Pintu yang kami lewati mengarah ke tanah lapang tempat para pedagang memarkir gerobak-gerobak. Agak jauh di sebelah kiri kami ada banyak tumpukan gerobak yang sudah tidak terpakai. Kutarik lengan Mama untuk mengikutiku berlari ke tumpukan gerobak itu. Aku khawatir orang-orang akan mengejar kami.
Kami berjongkok di sebelah tumpukan gerobak. Aku mengintip melalui celah. Beberapa orang ternyata memang mengikuti kami.
"Cari ibu-ibu tadi," kata salah satu dari mereka. Mereka pun berpencar.
"Amankah?" tanya Mama.
"Mereka nyari kita," jawabku.
Mama terisak. "Mama takut banget."
"Udah, Mama tenang aja. Di sini banyak sampah gerobak. Mereka pasti susah nyari kita," kataku.
Orang-orang itu tidak terlihat lagi. Namun, aku tebak mereka pasti sudah menduga kami bersembunyi di salah satu tumpukan gerobak.
"Mama tunggu di sini ya, aku mau cari jalan keluar yang aman," kataku.
Mama mencengkeram pundakku. "Jangan tinggalin Mama di sini!"
"Selama Mama diam di sini, Mama pasti aman. Mama gak bakal kelihatan dari luar," kataku menenangkan.
"Tapi kami cepat kembali ya," pinta Mama penuh harap.
Aku mengangguk. "Pasti Ma."
Mama melepas cengkeramannya. Aku bergegas berlari menuju tumpukan lainnya.
Begitu yakin Mama tidak melihatku, aku berbalik dan mengintip Mama. Kulihat Mama celingkukan ke kiri dan kanan. Wajahnya terlihat waspada.
Aku mencari tempat bersembunyi lain yang lebih aman dan bisa memantau Mama lebih jelas. Tidak jauh dari tempatku berdiri, ada tumpukan rongsok yang agak cekung. Aku pindah ke cekungan itu karena tempatnya lebih tersembunyi. Mama juga terlihat lebih jelas karena jarak kami cuma beberapa meter saja.
Mama berjongkok sambil terus mengawasi sekeliling. Kedua tangannya menangkup. Tampaknya ia sedang berdoa.
Di kejauhan, aku melihat dua orang yang mengejar kami sedang berjalan mendekati Mama. Tampaknya mereka tidak menyadari Mama, begitu pula sebaliknya.
Seharusnya Mama bakal selamat kalau saja tidak banyak bergerak. Lengannya menyentuh sudut tumpukan yang rapuh. Akibatnya tumpukan itu bergoyang pelan dan kayu-kayu di atasnya berjatuhan.
Kedua orang itu berhenti dan menyaksikan kayu yang jatuh itu. Mereka menundukkan badan, lalu melangkah mendekati tempat persembunyian Mama sepelan mungkin.
Kunyalakan kamera smartphone. Momen ini tidak boleh disia-siakan.
Mama menjerit saat lengannya dipegang salah satu pria itu. Rekannya bersiul nyaring memanggil temannya yang lain. Beberapa menit kemudian, ada lima pria datang dan mengerumuni Mama.
"Ketangkep juga ini ibu," seru salah satu dari mereka.
"Ampun pak! Ampun pak!" jerit Mama.
Mama ditarik keluar dari tempat persembunyiannya. Aku merasa kasihan, tegang, sekaligus penasaran melihatnya. Kamera smartphone-ku terus mengarah ke mereka.
"Kamu kenapa gak pakai celana?"
Mama menjelaskan alasannya dengan suara serak dan patah-patah. Para penangkapnya tampak tidak percaya.
"Mana ada maling di sini. Jangan sembarangan nuduh kamu!"
"Sumpah Pak, saya gak bohong," kata Mama dengan suara serak.
"Mana anakmu?"
"Dia pergi cari jalan keluar," jawab Mama.
"Kamu gak ngentot sama anakmu 'kan?"
Mama menggeleng. "Astagfirulloh. Kami gak ngapa-ngapain Pak."
"Buka memekmu. Kita periksa ada pejuhnya gak. Kalau ada, berarti kamu main gila sama anakmu."
