"Oh ya, ngomong-ngomong, nama mu siapa? Dari tadi kita mengobrol, tapi aku belum tau namamu.”
"Ohhh yah, lupa. Namaku Ezra, Mahardika Ezra. Salam kenal. Namamu siapa?"
"Ezra?“ sesaat Raka terdiam dan perpikir. “Ohhhhh, kamu yang membuat adek kelas gua jadi berantem yah?" kata Raka yang tiba-tiba mengubah nada berbicara.
"Adek kelas? Siapa?" Awalnya Ezra tidak menyadarinya, tapi setelah beberapa detik berpikir. Ezra akhirnya mengerti apa yang dimaksud oleh Raka tadi.
"A-apa jangan-jangan, Farel dan Mirza?" tanya Ezra.
"Nah tuh tau. Kau apain emang mereka kemarin minggu, HAH!" bentak Raka yang tiba-tiba naik pitam.
"Ehh, pelan-pelan bicara nya. Nanti kamu jadi ngeganggu orang lain. Kalau mau bicara, didalam aja. Biar enggak ngeganggu orang lain." kata Ezra sambil mengangkut buku-buku yang ada diluar, kedalaman.
Ezra dan Raka pun masuk ke dalam dan melanjutkan pembicaraan nya.
"Kita udah didalam sekarang. Sekarang jawab pertanyaan gua! Lu apain mereka kemarin? "tanya Raka sambil mendekat mukanya ke muka Ezra. Mencoba membuat Ezra merasa gugup. Tapi itu tidak mempan, Ezra tidak merasa gugup sedikit pun.
"Hah, dengar yah. Gua kagak melakukan apa pun kepada adek kelas mu itu yang ber-har-ga." jawab nya dengan nada dingin sambil menekan kata-katanya. Ezra paling tidak suka di tuduh oleh orang lain.
"Terus kalau lu tidak melakukan apa pun. Kenapa hubungan mereka menjadi rentang begitu?" tanya Raka membentak Ezra.
“Terus gua harus tau gitu." bentak Ezra, tidak ingin kalah.
"Aduhhh, kenapa gua sih yang jadi di tuduh. Ini kan semua salah Zidan." keluh Ezra di dalam hati.
"Gua denger dari Farel langsung. Kalau sebelum mereka marahan, pas hari minggu, mereka sempat ketemu sama lu ama Zidan." jelas Raka.
"Ohhh, jadi lu kenal Zidan yah?” tanya Ezra. Saat itu, bukannya malah merasa tertekan, Ezra malah tersenyum. “Yah benar. Sebelum mereka marahan, mereka memang sempat ketemu sama kita pas hari minggu nya."
"Nah artinya, Mirza dan Farel marahan itu salah kalian." batin Raka sambil menghentakkan tangannya keatas meja.
"Nuduh aja terus,” kata Ezra yang mulai kesal. “Emang lu punya bukti dari mana, gua juga ikut-ikutan dalam masalah ini?"
"Jadiii, maksud lu, Farel dan Mirza marahan gara-gara Zidan?"
Ezra tidak menjawab, ia hanya memandang Raka dengan pandangan tajam. Yang sebenarnya bermaksud, setuju dengan pernyataan Raka barusan.
"Yaaampun, berarti emang bener. Ini semua salah sih muka tengil itu,” kata Raka mengerti. “Maaf ya, udah nyalahin elu dari tadi." Mimik wajah Raka yang marah menjadi terlihat bersalah.Raka merasa sangat bersalah karena sudah menyalahkan orang yang bahkan ia belum kenal dengan baik.
"Hah, (Suara helaan nafas) yaudah lah, kagak papa,” kata Ezra. “Oh yah, ngomong-ngomong tadi gua sudah memperkenalkan diri. Sekarang gantian dong." lanjutnya, yang sudah melupakan tentang masalah yang tadi.
"Aaaa, oh yah. Nama gua Abimana Raka Zabian. Lu bisa manggil gua Raka. Gua mahasiswa tahun kedua, fakultas hukum. Salam kenal juga, maaf telat yah."
"Tahun kedua? Fakultas hukum? Waw, hebat banget. Universitas di UI lagi. Luar biasa,“ kata Ezra sambil menepuk tangan nya tandanya ia merasa kagum. “Berarti gua harus manggil lu kakak dong?" tanyanya bercanda.
