Keesokkan paginya, di rumah Reika dan Reyvan, seperti biasa, Reika sedang sarapan sendiri di ruang makan. Sementara Reyvan sedang bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Saat tiba-tiba, Putra menelepon.
“Selamat pagi Kak Rey.” kata Putra bersemangat.
“Aduh...ada apa sih, pagi-pagi nelpon? Kan gua lagi sibuk siap-siap.”
“Maaf, maaf, mau ada yang gua omongin.” Kata Putra yang mulai serius.
Setelah hampir 5 menit membahas tentang rencana mereka, Reyvan setuju untuk ikut dan akan menjemput Ezra, Al, dan Putra nanti jam setengah 10.
“Tapi, ngomong-ngomong, apa sebenarnya alasan kalian membuat rencana ini? Apa cuma mau sekedar membuat adek gua ikut grup band temen lu?” tanya Reyvan.
“Yahh,” jawab Putra.
“Lu kaga bilang, kalau Reika itu susah untuk dibujuk, apalagi kalau soal bernyanyi untuk orang lain. Lagian kalau cuma sekedar mau ngomong mah, kan bisa dirumah gua atau dimana kek, yang bukan di sekolahnya. Nanti kan malah jadi ganggu bukan?” tanya Reyvan.
“Kalau lu mau tau, ikut.” jelas Putra, yang tidak ingin memberi tahu apa alasan sebenarnya.
“Kan, emang gua ikut. Yaudah lah, kagak guna nanya ke elu. Mending gua siap-siap lagi.” jawab Reyvan.
Reyvan pun menutup teleponnya.
"Emangnya, ada apa yang dengan sih Reika?" tanya Reyvan dalam hati. "Gak mungkin Ezra, cuma mau ngomong doang. Pasti ada rencana lain."
Tiba-tiba, Reika mengetuk pintu kamar Reyvan.
"Kak, sarapan gak?" tanya Reika yang ada di luar.
"Oh, iyah. Tunggu." teriak Reyvan dari dalam kamarnya.
"Udah hampir jam 7. Aku berangkat yah." Kata Reika, pamit kepada kakaknya.
"Iyah, hati-hati yah." ucapnya, yang belum keluar-keluar dari dalam kamar.
Karena tidak ingin terlambat, Reika segera berangkat ke sekolahnya. Sekolah Reika tidak terlalu jauh dari rumahnya. Jadi ia biasanya pulang pergi jalan kaki atau menggunakan sepeda. Di sisi lain, Ezra masih tertidur pulas dengan guling kesayangannya. Untungnya Ezra baru ada mata kuliah sekitar jam 8:30. Jadi ia bisa tidur pulas sampai waktunya ia kuliah.
Pukul 10:35 tiba, waktu untuk Ezra, Al, Putra, dan Reyvan menjalankan rencana mereka. Pertama-tama, Al dan Ezra akan dijemput dahulu oleh Reyka nanti, jam 11.Tapi sayangnya, Ezra lupa dengan rencana yang ia buat. Ia malah tertidur di kelas, saat jam mata pelajarannya sudah selesai. Al sudah menunggu Ezra di luar kampus.
"Aduh… nih anak kemana sih? Udah jam segini belum nongol juga." keluh Al sambil melihat jam di handphonenya. Tiba-tiba teman sejurusan Ezra, Rizki datang menemui Al yang sedang menggerutu sendirian, di trotoar depan kampus mereka.
"Eh, Al. Nungguin siapa?" tanya Rizki sambil berjalan menuju tempat Al.
"Eh, Riz, lagi nungguin Ezra. Lu liat dia dimana gak?" tanya Al.
"Oh… Ezra. Dia tadi dikelas, lagi tidur." jawab Rizki dengan santai.
"Buset, tidur? Kok lo bisa santai amet. " batin Al.
"Yah iyah lah, ini bukan yang pertama kali Ezra tidur di kelas gitu. Jadi yah… udah biasa aja menurut ku." jelas Rizki.
"Terus lu enggak bangunin?" tanya Al tidak percaya.
"Enggak… kasian ah, kalau di bangunin." jawab Rizki.
"Yaudah deh gua kesana dulu. Makasih yah." kata Al sambil pergi meninggalkan Rizki dan pergi ke tempat Ezra.
Setelah sampai is kelas Ezra tadi belajar. Al benar-benar tidak percaya, Ezra bisa enak-enaknya tidur. Padahal hari ini mereka akan pergi ke sekolah Reika.
