2 hari kemudian, pukul 8:07, Ezra dan Zidan berangkat untuk bertemu dengan Farel dan Mirza. Sebenarnya mereka janjiannya sekitar pukul 9:00, tapi supaya tidak terlambat Ezra dan Zidan memutuskan untuk berangkat lebih awal. Dan benar, mereka sampai 20 menit lebih cepat dan Farel dan Mirza belum datang. Untuknya restoran cepat saji itu buka 24 jam, jadi mereka bisa menunngu Farel dan Mirza didalam sambil makan.15 menit kemudian, Farel dan Mirza datang. Ezra, yang baru pertama kali bertemu dengan mereka, sungguh terkejud karena mereka jauh berbeda dengan apa yang ia bayangkan.
Farel memiliki mata berbinar terang, senyumanya yang indah membuat orang yang melihat ikut meresa kebahagiaannya. Ia mengenakan jaket yang diikat dipinggangnya, kemeja putih yang bagian lengannya digulung sambai siku dan celana jeans yang membuat terlihat sangat bergaya. Sedangkan Mirza mengenakan baju yang berlengan panjang berwarna kuning dan putih ditambah dengan celana panjang berwarna hitam. Ia terlihat sangat muda, mukanya terlihat sangat polos. Dengan tatapan matanya yang tajam membuat terlihat sangat ganteng.
“Hai,”sapa Farel dengan ramah kepada Ezra.”Salam kenal, namaku Gunadhya Farel. Kalian bisa memanggilku Farel dan ini sahabatku Pradipa Mirza.” katanya sambil mengulurkan tangan ke Ezra.
Gunadhya Farel dan Pradipa Mirza, mahasiswa tahun pertama jurusan akuntansi. Yang berkuliah disalah satu kampus terbaik di Indonesia. Farel dan Mirza adalah sahabat dekat sejak mereka kecil, walaupun begitu sifat dan hobi mereka sangat berbeda. Farel memiliki sifat ramah, baik hati, suka menolong, walaupun sering menjahili temannya dan suka bercanda. Ia memiliki hobi berolahraga, suka mengoleksi dan membaca manga, dan suka menonton anime jepang. Sedangkan Mirza memiliki sifat introverts, yaitu memiliki sifat yang pemalu, tidak suka bergaul dengan orang lain, dan bersifat dingin. Hobi Mirza juga sangat berbeda dengan Farel. Ia tidak begitu menyukai olahraga. Ia lebih memilih untuk membaca buku atau menulis. Walaupun memiliki sifat yang berbeda dengan Farel, mereka jarang bertengkar. Mereka saling menjaga satu sama lain. Sejak mereka kecil, Mirza dan Farel sudah sangat dekat. Karena sejak kecil Mirza dan kedua adiknya, sering dititipkan di rumah Farel bersama dengan keluarganya. Karena Sejak kecil orang tua Mirza selalu sibuk dan sering pergi ke luar kota atau negri.
“Ohh iyah, salam kenal juga. Namaku Mahardika Ezra. Panggil aku Ezra saja.” kata Ezra sambil mencoba berdiri dari bangkunya, mengulurkan tangannya dan bersalaman dengan Farel.
“Ayo silahkan duduk,“ kata Ezra mempersilahkan mereka duduk. “Adakah yang kalian ingin pesan? Biar aku yang belikan.” tambahnya.
“Tidak, tidak usah terima kasih. Kami tidak ingin merepotkan mu, kami bisa kok membayar makanan kami sendiri.” tolak Farel yang tidak mau merepotkan Ezra.
“Sini biar aku yang pesan.” kata Mirza sambil mencoba berdiri dari bangkunya.
“Oh iyah boleh. Aku pesan paket sandwich saja yah. Ini uangnya,” kata Farel sambil memberikan Mirza uangnya. “Terima kasih.”
“Ohhh iyah, ngomong-ngomong kalian ini satu sekolah yah dengan Zidan?” tanya Ezra.
“Iyah,” jawab Farel. “Tapi kami beda setahun sama dia. Pas kami baru kelas 10, Kak Zidan udah kelas 11.” jelasnya.
“Ohhh, berarti cuma beda satu tahun yah. Berarti Umur kita sama dong.”
“Oh yah, tapi kamu kayanya akrab banget sama Kak Zidan. Padahal yang aku tahu, Kak Zidan itu orangnya susah bergaul dengan orang lain.”
