pandangan tidak percaya. Tapi setelah beberapa detik, ia akhirnya mengetahui kenapa Raka hanya menanyakan hal-hal itu saja.
"Kak Rak-"," Udahan dulu yah. Aku mau belajar dulu. Sebentar lagi aku ada ujian." kata Raka yang memotong pembicaraan Farel. Lalu meninggalkannya.
"Tunggu, emang ada ujian apa? Kan, kita baru saja masuk yah." tanya Farel dalam hati. Yang Sebenarnya masih tercengang dengan kecepatan makan Raka. Tak lama kemudian, Farel baru menyadari kebohongan Raka itu. Memang benar kata Farel, tidak ada ujian. Raka hanya mengatakan hal itu supaya ia bisa pergi meninggalkan Farel. Sebenarnya Raka ingin segera menghubungi Ezra dan menanyakan tentang kenapa Farel dan Mirza sampai bisa bertengkar seperti ini. Ia pun pergi ke halaman depan kampus nya dan mencoba mencari-cari nomor handphone Zidan. Tak lama kemudian,
"Nahh, nih dia nomer hp nya sih Zidan.“ katanya sambil mencoba menelepon Zidan. Tanpa memikirkan apakah Zidan ada jam mata kuliah atau tidak.
"Diapain coba itu adek kelas gua ama dia?" tanya Raka pada dirinya sendiri.
Raka dan Zidan dulu adalah musuh bebuyutan di SMA jika soal tentang ketenaran. Walaupun dianggap galak, Zidan adalah salah satu siswa yang populer disekolahnya dulu. Zidan terkenal karena kehebatannya dalam memainkan alat musik dan karena anak dari chef yang terkenal. Kemampuannya dalam memasakkan pun tak bisa dianggap remeh. Ia selalu menjuarai kompetensi memasak di sekolahnya, semenjak SMP. Saat kelas 11, Zidan juga pernah menjabat sebagai ketua osis. Sedangkan Raka terkenal karena mukanya yang ganteng. Tidak hanya mukanya yang ganteng, dalam hal akademik ia selalu menepati urutan 5 keatas. Raka juga sangat pintar dalam permain basket. Ia selalu menjadi kapten tim basket saat di SMA. Banyak kaum hawa dari SMA nya, bahkan dari luar SMA nya, yang tertarik padanya. Tapi ia selalu menolak mereka semua. Alasannya sih karena ia masih ingin menikmati masa-masa SMA, sampai sekarang pun masih begitu. Tapi berbeda dengan Zidan, Raka tidak suka menyusahkan dirinya, seperti menjabat sebagai ketua osis. Ia lebih memilih untuk meningkatkan kehebatan dalam passionnya yaitu basket. Berbeda juga dengan Zidan, Raka memiliki hati yang lembut. Ia sangat menyayangi adik-adik kelasnya dan akan membela mereka jika mereka dalam masalah. Karena sama-sama siswa yang populer, mereka selalu saja bertengkar tentang siapa yang paling populer di antara mereka.
Setelah beberapa kali Raka menelepon Zidan dan tidak dijawab, akhirnya dijawab juga oleh Zidan. Saat Raka baru saja meletakkan handphone di telinganya, tiba-tiba Zidan meneriakinya dan membuat telinga Raka pengang.
"Woii!! Ngapain lu telpon-telpon gua dari tadi, HAH!“ bentak Zidan dalam telepon. “Lu tau gak, gua hampir di marahin sama dosen gua tadi."
"Kan hampir. Belum dimarahin kan?" ngeles Raka.
"Dasar lo, ganggu aja. Gua harus sampai berbohong dulu ke dosen gua. Kalau gua mau ke toilet. Padahal sih cuma mau ngangkat telepon dari lu.,” jelas Zidan. “Sekarang napa lu telpon-telpon gua HAH!" kata Zidan yang mulai emosi.
"Lu apain si Mirza dan Farel?" tanya Raka yang tiba-tiba jiga mengencangkan suaranya.
"Lah? Emangnya kenapa mereka? Belum baikan? Ehh, maksudnya-" kata Zidan keceplosan.
"Tuh kan bener. Lu yang ngebuat mereka berantem. Sini lo tanggung jawab!" bentak Raka, membuat orang-orang di sekeliling nya menoleh ke Raka.
"Bukan udah 3 hari. Masa belum baikan-baikan?"
"Lu kira gampang apa, baikan ke orang begitu doang?" tanya Raka.