"Ezr, Ezra bangun. Ayo, katanya mau pergi ke sekolah Reika." Kata Al sambil mengguncang-guncang kan tubuh Ezra. Ezra yang sedang enak tidur, terbangun karena Al.
"Emmm, iyah, iyah. 5 menit lagi." kata Ezra.
"Ih...gak bisa. Sebentar lagi Reyvan akan datang untuk menjemput kita," kata Al. Tapi sayangnya, Ezra tidak juga bangun.
"Lu mau gak sih, Reika masuk ke band lu? Kalau mau ayo bangun. Yaudah lah, gua nyerah aja. Nanti lu juga yang nyesel" ujar Al kesal, sambil duduk di bangku, di depan Ezra.
"Ayo jangan menyerah. Hoahhhh." ujar Ezra yang baru terbangun dan berjalan perlahan-lahan.
"Eh, Ezra. Hati-hati jatuh." kata Al sambil membantu Ezra berjalan.
"Reyvan belum dateng kan?" tanya Ezra sambil berjalan perlahan-lahan menuju ke luar kelas dibantu oleh Al.
"Belum kok. Makanya kita harus cepat. Nanti dia malah marah-marah lagi." kata Al.
Beberapa menit kemudian, Ezra dan Al baru sampai di depan kampus. Seperti dugaan Al, Reyvan dan Putra sudah menunggu.
“Aduhh, maaf yah. Kita agak terlambat. Gara-gara Ezra nih. Pake tidur di kelas pula.” protes Al sambil berlari menuju mobil Reyvan dan meninggal Ezra di belakang.
“Yaudah, yasudah, ayo masuk.” kata Reyvan kesal.
Ezra dan Al pun masuk ke dalam mobil yang disupir sendiri oleh Reyvan.
“Udah seger prince?” canda Putra sambil menahan tawa. Ezra tidak menjawab. Karena setengah nyawanya masik melayang-layang.
“Eh, udah lah, kasihan anak orang. Baru bangun tidur.” ledek Al.
Reyvan segera menjalankan mobilnya menuju ke sekolah Reika. Tak lama kemudian, mereka sampai ke tempat tujuan.
“Udah sampe nih. Gih pada turun duluan. Nanti gua nyusul. Gua harus markirin mobilnya dulu.” kata Reyvan.
“Oke, ayo.” ujar Putra bersemangat.
“Eh, tunggu. Emang lu tau di mana Reika sekarang?” tanya Al.
“Enggak sih. Reyvan, lu tau Reika di mana gak?” tanya Putra.
“Enggak.” jawabnya santai.
“Lah gimana sih? Lu kakaknya masa gak tau.” protes Putra. Ezra yang tadi hanya diam, membuka pintu mobil dan keluar. Membuat orang-orang yang ada di dalam mobil kebingungan.
“Ezr, mau kemana?” tanya Al.
“Nyari Reika lah,” jawab Ezra.
“Emang lu tau dimana Reika sekarang?” tanya Reyvan.
“Enggak. Tapi dari pada diem, tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi mending kita mulai mencari.” kata Ezra sambil tersenyum lebar penuh percaya diri sambil keluar dari mobil.
“Dasar. Baiklah teman-teman, mari kita ikuti pemimpin kita kali ini.” kata Al tersenyum penuh arti kepada Ezra.
Ezra, Al, dan Putar turun dari mobil dan mulai mencari Reika di sekolah yang besar itu. Sedangkan Reyvan memarkirkan mobilnya dulu. Saat sampai di halama sekolah tersebut. Ezra memutuskan untuk bertanya kepada beberapa anak yang sedang berada di depan mereka.
“Permisi,” sapa Ezra ramah kepada beberapa anak itu.
“Oh, iyah, ada apa?” tanya salah satu anak itu.
“Apakah kalian mengenal anak bernama Reika?” tanya Ezra.
“Hem, sih anak psikopat itu? Ada apa kakak-kakak mencarinya?” jawab salah satu anak.
“Psi-psikopat? Mak-maksudnya bagaimana?” tanya Ezra tidak percaya.
“Iyah, berita tersebar, katanya Reika itu sudah membunuh 2 orang,”
“HAH? Membunuh? Gak mungkin. Orang anaknya pendiem gitu.” kata Al.
“Justru gara-gara itu. Pendiem-pediem, taunya psikopat.” jawab anak lainnya.
“Katanya sih, dia membunuh sahabatnya dan bahkan ibunya sendiri.”