“Oh yah? Masa sih? Kok kalau sama gua sifatnya gak kaya gitu yah?” tanya Ezra sambil menahan tawa. Tak lama kemudian, Mirza datang membawa makanan untuk dirinya dan untuk Farel
“Ini punya mu.” kata Mirza sambil memberikan nampan berisi makanan yang Farel pesan.
“Terima kasih banyak.” kata Farel yang segera mengambil sandwich yang ia pesan dan memakannya dengan lahap.
“Lu berdua masih ngomong pake kamu, aku yah?” tanya Zidan tiba-tiba.
“Yaelah, emang kenapa sih? Kan bagus bukan? Kitanya aja yang ngomong nya gak benar.” bela Ezra.
“Woi, selow aja. Gua juga kagak ngomong itu salah.“ protes Zidan.
“Iyah, kita terkadang masih pake kata kamu, aku kalau bicara berdua. Tapi kalau sama orang lain sih, pake lu, gua kaya biasa.” jelas Farel.
“Ohhhh, sesama sahabat yah. Jadi iri deh. Sahabat-sahabat aku mah pada gak bener semua. Males ngomong sama mereka.”
“Emang lu punya sahabat? Kayanya kalo gua liati, lu sendiria terus.” tanya Zidan dengan nada yang mengejek
“Yah punya lah. Lagian lu kan ketemu gua gak setiap hari.” protes Ezra. Farel pun tertawa melihat sifat mereka yang begitu lucu begitu juga Mirza.
“Maaf, maaf, udah lama aku gak ketemu sama Kak Zidan. Pas ketemu sifatnya jadi beda banget.” kata Farel sambil menghapus air matanya karena terlalu banyak tertawa.
“Hahaha, aku jadi malu deh.” kata Ezra yang juga ikut tertawa.
Tiba-tiba, Zidan yang duduk disebelah Ezra, menyenggol lengan Ezra sambil meliril-lirik ke arah Mirza dan Farel. Ezra yang ngeh tentang maksud Zidan, langsung mengubah mimik wajahnya menjadi serius.
“Aaaaaa, ngomong-ngomong, aku dengar kalian dulu ikut ekskul musik yah, sama Zidan?” tanya Ezra.
“Ohh iyah benar, kenapa memang?” jawab Farel.
“Itu berarti kalian bisa main alat musik?” tanya Ezra.
“Eeeeee, dulu sih bisa. Tapi semenjak lulus SMA aku udah gak pernah latihan lagi,” jelas Farel lalu bertanya ke Mirza. “Kalau kamu Mir?”
“Aku sih masih. Tapi udah jarang. Karena kan sekarang aku sibuk dengan kuliahku. Paling kalau ada waktu luang aja aku mainin nya.” jelas Mirza lalu mengambil gelas berisi teh, yang ia pesan tadi.
“Ohh, aaaaaa, misalnya nih, kalian diajak ikut kedalam sebuah grup band musik. Kalian mau ikut gak?” tanya Ezra.
“Band? Gak tau yahh. Gak pernah kepikiran sih.“ jawab Mirza.
“Tapi kalian mau?” tanya Ezra yang mulai serius.
“Boleh-boleh aja sih,” jawab Farel. “Tapi... siapa yang mau mengajak kami ikut dengan suatu band?“
“Kalo aku, jujur saja sihh eng-“,”Kalau begitu mau gak kalian ikut dalam band kami?” tanya Ezra yang memotong pembicaraan Mirza.
"Band kalian? Band seperti apa itu?" tanya Farel sambil mencoba untuk mengambil gelas berisi soda, miliknya.
"Satu bulan lebih lagi, universitasku akan mengadakan festival musik dan aku ingin sekali ikut serta dalam festival itu.”
"Tapi kenapa kau mengajak kita untuk ikut juga? Sendiri bisa bukan?" tanya Farel.
"Iyah sih benar. Tapi kesempatan untuk menang akan lebih besar jika kita bermain dalam grup bukan?"
"Jadi ini semua hanya untuk sekedar memang saja?“ tanya Mirza dengan nada yang sinis. “Lalu apa untungnya bagi kami, jika kami ikut dalam band mu?" tanyanya lagi.
"Ini bukan hanya sekedar untuk menang saja. Tapi ini adalah impianku dari sejak aku kecil." jawab Ezra.
"Lalu apakah kami harus perduli dengan impian masa kecilmu?" tanya Mirza.
"Heiii, Mir jangan be-", "Lalu aku yakin setelah semua ini selesai, kau akan membubarkan bandnya. Kau dan Kak Zidan akan menjadi terkenal dikampus mu. Sedangkan kami tidak mendapatkan apa-apa. Bener begitu bukan?"
