Ruangan ini tampak asing saat aku membuka mata. Aku sedikit kebingungan apakah aku masih bermimpi atau sudah bangun. Namun, lama-lama aku menyadari kalau aku berada di kamar kedua orangtuaku.
Mama masih tidur di sebelahku. Tangannya masih memelukku erat seakan-akan aku adalah gulingnya. Ia tidak mengenakan pakaian sehelai pun, begitu pula aku.
Lima botol anggur merah tergeletak di atas meja rias Mama. Semuanya kosong. Jadi ini penyebab kepalaku terasa pening.
Kucoba untuk mengingat-ingat kejadian semalam.
Setelah keluar dari desa sebelah, aku mampir ke sebuah warung kecil untuk membeli minuman anggur merah. Tentu saja pakai uang Mama karena aku tidak membawa dompet. Si penjual minuman cuma melongok saja melihat Mama. Ia tidak mengenali kami karena hari sudah gelap dan kami mengenakan masker medis.
“Kok telanjang gitu ceweknya?” tanya si penjual minuman.
“Buat pemanasan sebelum ngentot,” jawabku sebelum naik ke sepeda motor. Si penjual mengomel karena ucapanku yang tidak sopan.
Kami melesat menuju rumah. Di sepanjang jalan, kami berjumpa beberapa kendaraan bermotor dan semuanya memaki-maki kami lewat klakson. Tapi mereka tidak ada yang mengejar kami sehingga kami bisa sampai ke rumah lebih cepat.
Beberapa meter sebelum sampai rumah, aku harus mematikan mesin sepeda motor supaya tetangga tidak menyadari kehadiran kami. Sepeda motorku meluncur dalam hening. Begitu sampai pagar rumah, Mama membuka pintu pagar dan bergegas masuk ke dalam rumah sebelum mengundang perhatian tetangga.
Sembari menunggu Mama selesai mandi, aku memutar semua rekaman-rekaman video yang ada di smartphone-ku. Jumlahnya ada dua puluh lebih karena aku harus mematikan kamera dan menyalakannya kembali supaya durasinya tetap pendek. Dengan video sebanyak ini, posisiku sudah jauh di atas angin. Aku yakin Mama tidak akan berani menentangku.
Mama keluar dari kamar mandi. Ia menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Tubuhnya dibiarkan telanjang bulat.
“Wah Mama sudah gak malu lagi ya telanjang bulat di depanku,” kataku.
“Buat apa malu, toh kamu sudah sering lihat Mama telanjang,” sahut Mama.
“Mumpung Mama masih seger abis mandi, foto-foto dululah.” Kuarahkan kamera smartphone ke Mama. “Ayo Ma, pose yang seksi.”
“Mama gak tahu pose seksi,” ujar Mama.
“Kalau gitu coba Mama buka memek Mama.”
Mama membuka memeknya dengan jari-jari tangannya. “Begini?”
“Kurang lebar Ma. Sampai itil Mama kelihatan deh.”
Memeknya terbuka lebih lebar sampai gumpalan daging sebesar kacang menyembul keluar.
"Nah, begitu, bagus!" Kuambil beberapa foto. "Tersenyum dong Ma. Masa surem gitu mukanya." Kuambil lagi beberapa foto. "Sekarang coba Mama isep pentil Mama sendiri."
"Tetek Mama mana nyampe ke mulut." Mama mengangkat teteknya dengan kedua tangan sampai mendekati wajahnya. Ia kaget sendiri ketika tahu kalau pentilnya berhasil menyentuh bibirnya.
"Mama gak bakal tahu kalau belum mencoba." Kuambil lagi beberapa foto. “Isep pentilnya yang kenceng Ma, sampai kulitnya tertarik.
Mama menyedot pentilnya lebih kencang. Urat-urat di sekitar aerolanya sampai menonjol. Kameraku terus-terusan menangkap momen berharga itu.
Mendadak aku mendapat ide.
“Tunggu sebentar.” Aku pergi ke kamarku untuk mengambil spidol hitam besar. Kukocok spidol itu supaya tintanya merembes di ujung karena spidol itu jarang kupakai.
Di tetek Mama, kutulis besar-besar:
LONTE KAMPUNG
Lalu di bawah udelnya kutulis besar-besar pula:
NGENTOT GRATIS
“Nah begini keren.” Aku memuji karyaku. “Sekarang Mama rentangkan tangan, ya begitu, renggangkan kedua paha Mama juga, nah begitu. Siap ya.”
Kupotret lagi sampai belasan kali. Ah, kontolku membengkak melihat pose Mama yang begitu nakal. Ayah pasti tidak menyangka istrinya bisa senakal ini!
Selagi Mama bugil dan kontolku perlu asupan gizi, ini saat yang cocok buat ngentot.