“Kalian dapet informasi itu dari mana? Ibunya Reika meninggal gara-gara stress kok. Bukan karena dibunuh.” kata Putra yang tidak tahan mendengar berita bohong itu.
“Gak tau deh. Tapi semua anak di sekolah ini sudah tau beritanya.” jawab salah satu anak itu.
“Terus sekarang dia dimana?” tanya Putra.
“Saya sendiri kurang tau deh.”
“Hah, yaudah deh. Makasih yah.” kata Ezra.
Anak-anak itu segera pergi meninggal Ezra dan yang lain.
“Gak mungkin. Gak mungkin anak sebaik Reika, psikopat. Walaupun dia dingin, cuek, tapi gua yakin dia bukan pembunuh.” kata Putra yakin.
“Siapa yang pembunuh?” tanya Reyvan yang baru saja datang.
“Emmm,” gumam Ezra dan Al, takut untuk menjawab pertanyaan Reyvan. Tapi Putra dengan perasaan tidak bersalah, bertanya secara terang-terangan.
“Rey, Rey, Reika pernah menyakiti atau... membunuh orang gak?” tanya Putra.
“Put!” bentak Ezra dan Al.
“HAH, membunuh? Gila aja kali. Adik gua membunuh, gak mungkin.” jawab Reyvan.
“Huuu, untunya.” ujar Putra lega.
“Lu gak benar-benar percaya kan, kata bocah-bocah itu?” tanya Al.
“Emang kenapa sih?” tanya Reyvan yang tidak sama sekali menggerti maksud pembicaraan mereka.
“Tapi, kita sempet nanya ke siswa-siswa yang ada di sini, tentang keberadaan Reika saat ini. Tapi mereka malah tiba-tiba memberitahu kita tentang berita yang sangat mengejudkan. Dan katanya, satu sekolah udah pada tau,” jelas Putra panjang lebar.
“HAH, apaan itu?” tanya Reyvan penasaran.
“Katanya adek lu itu psikopat. Dia udah pernah membunuh sahabat dan ibunya sendiri.” jawab Putra.
“HAH, gak mungkin? Sekarang mana bocah-bocah yang tadi? Biar gua tabokkin mereka satu-satu.” batin Reyvan marah.
“Sabar, sabar. Gua yakin ini cuma kesalah pahaman. Mending kita cari dulu Reika, terus nanya ke dia langsung.” usul Ezra sambil mencegah emosi Reyvan meluap.
“Oke, oke. Tapi sekarang kita tanya nya kesiapa?” kata Reyvan yang sudah mulai tenang.
“Ada banyak kok sisiwa disini. Gua yakin salah satu dari mereka tau, dimana Reika berada.” jawab Ezra tenang.
“Hem... baiklah. Gua akan kearah sini.” Reyvan beranjak pergi meninggal Ezra dan yang lain dengan keadaan masih marah.
“Yaudah, gua ama Putra akan ke arah sini.” kata Al sambil menunjuk ke arah kanan mereka.
“Oke. Berarti gua akan kearah sini.” Ezra, Al, dan Putra berpencar untuk mencari sekaligus menanyakan ke pada siswa-siswi disini.
Mereka pun mulai menanyakan satu-persatu siswa yang mereka temui. Tapi kebanyakkan dari mereka tidak tahu atau tidak ingin tahu. Hal tersebut, membuat Ezra dan yang lain kesusahhan untuk mencari Reika. Saat sedang bertanya kepada salah satu siswa, Ezra melihat ada seorang anak yang sedang di kerumuni oleh beberapa siswa lainnya yang tampak lebih senior dari anak tersebut. Dari kejauhan, Ezra bisa melihat bahwa anak itu sepertinya sedang di bully. Ezra yang tidak suka melihat seseorang dibully, segera menghampiri kerumunan siswa-siswa itu dan mencoba untuk membubarkannya.
“Ehhh, kalian lagi ngapain hah? Jangan kalian berani-beraninya ngebully anak itu.” bentak Ezra kepada siswa-siswa itu.
“Ehh, ayo kabur, kabur.” ujar salah satu anak itu. Karena takut, sekumpulan siswa-siswa itu berhamburan kabur entah kemana.
“Kamu gak papa?” tanya Ezra kepada anak itu dan mencoba untuk membantunya berdiri. Tapi bertapa terkejudnya Ezra, saat mengetahui anak itu adalah Reika.