"Emangnya lu kira, gua melakukan semua ini hanya demi kemenangan, hadiah, dan ketenaran? Tentu saja tidak, aku melakukan ini semua untuk bisa membagikan musikku kepada orang lain di luar sana." batin Ezra.
"Kalau begitu kenapa kau tidak melakukannya saja sendiri.” bentak Mirza tidak ingin kalah.
Farel, Ezra, dan Zidan sangat terkejud melihat Mirza yang yang marah, terutama Farel. Karena pada dasarnya Mirza bukan lah tipe orang yang terlalu suka mengekspresikan dirinya. Saat marah pun ia biasanya hanya diam dan menyendiri.
“Mir?” tanya Farel sambil memegangi pundak sahabatnya itu.
Mirza yang masih marah, pergi dan meninggal mereka bertiga.
“Mirza kamu mau kemana?” tanya Farel sambil mencengkam tangan Mirza, mencoba untuk menghentikannya. Tapi Mirza malah melawan dan pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. Farel mencoba mengikuti Mirzan. Tapi setelah melihat tampang muka Mirza, Farel pun jadi tidak berani mengikuti Mirza. Farel kembali ke meja tempat ia dan yang lain berbicara tadi.
“Maafkan aku yah. Mirza hanyaa-“, “Memang kenapa sih Mirza itu?” tanya Zidan yang sebenarnya masih agak shock melihat sifat Mirza yang tiba-tiba seperti itu.
“Sebenarnya dulu, sesudah kau lulus aku dan Mirza pernah bermain di sebuah band,” jelas Farel. “Dulu sih bukan band yang besar atau terkenal. Tapi itu cukup menyenangkan bisa bergabung dengan band itu. Tapi itu hanya bertahan setengah tahun. Setelah itu-,” Farel tidak melanjutkan ceritanya dan termenung sebentar.
“Laluuu, apa yang terjadi selanjutkan?” tanya Zidan penasaran.
“Emmmm, setelah itu bandnya di bubarkan.” jawab Farel.
“Bubar? Cepat sekali. Kenapa?” tanya Ezra.
“Hahhhh, tapi kalian janji yah, jangan bilang Mirza kalau aku yang memberitahu kalian soal ini.” kata Farel.
“Iyah-iyah. Emang kenapa sih? Apakah seserius itu?” tanya Zidan.
“Yahh, bisa dibilang begitu.” Ferel yang dari tadi mimik mukanya agak ragu, menjadi serius, “Sebenarnya bandnya bukan bubar, bandnya masih berdiri. Bahkan sampai sekarang. Hanya aku dan Mirza saja yang keluar, yahhh, lebih tepatnya dikeluarkan.”
“Dikeluarkan kena-?”, “Kalian berdua dikeluarkan? Apa-apa itu? Terus nasib band kalian saat itu bagaimana, jika dua pemain musiknya langsung di keluarkan begitu?” tanya Ezra yang memotong pembicaraan Zidan.
“Enggak, bukan dua yang langsung dikeluarkan, tapi hanya satu. Dan yang di keluar itu Mirza." jawab Farel.
"Terus, kenapa lu juga keluar? " tanya Zidan penasaran.
"Tentu saja, Mirza adalah sahabat baikku. Aku tidak tega jika dia keluar begitu saja." jawab Farel.
"Waw, benar-benar persahabatan yang kuat yah." celetuk Zidan kagum.
Farel tidak menjawab dan hanya menjawabnya dengan senyuman.
"Ohhh, jadi dia trauma yah? " tebak Ezra.
Tentu saja, Ezra sendiri juga sudah pernah merasakan namanya trauma. Bahkan jauh lebih muda, Ezra merasakannya.
"Yah, aku kira juga begitu,” kata Farel setuju. “Maaf yah, sepertinya aku dan Mirza tidak bisa bergabung dalam band kalian."
"Yaudah lah, gak papa. Kita cari aja yang la-" kata-kata Zidan terputus karena tiba-tiba Ezra menyelanya. "Gua gak akan menyerah begitu saja. Gua janji akan membuat kalian bergabung dengan band ku." kata Ezra dengan penuh percaya diri.
"Percaya diri amet yah?“ ejek Zidan. “Kalau lu sendiri, mau gak ikut dalam band kami?" tanya Zidan ke Farel.
"Sebenarnya mau sihh, tapi aku sendiri gak begitu yakin masih bisa main drum, atau tidak."