"Hahaha, gak usah lah. Panggil lu, gua juga gak papa,” kata Raka. “Tapi malahan yang hebat tuh, elu. Lu bisa move on dari kejadian tadi nya cepet banget. Padahal tadi gua udah nyalahin lu berkali-kali. Sorry yah."
"Iyah-iyah, slow aja. Gapapa kok."
Raka merasa terharu mendengar ucapan Ezra. Ia baru pertama kali bertemu dengan orang yang sangat pemaaf seperti dirinya. Tapi ia tetap merasa penasaran, tentang kejadian apa yang terjadi kepada Farel dan Mirza hari minggu kemarin.
“Aduhhh, dasar sih Zidan itu. Kok bisa yah, dulu dia sampai-sampai diangkat menjadi ketua osis? Apa sekolah gua dulu udah pasrah yah. Jadi mengangkat Zidan menjadi ketua osis?“
“HAH! Zidan pernah jadi ketua osis? Gak percaya gua.”
“Iyah kan. Gua juga ngira itu aneh. Kok bisa sampai-sampai dia yang diangkat yah?” tanya Raka sambil mengelus-ngelus dagunya.
"Aaaaa, maaf nih, kalau boleh gua tanya?“ tanya Raka. Mimik mukanya yang senang menjadi serius lagi. “Sebenarnya apa sih yang sebenarnya terjadi kemarin minggu itu? Apakah benar ini semua salah sih Zidan itu?"
"Gua kurang yakin juga sih. Tapi yang pasti, pas gua sama Farel ngedatengin Mirza ama Zidan. Mirza tuh udah marah-marah,” jawab Ezra yang sebenarnya juga kurang yakin.
"Marah-marah kenapa? Tentang apa? "
"Kayanya sih tentang, Farel yang keluar band cuma gara-gara Mirza keluar."
"Band? Band apa? Emang kenapa tiba tiba ngomongin tentang band?" tanya Raka yang sangat penasaran.
"Gua sama Zidan membuat band," Belum selesai Ezra berbicara, tiba-tiba sudah dipotong oleh Raka. "Buat apa?"
"Tunggu dulu dong. Ini gua juga pengen cerita," Kata Ezra yang mulai tidak tahan dengan rasa ingin tahunya Raka yang berlebihan.
"Iyah-iyah, maaf. Silahkan dilanjutkan. Gua diam." katanya sambil berpura-pura mengunci mulutnya.
"Hah, bulan depan, kampus gua ngadain festival musik. Jadi gua berencana membuat sebuah grup band, bersama dengan anggota pertama gua, Zidan. Tapi karena tidak bisa hanya berdua, kami mulai mencari anggota lain. Nah saat itu, Zidan menyarankan gua untuk mengajak Farel dan Mirza, yang katanya hebat dalam memainkan musik,”
“Tunggu, tunggu, tunggu! Emang boleh, ngajak orang lain yang berbeda kampus sama lu?”
“Boleh kali,” jawab Ezra tidak yakin.
“Lahhh? Gimana sih, nanti kalau gak boleh gimana?”
“Ehh, lu mau gua lanjutkan ceritain gak? Atau gak usah nih?” ancam Raka.
“Iyah-iyah, silahkan dilanjutkan.” kata Rak yang kembali diam.
“Nah pas hari minggu kemarin gua ngajak mereka ketemuan. Awalnya sih keadaannya masih baik-baik aja. Tapi pas gua tanya soal mereka mau gabung ke band gua, Mirza malah marah,”
“Ohhh yah, kenapa?” tanya Raka.
“Emmmm, gua kurang begitu tau sih. Pokonya intinya di nolak masuk ke band gua.” katanya berbohong.
Ezra tidak ingin Raka tahu kejadian sebenarnya kemarin. Karena tidak ingin membuat permasalahannya menjadi panjang antara mereka berdua.
“Terus kok mereka bisa jadi marahan begitu?”
“Emmm, maaf tapi gua gak boleh kasih tau detail nya. Tapi sih intinya mereka berantem gara-gara berbeda pendapat. Kalau lu masih mau tau detail nya. Bisa tanya langsung ke Farel atau Mirza.”
“Mana bisa nanyanya ke mereka. Yang ada malah mereka tambah sedih,” ujar Raka.”Terusss, gimana dong mereka? Masa kita diammin aja.”