Mama berlutut di depan orang-orang itu. "Ampun Pak. Saya gak bohong."
"Ayo buka!" bentak orang itu.
Dua orang di belakang Mama menarik kemejanya sampai robek, lalu mengangkat tubuh Mam yang kini cuma memakai beha supaya berdiri. Mama meronta-ronta, tapi tenaga kedua orang itu lebih kuat. Akhirnya ia terpaksa berdiri.
"Buka memekmu lebar-lebar!" bentak orang itu lagi.
Mama memasukkan kelima jari tangannya ke memek, lalu membuka memeknya lebar-lebar. Mereka tertawa cekikikan.
"Kita belum tahu kalau belum disentuh," kata orang yang membentaknya tadi. Ia meludahi memek Mama, kemudian mencoloknya dengan jari telunjuk.
"Ampun Pak! Ampun Pak!" erang Mama.
Orang itu tidak menggubris Mama. Ia terus saja mencolok lebih dalam sampai seluruh jari telunjuknya tenggelam di memek Mama.
"Kok basah nih? Kamu ngompol ya?" tanya orang itu.
"Sa-saya tadi abis kencing," kata Mama.
"Oke, gak ada pejuh nempel di dalam," kata orang itu sambil mencabut jarinya dari dalam memek Mama.
Ia memandang Mama sebentar. "Buka anusmu. Siapa tahu dia pakai pantatmu," perintahnya.
Kedua temannya yang berjaga di belakang Mama langsung memutar tubuh Mama. Mama meraih belahan pantatnya, lalu membuka lebar pantatnya. Meski di kejauhan, aku bisa melihat anusnya menganga.
Orang itu mencolok jarinya ke dalam anus Mama, seperti yang ia lakukan ke memeknya.
"Aduh!" jerit Mama saat jari orang itu masuk semakin dalam ke anusnya.
"Lebih sempit yang ini," komentar orang itu yang diikuti tawa teman-temannya.
Adegan itu memang menyedihkan, tapi entah mengapa aku sangat menikmatinya. Kukeluarkan kontolku yang sudah mengeras dari tadi, lalu kukocok sambil terus mengamati mereka.
Setelah puas mengobok-obok anus Mama, orang itu mencabut jarinya. Ia menunjuk ke beha Mama.
"Lepas juga behamu," katanya. "Siapa tahu ada bekas cupangan."
"Ampun Pak. Sudah cukup memek saya kelihatan," isak Mama. Wajahnya basah karena air mata.
"Kelamaan kamu!" bentak orang itu. Ia mencengkeram beha Mama, lalu menyentaknya. Dalam sekali sentakan, beha itu terlepas, diikuti jeritan Mama.
Mama menutup teteknya dengan kedua tangannya. Ia jelas sangat ketakutan karena kakinya bergetar hebat.
"Kasih lihat tetekmu!" Seru orang itu. Ia menarik tangan Mama, tapi Mama melawan balik. Salah satu rekannya ikut menarik tangan Mama. Dua orang lawan satu orang. Mama jelas kalah. Tangannya pun terbuka, memperlihatkan tetek telanjang yang tadi disembunyikan.
Semua orang bersiul melihat kedua tetek Mama yang ranum.
"Punya istriku aja gak segede itu," komentar salah satu dari mereka.
"Pentilnya gede amat," komentar yang lain.
"Wih uratnya sampai kelihatan."
Orang-orang mulai ribut mengomentari tetek Mama.
Orang yang membentak tadi meraih salah satu tetek Mama, lalu meremasnya. Mama melenguh kesakitan.
"Bagus bener ini tetek, gedenya kayak tetek sapi," komentar orang itu. Ia memilin pentil Mama, kemudian menariknya. Tetek Mama jadi memanjang. Orang itu melepas jepitannya dan tetek Mama terpental ke posisi semula seperti karet. Ia melakukan hal yang sama ke tetek Mama satunya.
"Gantian dong pegangnya," keluh salah satu temannya.
"Pegang dah buat bahan ngocok," kata orang itu sambil melangkah mundur supaya temannya bisa ikut meraba-raba Mama.