"Jangan salahin gua doang dong, Ezra kan juga ikutan," ujar Zidan yang malah menyalahkan orang lain.
"Lu jangan nyalain orang lain deh. Gua yakin, ini semua perbuatan lo kan?"
"Terus kenapa emang? Lu mau ngapain?" tantang Zidan yang sama sekali tidak takut dengan apa yang akan diancam Raka.
"Lu kesini, perbaiki persahabatan mereka, atau tidak-,"
"Atau tidak apa hah? Lu mau ngapa-,"
Belum selesai Zidan berbicara, Raka sudah mematikan telepon nya. Raka tahu Zidan tidak ingin bertanggung jawab atas apa yang ia perbuatan kepada persahabatan Farel dan Mirza. Itu mengapa, Raka akan mendatangi nya langsung, dan meminta penjelasan dari nya secara langsung. Raka berencana mendatanginya setelah jam pelajarannya yang selanjutnya selesai. Raka langsung pergi menuju kelas selanjutnya, dan bersiap-siap untuk mata pelajaran nya selanjutnya.
Disisi lain, Zidan yang sama sekali tidak merasa bersalah, keluar dari toilet dan kemudian kembali ke kelas nya. Di tengah perjalanan menuju kelas, Zidan hanya mengoceh dan mengomel-ngomel, karena perbuatan Raka tadi yang hampir membuat nya dimarahi oleh dosen yang mengajar. Tapi karena hal itu, Zidan jadi tidak fokus dalam berjalan. Zidan menabrak seseorang di depannya, yang ternyata orang itu adalah Ezra yang sedang membawa setumpukkan buku.
"Aduhhh!" gumam Ezra yang terjatuh ke lantai karena tertabrak oleh Zidan.
"Woii, hati-hati napa jalannya! Sakit tau," keluh Zidan yang mencoba untuk berdiri. Saat Zidan akhirnya menyadari siapa orang yang ia tabrak, ia terkejut.
"Lah, Ezra? Lu ngapain?" tanya Zidan sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Ezra berdiri.
"Gua abis dari perpus,” jawab Ezra sambil mencoba meraih tangan Zidan dan berdiri. “Pertanyaannya, lu abis dari mana? Bukannya lu masih ada mata kuliah?" tanya Ezra.
“Aaaaa, gua abis dari toilet.” Jawabnya.
“Ohh, gitu. Ngomong-ngomong, kapan kita mau ngecek keadaan Farel sama Mirza? Katanya kemarin, tapi kok gak jadi?” tanya Ezra sambil mengambil buku-buku nya yang berserakkan di lantai.
“Aaaaa, sebaiknya jangan dulu.” jawab Zidan dengan nada yang agak gugup.
“Lah kenapa?“ tanya Ezra.
“Aaaaaa, eh lihat deh jam,” kata Zidan mencoba mengalihkan pembicaraan sambil melihat jam dinding di sebelahnya. “Udah jam segini. Gua sebaiknya kembali ke kelas. Nanti gua malah kena marah sama dosen gua.” Zidan berjalan pergi, meninggal Ezra yang masih kesusahan membereskan buku-buku yang berserakkan di lantai. Zidan tidak ingin memberi tahu kebenarannya tentang keadaan Farel dan Mirza. Karena ia takut, Ezra akan malah memarahinya. Zidan berencana untuk pulang lebih awal. Supaya, jika benar perasaannya tentang Raka yang akan datang kemari, tidak terjadi. Jadi setelah jam mata kuliahnya yang ini selesai, ia akan langsung pulang. Dan izin ke dosennya kalau jam mata pelajarannya selanjutnya, ia tidak akan hadir. Dan langsung pulang ke kos-kosannya. Tapi sayangnya rencana tersebut tidak akan berhasil. Raka sudah mengetahui lebih dulu rencana tersebut. Tapi kerena tidak mengetahui di mana Zidan tinggal dan teleponnya gak di angkat-angkat, jadi Raka berencana untuk bertemu dengan Ezra saja.
"Ehh, kayaknya gak mungkin deh gua nyariin sih Zidan. Pasti dia udah sembunyi duluan. Mending gua cari anak yang namanyaaaa-. Emmm, siapa yah tadi?" kata Raka sambil mencoba mengingat-ngigat nama anak termasuk.
"Ohhh yah, Mahardika Ezra yah. Yaudah nanti gua cari dia aja deh." Katanya, berbicara dengan diri sendiri.
ns 15.158.61.7da2