Ezra tidak menjawab, ia malah mengalihkan pandangan nya ke arah lain.
“Kan lu butuh mereka bergabung sama band lu kan?” tanya Raka.
Lagi-lagi Ezra tidak menjawab, Raka mulain merasa kesal dengan sifat Ezra yang seperti itu.
“Bantuin gua!” batin Raka sambil menghentakkan tangannya ke meja.
“Ngapain?” tanya Ezra bingung.
“Bantuin gua memperbaiki hubungan mereka,” paksa Raka. “Gua gak tahan melihat mereka seperti itu.”
“Oke, gua bantuin. Tapi kita juga harus ngajak Zidan. Biar dia minta maaf juga sama sih Mirza.” usul Ezra.
“Boleh, tapi gua gak tau dimana dia tinggal. Dan sebentar lagi gua harus balik ke kampus gua. Gua masih ada jam malem.” kata Raka sambil melihat jam dinding di kamar ERa.
“Yaudah masalah Zidan, serahin ke gua. Lu tolong awasin Mirza dan Farel disana. Paling besok atau lusa gua coba ke kampus lu.” usul Ezra.
“Oke, kalau begitu. Tolong yah sih Zidan.” kata Raka sambil berdiri dan mengambil tas dan paper bag yang diberikan Ezra tadi.
“Iyah, serahin aja ke gua.”
Ezra dan Raka segera bangun dari duduknya dan berjalan pergi menuju pintu.
“Oh iyah, ngomong-ngomong, lu bilang lu ngebuat grup band? Lu udah punya lagunya untuk dibawa pas festival nya nanti?” tanya Raka sebelum ia beranjak pergi.
“Emmmm, udah sih tapi menurut gua liriknya belum terlalu bagus. Yahhh, walaupun udah pernah kita latihan dengan lagu itu.” jelas Ezra.
“Kalau nadanya?” tanya Raka.
“Kalau nadanya sih udah lumayan. Tapi menurut gua emang lebih susahan ngebuat lirik lagu, dari pada cuma nadanya.” ujar Ezra.
“Kalau gitu, boleh gua minta gak, nada sama lirik lagunya? ” tanya Raka sambil mengulurkan tangannya, meminta untuk Ezra memberikan lirik dan nada lagunya.
“Boleh sih, tapi buat apa?” tanya Ezra lalu kembali ke dalam kamarnya, mengambil handphonenya yang berada di atas meja, dan mencari rekaman lagu yang sudah ia simpan di handphonenya.
“Nadanya tolong kirim lewat email aja. Sini gua kasih nomer hp gua.” kata Raka sambil merebut handphone Ezra dari tangannya.
“Woiii!” ujar Ezra tidak terima handphone diambil oleh Raka.
Tak lama kemudian, Setelah Raka memberikan nomor handphone di hp Ezra. Raka mengembalikan handphone itu ke Ezra. “Nihhh,” katanya sambil mengembalikan handphone Ezra.
“Tunggu napa, sampe pemiliknya selesai.” sengit Ezra lalu kembali sibuk mencari nada lagu yang ia pernah simpan di handphone nya.
“Hehehhe, maaf. Lama sih.” ujar Raka yang tidak merasa bersalah.
Beberapa menit kemudian, e-mail dari Ezra sudah terkirim ke handphone Raka.
“Nihhh, gua udah kasih. Untuk liriknya, kalau gak salah, ada di rak sebelah lu deh,” kata Ezra sambil menunjuk rak buku di sebelah pintu, yang ada di sebelah Raka.
“Wahhh, terima kasih yah.”
“Hemm,” jawab Ezra. “Tapi emang lu mau apain itu nada ama liriknya?” tanya Ezra penasaran.
“Ada dehhh. Yaudah gua pulang duluan yah,” kata Raka sok penasaran, lalu berjalan pergi.
“Gua balik dulu yahhh. Dadahhh.” tambahnya.
Dari kejauhan, Raka melambaikan tangannya kepada Ezra. Ezra pun membalas lambaian tangan Raka. Beberapa menit kemudian, Raka sudah pergi dan ini waktunya Ezra beraksi. Ezra harus bisa membujuk Zidan untuk meminta maaf kepada Mirza.
ns 15.158.61.6da2