"Gak papa. Kita bisa sama-sama belajar.“ kata Zidan.
Oh yah ngomong-ngomong, aku jadi penasaran deh. Kau bilang kan grup band mu masih berdiri sampai sekarang kan?" tanya Ezra. "
Yahh, kalau tidak salah begitu." jawab Farel.
"Lalu apa nama grup band nya?" tanya Ezra yang tiba-tiba antusias dan ingin tau itu.
"Kalau gak salah sih namanya Akta. Tapi itu dulu. Mungkin sekarang mereka udah mengganti namanya." jawab Farel yang juga tidak yakin.
"Ohhh begitu yah,” kata Ezra sambil menganggukan kepalanya, tanda iamengerti. “Oh yah, lu kalau ngomong gak usah sopan-sopan amet sama kita. Kalau mau manggil Zidan, gak udah pake kakak, pake lu, gua aja gak papa kok. "
"Hahahahahaha, begitu yah. Ak- gua akan mencobanya."
Ezra dan Farel yang sedang seru-serunya mengobrol, terkejud karena perilaku Zidan yang tiba-tiba aneh itu.
"Baiklah kalau begitu." kata Zidan yang langsung bergegas pergi, mengejar Mirza yang masih berada di luar.
"Eh Zid, lu mau kemana?" tanya Ezra yang kebingungan dengan kelakuan Zidan. Zidan tidak menjawab pertanyaan Ezra, dan terus berlari mengejar Mirza yang sedang duduk di bangku di luar restoran. Saat Zidan hampir sampai di hadapan Mirza. Mirza yang tadi sedang membaca buku, menutup bukunya dan pergi menjauhi Zidan.
"Eh tunggu." panggil Zidan sambil mencengkam tangannya Mirza.
"Lepaskan." katanya sambil mendorong tubuhnya, menjauh dari Zidan.
"Eh lu gak usah egois deh. Sahabat lu mau ikut band kami. Tapi gara-gara lu ia jadi dilema kan." sengit Zidan.
"Eh denger yah!“ kata Mirza, menaikan nada suaranya. “Dia melakukan itu semua karena keputusannya sendiri. Gua gak pernah nyuruh dia untuk ngikutin gua. Salah sendiri kenapa dia ampe keluar Band cuma gara-gara gua keluar, dasar bodoh!" batin Mirza.
"Eh lu jangan asal ngomong deh. Farel itu peduli sama lu. Lu nya aja yang terlalu BEGO untuk mengetahui nya." kata Zidan, menekan kalimatnya. Lalu mencengkam baju Mirza.
"Berisik lu,” bentak Mirza. “Dia nya aja yang bodoh. Dari kecil sampai sekarang sifatnya samaaa aja." lanjutnya.
Mirza tidak menyadari bahwa sebenarnya Farel dan Ezra ada dibelakangnya dan mendengar semua percakapan Mirza dan Zidan.
"Mir? " tanya Farel yang berdiri dibelakang Mirza.
"Farel? Lu, lu-", "Dasar bodoh." sengit Zidan yang memotong pembicaraan Mirza. Lalu melepaskan cengkamannya dari baju Mirza. Farel hanya tersenyum tapi sebenarnya ia merasa sangat sedih dan kecewa. Tapi apa boleh buat, sifatnya memang seperti itu. Farel tidak suka menunjukkan bahwa dirinya sedang sedih. Ia selalu mencoba untuk tersenyum dan menganggap bahwa semuanya baik-baik saja.
"Sepertinya masih ada sesuatu yang kalian akan bicarakan. A-aku akan pulang duluan saja. Supaya aku tidak menjadi penghalang kalian." kata Farel sambil pergi meninggalkan yang lain.
"Tung-" Mirza tidak berani mengejar Farel. Ia pun juga pergi ke arah yang berbeda, meninggalkan Ezra dan Zidan berdua.
"Ehh, tunggu! Kalian berdua. " panggil Ezra mencoba mengejar Mirza tapi di hentikan oleh Zidan.
"Udah, biarkan saja mereka.“
"Tapi kalau mereka tidak akan baikkan lagi bagaimana?" tanya Ezra, khawatir.
"Gua yakin gak mungkin. Mereka sudah sahabatan sejak mereka kecil. Cuma masalah beginian mah, gua yakin mereka akan baikkan lagi." kata Zidan yang terlalu percaya diri.
"Masa sih? Gua kok gak yakin yah."