“Reika? Kamu gak apa-apa?” tanya Ezra sambil mencoba membantu Reika berdiri. Tapi Reika malah menanpar tangan Ezra dan menatapnya dengan tajam.
“Saya gak butuh bantuan anda.” jawab Reika kasar.
“Enggak sopan banget sih. Gua itu lebih tua dari pada lu.” omel Ezra.
“Terserah lah,” kata Reika sambil menutup kotak bekalnya dan mencoba untuk berdiri. ”Dasar, ganggu aja.”
“Kau makan sendiri? Disini?” tanya Ezra prihatin kepada Reika.
“Emang ada yang mau makan sama seorang psikopat?” tanya Reika sambil beranjak pergi.
“Eh, tunggu.” cegah Ezra sambil menggenggam tangan Reika. Reika tidak merespons apa pun. Ia hanya menatap Ezra dengan tatapan yang sangat tajam dan menakutkan. Membuat Ezra terpaksa melepaskan genggamannya.
“Kau bukan psikopat. Iyah kan?” kata Ezra tidak yakin.
“Hmm, mungkin.” kata Reika sambil tersenyum sinis dan meninggal Ezra.
“Kemarin lu gak kaya gini?” tanya Ezra.
Reika tidak menjawab. Ia segera pergi meninggal Ezra dan berjalan masuk ke dalam gedung sekolah. Ezra ingin sekali mengejar, tapi Reika sudah menghilang di kerumunan siswa. Terpaksa Ezra menyerah, untuk sekarang dan akan kembali nanti.
Saat sedang berjalan menuju gerbang depan sekolah, Reyka tiba-tiba memanggil.
“Ezr!” panggil Reyvan sambil berjalan menuju tempat Ezra.
Ezra berhenti dan menyahut. “Oh... Rey. Ada apa?”
“Lu ketemu gak, Reika?” tanya Reyvan.
“Aaaa, tadi sih... ketemu yah,” jawab Ezra ragu-ragu.
“Terus kemana dia?” tanya Reyvan.
“Kayanya sih balik ke ke-“ tiba-tiba Ezra mengingat sesuatu. “Aaaa, Rei. Katanya Reika pernah ngebunuh sahabatnya-“, “Lagi-lagi tentang ngebunuh. Adek gua bukan pembunuh.” batin Reyvan.
“Iyah, gua tau. Maksud gua, berarti Reika dulu punya seorang sahabat. Sekarang... kemana dia kemana?” tanya Ezra.
“Sahabat? Kayanya gua tau deh. Kalau gak salah, namanya itu Ubai. Dulu sih, Ubai sama satu temennya lagi, sering main sama Reika di rumah. Tapi... setelah Reika masuk SMA atau mungkin sebelumnya, gua kurang inget, mereka udah jarang main ke rumah. Gua kira, mereka mainnya di sekolahan aja atau di rumah yang lain. Tapi...ternyata-” kata-kata Reyvan terhenti karena takut untuk mengatakanya.
“Siapa satu anak lagi, itu?” tanya Ezra penasaran.
“Kalau gak salah sih namanya Irfan.” jawab Reyvan.
“Sebelum ini, lu bener-bener gak tau sih Ubai udah meninggal?” tanya Ezra.
“Enggak, gua benar-benar gak tau. Reika gak pernah cerita soal sahabatnya itu atau hal yang lain.” jawabnya sedih. “Tapi kok lu bisa tau Ubai meninggal?”
“Bahkan kakaknya sendiri tidak tahu sahabat tersekatnya meninggal. Hemmm, berarti orang yang menuduh Reika, pastilah orang yang dekat dengan nya. Hemm, sepertinya gua ada ide, siapa apa sebenarnya pelaku di balik semua ini. Tapi gua masih gak ngerti, kenapa dia tega menuduh Reika sebagai perbunuh Ubai dan ibunya sendiri.” kata Ezra dalam hati, membuatnya tidak fokus saat Reyvan sedang mengajaknya berbicara.
“Woii, denger gak sih?” kata Reyvan mulai emosi.
“Oh yah maaf,” jawab Ezra mulai sadar. “Tadi, pas sebelum balik ke kesini, gua sempet bertanya ke salah satu siswa disini. Sebenarnya gua udah banyak sih, nanya ke siswa-siswa disini. Tapi semua siswa yang gua tanya, gak ada satu pun yang tau,” jelas Ezra.
“Terus...lo kok bisa tau?” tanya Reyvan.