Dua orang di belakang Mama ikut meremas tetek Mama dari belakang. Tangan mereka juga bergantian menelusup di anus dan memek Mama.
Kejadian itu begitu luar biasa sampai aku memuncratkan pejuh dua kali. Anehnya, kontolku masih keras.
"Aduh aku gak tahan!" seru salah satu dari mereka. Ia menurunkan celana dan memperlihatkan kontolnya ke Mama.
"Kamu isep ini!" serunya sambil menarik jilbab Mama sampai kepala Mama menunduk. Wajah Mama menempel di kontol orang itu.
Aku buru-buru mematikan kamera, lalu berlari ke arah mereka.
"Stop! Stop!" teriakku.
Ujung kepala kontol orang itu sudah menyentuh bibir Mama dan hampir saja masuk kalau aku tidak segera menariknya menjauh dari Mama.
"Itu anaknya," bisik salah satu dari mereka.
"Tahu darimana?"
"Lihat aja mukanya mirip."
Aku berdiri di depan Mama, membatasinya dari mereka.
"Kalian apain ibuku!" bentakku. Meski badanku lebih kecil dari mereka, tapi mereka terlihat ketakutan.
"Kami cuma nanya kenapa dia gak pakai celana di pasar," jawab orang yang memaksa Mama menghisap kontolnya tadi. Kontolnya masih menjuntai keluar.
Aku menoleh ke Mama yang terisak. "Mama sudah jelasin ke mereka?"
Mama mengangguk. "Mama udah jelasin, tapi mereka gak percaya."
"Kulaporin polisi biar keok kalian!" bentakku. Orang-orang itu semakin mundur.
"Kalian pulang ajalah," kata salah satu dari mereka. Setelah berkata begitu, mereka lari masuk ke lorong pasar.
Mama terduduk di tanah. Napas tersenggal-senggal. Pundaknya turun seperti orang kehabisan tenaga.
Aku menepuk pundaknya. "Mama gak usah takut lagi. Mereka udah pergi."
"Terima kasih Nak," ujar Mama sambil mengusap air mata dengan jilbab. "Dikit lagi, Mama bakal diperkosa sama mereka."
"Yuk kita pulang," kataku. Kubantu Mama berdiri. Sambil membantunya berdiri, kuremas pantat Mama. Bongkahan pantatnya lebih padat dari yang aku kira. Mama tidak menyadari remasanku karena terlalu sedih memikirkan kejadian yang menimpanya.
Mama kubopong sampai keluar dari area tumpukan gerobak. Mobil kami terlihat dari kejauhan.
"Dikit lagi sampai Ma," kataku menenangkan
Mama diam saja. Kedua matanya terpejam. Kalau saja aku tidak mendengar napasnya yang tersenggal, mungkin aku sudah mengiranya pingsan.
"Ku-kunci mobil?" tanya Mama. Suaranya nyaris tidak terdengar.
"Ada sama aku," jawabku sambil memperlihatkan kunci mobi. "Biar aku aja yang bawa mobilnya. Mama istirahat aja."
"Emang kamu bisa?"
"Bisa dikit Ma. Kan bulan kemarin Mama ngajarin aku bawa mobil."
Kubawa Mama menyeberang jalan. Mumpung Mama masih syok, kuselipkan jari telunjukku ke dalam belahan pantatnya, lalu kulebarkan anusnya. Lumayan cicip-cicip.
Sebuah sepeda motor lewat di sebelah kami. Pengemudinya menoleh ke arah Mama sampai hampir menabrak ayam yang lewat.
Tukang parkir terkejut melihat Mama.
"Ibunya gak apa-apa?" tanya tukang parkir.
"Gak apa-apa. Sakit dikit," kataku sambil membuka pintu mobil. Mama kududukkan ke kursi penumpang di depan dan aku duduk di kursi kemudi. Jilbab Mama kulepas supaya dia bisa lebih bebas bernapas.
Kuputar kunci mobil. Mesin mobil berderu. Kuinjak pedal gas dan mobil bergerak ke jalan raya.
ns 15.158.61.8da2