Kutarik tangan Mama ke ruang tamu. Di belakang pintu ruang tamu terdapat dua sakelar lampu. Satu sakelar berfungsi untuk menyalakan dan mematikan lampu ruang tamu, sementara satunya lagi untuk menyalakan dan mematikan lampu teras depan rumah. Kumatikan lampu di teras depan rumah. Halaman depanku serta merta gelap gulita.
Kubuka pintu. Angin kencang berhembus masuk ke dalam ruang tamu. Kudorong Mama supaya keluar dari ruang tamu. Kami berdiri di teras depan rumah yang gelap. Satu-satunya cahaya berasal dari rumah tetangga di sebelah.
“Nak, kalau tetangga lihat gimana dong?” Mama mengamati rumah di sebelah.
“Di sini gelap Ma. Dia gak bakal lihat kecuali dia ngecek ke sini. Yuk kita ke pagar rumah.”
Aku dan Mama mengambil sandal, lalu melangkah ke pagar besi yang membatasi halaman rumahku dengan jalan di depannya. Kusuruh Mama menungging sambil berpegangan di pagar besi tersebut. Ia langsung melakukan apa yang kuperintahkan.
“Mama yang baik memang harus menuruti permintaan anaknya tanpa melawan.” Kutampar pantatnya keras-keras. Suaranya membelah kesunyian sekitar. “Mama jangan berisik ya, kecuali Mama mau dilihat tetangga.”
Kubasahi batang kontolku dengan ludah. Memek Mama masih agak kering, jadi kuselipkan jari telunjuk dan jari tengahku untuk merangsang memeknya supaya basah.
“Huuuuh.” Mama mendesah saat kedua jariku menembus masuk ke memeknya.
“Lonte kayak Mama harus dikentot setiap hari,” kataku sambil mengarahkan kontolku ke lubang memeknya.
“Aduh! Pelan-pelan Nak!” Mama memekik begitu kontolku memenuhi lubang memeknya.
“Ini sudah pelan, Mama aja yang terlalu berisik.”
Memek Mama terasa hangat dan basah. Kugerakkan pinggulku maju dan mundur. Setiap gesekan di memeknya membuat pikiranku terbang tinggi entah ke mana. Memek Mama benar-benar membuatku candu.
Tangan Mama mencengkeram terali pagar besi kuat-kuat sampai pagar itu sedikit bergoyang setiap kali aku bergerak memompa memek Mama. Jika pagar itu usianya lebih tua, pastilah pagar itu bakal rubuh.
“Mmmmm memek lonte kayak punya Mama memang paling top.” Kutampar pantatnya sekeras mungkin. Pantat yang tadinya sudah pulih dari kejadian saat jalan santai, sekarang mulai memerah kembali.
Memek Mama berkedut-kedut memijat batang kontolku. Kupegang pinggang Mama, lalu kumajukan pinggangku semaksimal mungkin sampai kulit kami menempel. Walau angin cukup dingin, pantat Mama banyak berkeringat sehingga terasa licin.
Plek! Plek! Plek!
Kontolku terasa semakin membengkak beberapa inci di setiap gerakan. Memek Mama seolah-olah menyempit.
“Huh hah huh.” Desahan Mama menguat. Aku mencubit perutnya untuk mengingatkannya supaya lebih tenang.
“Mama mau keluar,” bisik Mama.
“Aku juga Ma,” kataku sambil terus memompanya.
Memek Mama bertambah sempit, mengikuti kontolku yang bertambah besar. Kupompa memek Mama lebih cepat. Ini dia saatnya!
Kontolku memuncratkan pejuh ke dalam memek Mama. Kutekan pinggangku dalam-dalam biar benihku tersalurkan semua ke rahimnya. Otot-otot memek Mama mengejang, seakan-akan menyedot habis seluruh pejuh yang tersisa di batang kontolku.
Kubiarkan kontolku menancap di memek Mama sampai sisa-sisa pejuh terakhir keluar. Setelah kurasa tidak ada lagi pejuh yang tersisa, kucabut kontolku yang berlumuran cairan memek Mama.
“Aih leganya.” Kugesek-gesek batang kontolku yang loyo ke pantat Mama supaya bersih dari pejuh yang menempel.
Mama melepas pegangannya di pagar. Wajahnya terlihat letih. “Mama capek banget. Mama mau tidur.”
“Loh ini masih babak pertama. Yuk kita lanjut di kamar.” kudorong Mama masuk ke ruang tamu.
Itulah kenangan terakhir yang kuingat malam itu. Setelahnya aku cuma mengingat minum-minum sampai mabuk sambil mengentot Mama lagi, lagi, dan lagi. Aku tidak ingat mengentotnya sampai berapa ronde. Samar-samar aku ingat kalau Mama pingsan di ronde terakhir.
Aku bangkit dari ranjang. Kubuka gorden. Sinar matahari menerobos masuk ke kamar yang gelap.
Mama terbangun. Ia menutupi wajahnya yang silau terpapar sinar matahari.
“Selamat siang Ma,” kataku sambil tersenyum. “Sudah siap latihan lagi hari ini?”
ns 15.158.61.20da2