“Nah, terus gua ketemu satu anak ini, yang entah bagaimana, dia tau soal apa yang sebenarnya terjadi pada sahabat Reika itu,”
“Terus, terus!” ujar Reyvan tidak sabaran.
“Dia sih cuma ngomong kalau anak yang bernama Ubai itu bukan dibunuh tapi ia meninggal. Tapi per masalahannya, kok tuh anak bisa tau yah.” jawab Ezra yang sebenarnya juga masih bingung.
“Lu kaga nanya nama anak itu siapa?” tanya Reyvan.
“Enggak. Udah keburu bel masuk. Jadi anak itu langsung kabur, balik ke kelasnya.” jelas Ezra.
“Emmm, ciri-cirinya?” tanya Reyvan.
“Perempuan, yakaknya kelas 12, jangkung, rambutnya panjang, hidungnya mencung, dia pake kaca mata, tadi sih dia juga pake jaket biru.” jelas Ezra sambil mengingat-ngigat lagi rupa perempuan itu.
“Kok tuh anak bisa tau yah?” tanya Reyvan sambil mengelus-ngelus daguanya, mencoba mencari jawaban yang ia ingin tahu. Sebenarnya ada satu pertanyaan yang ingin Ezra tanyakan. Tapi ia takut Reyvan akan tersinggung. Tapi akhirnya ia memberikan diri untuk bertanya.
“Emm, Ray, sama satu lagi, kalau boleh?” tanya Ezra ragu-ragu.
“Apa itu?” tanya Reyvan.
“Maaf jika pertanyaannya ini agak menyinggung,” Ezra berhenti sejenak. “Apakah Reika... dengan ibunya dekat?” Mendengar pertanyaan Ezra, Reyvan terkejud dan agak sedikit ragu untuk menjawabnya.
“Kenapa emang?” tanya Reyva.
“Reika kan di tuduh membunuh beliau. Menurut ku, itu karena masalah hubungan atau semacamnya.” jelas Ezra.
“Memang sebelum beliau meninggal, Reika dan beliau sempat berargumen,”
“Apakah argumen tersebut sudah di selesaikan?”
“Belum. Bahkan sampai beliau masuk rumah sakit kerena kondisinya yang semakin lemah, mereka juga belum baikkan. Saat waktu pemakaman beliau pun, Reika tidak ikut.” jelas Reyvan dengan nada rendah karena merasa sedih.
“Maaf…” ujar Ezra yang merasa sangat bersalah karena sudah membuat Reyvan mengigat-ngingat masa menyedihkan itu. Saat keadaannya bertambah sedih, Al dan Putra datang.
“Ehhh, kalian pada disini. Kita nyariin dari tadi tau.” teriak Putra sambil berlari menuju tempat Ezra dan Reyvan. Baru saja sampai, Putra dan Al sudah merasa ada yang salah dengan mereka.
“Ada apa?” tanya Al.
“Tidak ada apa-apa. Ayo kita pulang.” ujar Reyvan sambil beranjak pergi tapi berhenti karena Putra.
“Ehh, tunggu bagaimana dengan Reika. Kita tidak jadi membujuknya untuk masuk grup band Ezra?” tanya Putra.
“Lagi-lagi soal grup band itu. Gua udah muak. Kita pulang aja.” bentak Reyvan sambil membalikkan badannya kearah Ezra dan yang lain berdiri.
“Gua gak akan menyerah. Kalian pulang aja, gua akan nyusul. Gua akan terus berusaha untuk membantu, membenarkan kesalah pahaman ini.” kata Ezra dengan percaya diri.
“Jangan ikut campur masalahnya. Biarkan dia mengatasi masalahnya sendiri.” bentak Reyvan
“Reyvan?” kata Putra tidak percaya. Biasanya Reyva sangat menyanyangi adiknya dan tidak akan membiarkan apapun terjadi padanya.
“Kau ngomong kaya gitu, cuma gara-gara Reika gak ikut ke pemakaman ibumu? Itu juga kalau gua gak nanya, lu gak akan inget.” kata Ezra mulai marah kepada sifat Reyvan.
“Lu kagak usah sok menyalah gua. Lu juga begini gara-gara lu mau adek gua masuk ke grup band lu kan?” bentak Reyvan.
“Enggak! Gua udah gak perduli Reika mau masuk atau enggak ke Melody Night. Tapi gua melakukan ini semua karena gau gak mau Reika mengalami nasip yang sama dengan ku.” Reyvan yang mendengar perkataan Ezra terkejud dan tidak tahu apa yang harus ia katakan.