"Yaudah, coba nanti lusa kita ke kampus mereka.” tantang Zidan. “Palingan mereka udah baikan."
"Yaudah terserah lu dah.“ kata Ezra mengalah. Lalu berjalan pergi meninggalkan Zidan.
"Woii tunggu napa. Nanti lu nyasar lo. "teriak Zidan sambil menahan tawanya. Zidan dan Ezra pun pulang kembali ke kos-kosan mereka masing-masing.
Malam harinya, dikamar asrama Ezra. Al mengirimkan pesan kepada nya.
Al: Ezr, besok lu ada acara gak?
Al: Oiiii, Ezraaaa!
Ezra yang sedang berusaha keras mengerjakan tugasnya, menjadi terganggu.
"Astaga, nih bocah kenapa sih? Gangguan aja malam-malam." keluh Ezra sambil melempar handphonenya keatas kasur, menjauh dari dirinya. Tapi sepertinya hanya meletakkan handphonenya dikasur, tidak membuat Al menyerah. Al malah menelepon Ezra terus-menerus, sampai membuat Ezra stress. Dan terpaksa untuk menjawab telepon nya. Saat di telepon.
"Akhirnya lu angkat juga, gua telpon-telponin dari tadi juga.” Kata Al yang sama sekali tidak merasa bersalah.
"Eh lu ngapain sih telpon-telponin orang malem-malem? Gua kan lagi sibuk tau." bentak Ezra dalam telepon.
"Hahahahahaha, sibuk? Sibuk ngapain Ezr? Tidur? Hahahaha."
" Buset lo! Orang gua beneran sibuk. Ada apa sih?"
"Ini, gua mau ngajakin lo pergi ke konser temen gua besok minggu. Lu mau ikut gak?" tanya Al.
“Maksud lu, hari minggu besok?” tanya Ezra.
“Enggak, minggu depannya lagi.” jelas Al.
"Ya ampun, minggu depan masih lama BAMBANG! Lu kasih tau nya besok atau hari senin pas ketemu juga bisa kan? Kenapa harus malem-melem begini sih?" protes Ezra.
"Lo tau sendiri gua orangnya pelupa. Dari pada gua lupa, nanti gua juga yang kena marah ama lu. Gara-gara gak ngajak lu. Jadi lebih baik sekarang aja. Mumpung gua masih ingat."
"Terserah lu aja lah. Tapi ngomong-ngomong, konser? Temen lu yang mana?" Emang ada temen kita yang bisa main musik?" tanya Ezra.
"Lah iyah lah, lu kan gak pernah ketemu sama orangnya. Jadi pantas lu gak kenal."
"Terus lo kenal dia dari mana?"
"Gua pernah bantuin dia pas dia jatuh dari motor setahu yang lalu. Terusss yah jadi temenan deh."
"Baik banget lu mau nolongin orang."
"Yaiyah lah."
"Siapa nama temen lu? Terus apa nama grup band nya?"
"Aaaaa, Iniii, lu kenal grup band namanya Akta gak?"
"Akta? Kok kaya gua pernah dengar deh."
"Ohhh itu kan grup band nya Farel dulu" katanya dalam hati.
"Mereka itu grup band yang sedang naik daun tahu."
"Ya-ya, terus hubungan lu sama mereka apa?"
"Gua temenan sama pemain bass mereka it. Jadi pas mereka menggelar konser gua di ajak sama dia."
"Lu temenan sama pemain bass nya? Keren banget lu. Tapi masa sih? Gua kok jadi gak percaya yah."
"Astaga, gua ngomong jujur kok. Tapi terserah lu mau percaya apa tidak, bukan urusan gua. Gua cuma pengen nanya, lu mau ikut apa enggak ?"
"Dimana emang tempatnya? Jauh gak?
"Enggak kok. Naik busway sebentar udah nyampe. Di itu, aaaa, Lapangan D Senayan, lu tau kan?" tanya Al.
"Ohhh iyah-iyah gua tau.“ jawab Ezra.
"Itu doang sih yang gua mau omongin. Yaudah gua tutup yah. Selamat malam."
"Yahhh, selamat malam juga."
Ezra mematikan teleponnya. Saat ia melihat jam di handphone nya, ia terkejut dan segera membersihkan meja belajar nya.
"Ya ampun, udah jam 10 lebih aja. Gua siap-siap tidur aja ah,” kata Ezra berbicara sendiri. “Lagian nih tugas kan buat lusa. Gua emang rajin banget yah." puji Ezra untuk dirinya sendiri.
ns 15.158.61.11da2