“Silahkan kalian pulang duluan. Aku bisa pulang sendiri.” kata Ezra.
“Yaudah, Put, Al, ayo kita pulang.” ajak Reyvan sambil berjalan pergi meninggal Ezra.
“Maukah gua teme-“, “Gak usah Al. Ezra bisa melakukannya sendiri.” kata Reyvan memotong omongan Al.
“Makasih. Tapi gua bisa sendiri kok.” kata Ezra sambil tersenyum.
Reyvan, Al, dan Putra pun pulang, kembali ke kampus mereka masing-masing. Sementara Ezra menunggu kepulangan Reika di wartek dekat sekolahan Reika dan menunggu disana. Ezra berencana untuk mengikuti Reika dari belakang sampai ia pulang ke rumahnya.
Waktu ke pulangan Reika pun datang. Tidak di sangka hari ini Reika pulang agak terlambat karena ikut ekskul. Tapi bagaimana pun juga, itu sudah konsekuensi Ezra dalam rencananya kali ini. Rencananya pun sudah mulai berjalan. Ezra pulang ke rumahnya, tanpa mengetahui keberadaan Ezra. Awalnya keadaannya masih baik-baik saja, tapi tiba-tiba sekelompok siswa-siswa yang mengganggu Reika tadi siang, datang dan kembali mengganggu Reika lagi.
“Eh, bocah sialan, ngapain lo disini?” kata ketua geng tersebut.
“Tau nih. Ganggu pemandangan aja.” kata yang lain. Reika tidak menanggapi mereka. Ia hanya diam dan membiarkan mereka melakukan apa yang mereka mau.
“Minggir lu bocah.” bentak anak yang lain sambil mendorong Reika hingga terjatuh. Ezra yang bersembunyi di balik tembok besar, ingin sekali mengambil tindakan. Tapi sepertinya belum saatnya ia keluar.
“Duh, duh, duh, gara-gara kalian baju ku jadi kotor kan,” kata Reika sambil mencoba berdiri.
"lihat siapa yang sudah berani ngomong?"
"Kalian tuh, gak takut apa? Jangan lupa, aku adalah psikopat yang kalian sebut-sebut itu. Dan aku sudah membunuh 2 orang dekat ku dan mungkin sekarang bertambah menjadi 8." kata Reika dengan nada mengancam.
"Emangnya lu bisa ngapain? Kita berenam dan lu sendiri." jawab salah satu siswa tersebut.
"Kalian mau tau satu orang ini bisa apa?" kata Reika sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam saku nya. Membuat ke 6 orang itu, mundur ke belakang karena takut
"Kenapa takut? Ini cuma cutter loh. Gak usah lebai deh." kata Reika sambil menyodorkan catter nya ke mereka.
"Apasih lu. Jangan main-main deh." Kata ketua geng itu yang ketakutan.
"Aku gak main-main kok. Ayo sini, kamu duluan yang aku jadikan mainan." ujar Reika dengan nada tinggi.
Tidak ada yang berani melawan. Bahkan, tak lama kemudian Reika berhasil memojokkan salah satu siswa tersebut. Sedangkan yang lain sudah kabur.
"Dengar yah, jangan lu pernah ngeganggu gua lagi. Kalau enggak," ancam Reika sambil menyodorkan catter nya ke depan muka anak tersebut.
"Ba-baik. To-tolong lepaskan saya." pintar anak itu yang mati gemeteran.
"Lepasin? Mimpi. Gua akan kasih pelajaran ke elu dan teman-teman lu yang lain, apa yang terjadi jika kalian bermain-main dengan seorang psikopat." Reika mengengkat tinggi-tinggi cutter tersebut dan bersiap-siap untuk menusuk anak itu.
Ezra tidak bisa hanya menonton Reika membunuh orang lain begitu saja. Ezra segera keluar dari persembunyian dan menghentikan Reika.
"Reika, berhenti!" bentak Ezra sambil menghentikan tangan Reika yang memegang cutter nya.
"Kak Ezra?" Reika menjatuhkan cutter nya dan anak yang dipojokan oleh Reika tadi langsung kabur pergi menyusul temen nya yang lain.
"Kau ngapain hah? Mau membunuh anak orang?" tanya Ezra.
"Membunuh? Siapa yang mau, coba?" jawab Reika santai.
"Lah, tadi? Cutter nya?" tanya Ezra tidak mengerti.
"Aduhhh, udah gede tapi sama aja. Ini tuh cuma mainan. Mana berani saya bawa cutter asli ke sekolah." jawab Reika sambil mengambil cutter nya yang terjatuh ke bawah.
"Tapi, tadi, terus?" Ezra merasa sangat bingung.
"Saya cuma mau mereka takut aja. Biar mereka gak ganggu saya lagi." jawab Reika sambil memasukan cutter ke dalam saku nya kembali.
"Tapi itu bukan cara yang baik." kata Ezra.
"Terus kakak punya ide, supaya mereka gak gangguin saya lagi?" tanya Reika.
"Gak usah di perdulikan. Nanti mereka juga bosen, terus berhenti sendiri." jawab Ezra.
"Kaya kakak tau aja. Kakak kan punya banyak teman, mana mungkin kakak mengerti." kata Reika.
"Jangan lu cuma liat sekarangnya doang. Gua dulu juga pernah di bully. Malah lebih parah lagi dari pada elu,"
"Hah? Kakak pernah di bully? Kapan?"
"Dari gua SD sampe SMP. Tapi bukan cuma omongang doang kaya lu tadi. Gua pas di bully, mereka udah main fisik. Tiap hari kalau gua gak ngasih uang atau nurutin perintah mereka, gua akan abis di pukulin sama mereka." jelas Ezra.
Reika tidak bisa berkata apapun. Ia begitu shock mendengar perkataan Ezra tadi.
“Kakak tidak mencoba untuk melawan mereka?”
“Melawan tidak ada gunanya dulu. Gua anaknya culun terus gak bisa bertarung. Kalau gua lawan, gua yang akan kena imbasnya.” jawab Ezra sambil mengigat masa lalunya.
“Tapi itu dulu. Setelah gua masuk SMA dan bertemu Al dan Satria, gua udah gak pernah di bully lagi. Lu juga harusnya begitu. Lebih baik lu menemukan orang yang bisa lu percaya, seperti Irfan. Kenapa gak lu sama dia aja.” saran Ezra.
“Kok kakak bisa tau? Apa jangan-jangan kakak juga udah tau apa yang saya lakukan pada Ubai.”
“Gua gak tau apa yang lu lakukan pada anak itu. Tapi gua yakin lu bukan
pembunuhnya.” kata Ezra sangat yakin.
“Kok kakak bisa seyakin itu?” tanya Reika sambil menatap tajam ke arah Ezra.
“Yaiyalah mana mungkin anak lemah seperti lu, membunuh orang lain,” ejek Ezra
Reika tidak menanggapinya. Ia membuang mukanya ke arah lain.
“Lu pasti capek kan?” tanya Ezra sambil beranjak pergi. “Ayo, sini gua jajanin es-krim. Kamu suka kan?” Reika mengangguk.
“Baiklah ayo,” Ezra berjalan meninggal Ezra. Tapi seketika berhenti karena ia baru sadar, kalau ia tidak mengenal tempat ini dan tidak tau dimana tempat atau toko yang menjual es-krim di sekitar sini. “Tapi... kau tau dimana orang yang jualan es-krim disini?” tanya Ezra sesudah menoleh ke belakang. Reika tertawa dan segera menujukan jalan ke toko yang menjual es-krim.
Ezra dan Reika pergi ke taman yang letaknya tidak terlalu jauh dan membeli es-krim ke ibu-ibu yang berjualan di sana.
“Bu, es-krim coklat nya satu!“ pinta Ezra sambil menunjuk ke es-krim coklat. “Reika lu mau es-krim apa?”
“Emmm, tolong satu es-krim rasa cookie and cream! Boleh kan kak?” tanya Reika. Ezra mengangguk.
“Ini silahkan. Totalnya 20 ribu,” kata ibu itu sambil memberikan es-krim yang yang Ezra dan Reika pesan. Ezra memberikan selembaran uang 50 ribu.
“Apakah kalian adik kakak?” tanya ibu itu sambil memberikan uang kembalian Ezra.
“Enggak bu. Dia udah punya kakak. Saya hanya teman kakaknya.” jawab Ezra sambil mengambil uang kembalian dari ibu penjual es-krim.
“Ohh, begitu. Kalian akrab banget sih soalnya.” kata ibu itu.
“Begitu yah bu,” kata Ezra tersenyum. “Terima kasih yah bu.”
Ezra dan Reika mencari bangku kosong untuk di dudukki.
“Eh, disitu ada bangku kosong. Kita di sana aja yuk.” ajak Ezra sambil menunjuk bangku kosong di depan mereka.
“Terima kasih yah kak, sudah membelikan saya es-krim.” kata Reika.
“Iyah,” jawab Ezra.
“Emmm, gua boleh tanya gak?”
Pandangan Reika langsung menuju ke Ezra.
“Biar saya terbak, tentang Ubai?” tebak Reika.
“Yahhh, seperti itu,” Ezra mulai serius. “Apa yang sebenarnya tejadi pada Ubai? Kanapa kau bisa di tuduh membunuhnya?”
“Saya sendiri tidak begitu tau kenapa orang-orang menyebut saya membunuhnya. Tapi saya bersumpah, tidak membu-nuh-nya.” Reika menekan kata-katanya.
“Gua tau. Tapi apa, yang sebenarnya tejadi?” ulang Ezra.
“Saat itu saya, Irfan, dan Ubai baru saja pulang sekolah. Hari itu kami pulang agak sore, karena kami baru selesai PM (Penambahan materi). Karena rumah saya dan Ubai berdekatan, kami pulangnya bareng,”
“Lalu, bagaimana sih Irfan?” tanya Ezra.
“Rumahnya berbeda jalan dengan kita. Dan biasanya dia pulang naik sepeda.” jelas Reika.
“Ohhh, terus?”
“Awalnya sih, masih seperti biasanya. Tapi tiba-tiba Ubai mengeluh dadanya sakit dan tidak lama kemudian ia pingsan. Saya begitu panik saat Ubai pingsan. Saya mencoba untuk memulangkannya dulu ke rumahnya. Tapi ternyata rumahnya kosong. Akhirnya saya menelpon supir saya dan memintanya untuk mengantarkan kami ke rumah sakit. Saya juga tidak lupa menelpon orang tua Ubai, mengabari tentang keadaan Ubai. Untuknya paman Ubai adalah salah satu dokter disana, jadi saat sampai, Ubai langsung di bawa ke UGD. Tak lama kemudian orang tua Ubai datang. Mereka tampak begitu panik dan begitu juga saya,“
“Tak lama kemudian, hasil dari penyakit keluar. Dan ternyata Ubai terkena penyakit leukimia. Saya begitu sedih dan kecewa mendengar hal tersebut. Tapi apa yang saya bisa lakukan?" jelas Reika. Tak disadari, ia menetes kan air mata. Ezra yang melihat itu sangat terkejut. Tidak disangka Reika yang dingin dan cuek, bisa juga menangis. Ia merasa bersalah karena sudah menanyaka hal-hal itu kepadanya. "Ma-maaf."
Reika mencoba menghapus air matanya, tapi terus dan terus keluar.
"Maaf, gara-gara gua lu sampe menangis," kata Ezra sambil memberikan sapu tangannya kepada Reika. "Ini, apus air mata mu menggunakan ini. Nanti muka lu yang ganteng dan mulus itu akan rusak." canda Ezra. Reika tersenyum dan bahkan sedikit tertawa.
"Begitu dong." kata Ezra membuat Reika tersenyum.
Reika menggeleng. "Kakak nih yah, orang lagi sedih malah bercanda." katanya. Tapi senyuman tersebut seakan menghilang dan berubah sedih.
"Tapi sepertinya hanya menjelaskan itu semua, tidak akan mengubah kenyataan bahwa ia sudah meninggal." kata Reika.
"Kau orang yang baik yah. Kau lebih memikirkan orang lain dari pada dirimu sendiri." kata Ezra lalu menepuk pundak Reika.
"Orang yang berencana untuk membunuh temen sekolahnya, kau bilang baik? Kakak benar-benar memiliki pandangan yang aneh yah." ejek Reika sambil tertawa kecil.
"Oh yah, besok lu masuk?" tanya Ezra.
"Iyah lah. Besok kan masih hari selasa." jawab Reika. Ezra terdiam sebentar dan tak lama kemudian.
"Oke!" ujar Ezra lalu berdiri dan berkata. Membuat Reika kaged. "Gua akan membantumu."
"Membantuku apa?" tanya Reika kebingungan.
"Gua akan menegakkan keadilan. Gua akan mengungkap, siapa yang menuduhmu itu." kata Ezra percaya diri.
"Apa yang kakak lakukan?" tanya Reika.
"Kau lihat saja nanti." jawab Reika lalu tersenyum penuh percaya diri
ns 15.158.61.7da2