Kukunci pintu kamarku agar Mama tidak bisa masuk. Aku segera berganti baju, lalu berbaring di kasur. Kubuka folder di smartphone untuk melihat hasil rekaman tadi.
Foto itu terlihat buram, jadi aku harus mengeditnya supaya lebih cerah. Tampilannya memang jadi lebih jelas, meski ada beberapa titik buram di pinggirannya.
Kuperbesar gambar supaya bisa melihat bayangan memek Mama lebih jelas. Dari bayangannya yang tercetak di sempak, bisa kutebak kalau memek Mama mungkin agak longgar.
Kontolku mengeras lagi. Kali ini aku lebih tenang karena berada di kamarku sendiri. Kukeluarkan kontolku, lalu kukocok pelan-pelan. Kupandangi terus foto sempak Mama. Semakin kupandangi, semakin keras kontolku.
"Uh Mama," bisikku.
Kubayangkan diriku menindih Mama sampai kontolku masuk ke dalam memeknya yang hangat. Bulu-bulu jembutnya menggelitik batang kontolku. Ujung kepala kontolku menyentuh dinding rahimnya.
Mama mencengkram punggungku. Ia mengerang. "Jahat kamu Nak. Kita gak boleh begini! Kita ibu dan anak!"
Tapi masa bodo dengan ucapannya. Memeknya berdenyut dan memijat kontolku, toh itu tanda Mama menikmatinya.
Seluruh berat badanku kubebankan ke Mama. Kontolku semakin dalam menerobos memeknya. Erangan Mama semakin nyaring. Untung Papa lagi tidak ada di rumah. Jadi aku membiarkan dirinya mengerang sekeras mungkin.
"Jahat kamu! Jahat kamu!" erang Mama saat kupompa pinggulku. Keringat kami mengucur deras. Seprai di bawah Mama sampai basah, membentuk lekuk tubuhnya.
Denyutan memeknya semakin cepat, begitu pula dengan goyanganku. Aku sudah tidak tahan lagi.
"Aku mau keluar Ma!" teriakku.
"Jangan keluarin di dalam. Mama gak mau hamil anak kamu!"
Mama mendorong tubuhku, tapi tenagaku lebih kuat.
"Jangaaaaaan!" teriaknya.
Banyak sekali sperma yang muncrat dari lubang kontolku. Aku terus mengocoknya sampai tidak ada sperma yang tersisa. Begitu berhenti, aku segera mengambil tisu dan membersihkan sperma yang tercecer.
Badanku terasa enteng. Kupandangi kontolku yang loyo. Gila, membayangkan mengentot Mama saja sudah menguras sperma begitu banyak, apalagi kalau mengentotnya betulan?
Kupakai celanaku, lalu aku keluar dari kamar untuk mengambil minum.
Ternyata Mama sedang di dapur. Ia menunduk keranjang pakaian kotor. Tampaknya ia lagi memilah-milah pakaian.
Darahku mendesir karena Mama cuma mengenakan beha dan rok. Kurasakan kontolku mulai bangkit dari tidurnya.
"Kayaknya Mama lupa nyuci seragam yang lain," kata Mama. "Besok pakai apa dong."
"Gak usah pakai baju," kataku. Kalimat itu meluncur begitu saja. Aku buru-buru menutup mulutku.
Mama menatapku heran. "Apa kamu bilang tadi?"
"Mama 'kan bisa pakai baju lain. Gak harus seragam 'kan?" kataku sambil berharap Mama melupakan kata-kataku sebelumnya.
"Ya, bisa sih," kata Mama. Kedua teteknya yang sebesar pepaya bergoyang pelan saat ia membalik badan. Rasanya ingin sekali melepas beha yang menutupinya.
Aku sudah beberapa kali melihat Mama cuma pakai beha dan rok, tapi kali ini rasanya berbeda. Aku melihatnya dengan nafsu menggebu.
"Mama gak sesak pakai beha di rumah?" kataku. "Kayaknya beha Mama makin sempit."
Mama melirik ke behanya. "Iya sih, ini behanya makin sempit. Kayaknya Mama gemukan deh."
"Dilepas aja kalau di rumah Ma," kataku. "Gak ada yang lihat."
"Kamu yang lihat," kata Mama sambil tertawa.
"Gak tertarik lihat tetek Mama," kataku.
"Eh jangan salah, tetek Mama masih bagus," kata Mama. Ia meremas kedua teteknya.
"Mana coba lihat Ma."
"Tuh 'kan kamu tertarik." Mama terbahak-bahak. Kedua teteknya bergoyang naik turun saat dia tertawa.
"Mama mau mandi dulu, abis itu tidur siang," kata Mama. Ia mengambil handuk yang menggantung di tali jemuran, lalu pergi.
Aku memandangnya kecewa.
Mataku menangkap beha hitam kotor yang tergeletak di pinggiran keranjang. Kuambil beha itu, lalu kudekatkan ke hidung. Ada aroma keringat Mama bercampur parfum.
Kalau tidak bisa melihat teteknya, setidaknya aku bisa menghirup aromanya.
Keranjang pakaian kotor itu dipenuhi pakaian Mama. Dia memang sering berganti pakaian. Daster, sempak, dan behanya sampai menumpuk menutupi pakaianku dan pakaian Papa.
Tumpukan itu kubongkar. Tanganku menggenggam selembar sempak hitam Mama yang tipis. Lucu juga membayangkan bagaimana sempak setipis ini bisa menutupi pantat Mama yang tebal.
Kuhirup sempak Mama. Oh, aromanya mirip beha, tapi yang ini lebih banyak aroma keringatnya dan ada sedikit bau pesing.
Kubungkus kontolku yang sudah mengeras lagi. Sambil menghirup beha Mama, kukocok kontolku dengan sempak Mama.
Aduh enaknya, pikirku.
Kali ini aku keluar lebih cepat. Sempak Mama belepotan sperma. Aku segera mencucinya di wastafel, lalu menaruhnya lagi keranjang pakaian.
Tak lama kemudian, Mama keluar dari kamar mandi. Tubuhnya terbalut handuk dari dada sampai paha.
"Kamu lagi cari apa di dapur?" tanya Mama.
"Mau cari yang seger-seger," jawabku sambil beralasan membuka kulkas. Kuambil sebotol Fanta, lalu menuang isinya ke gelas.
"Loh kok pakaian Mama berceceran di lantai gitu?" tanya Mama.
DEG! Jantungku berhenti sebentar. Sehelai sempaknya tergeletak di lantai. Mungkin tadi tergeser saat aku membongkar pakaian dan jatuh.
"Kamu ada nyari pakaian apa?" tanya Mama.
"Nya-nyari kaos kemarin," jawabku.
"Kenapa dicariin?"
"Enak dipakai."
"Ada-ada saja. Kalau udah di sini gak usah dicariin. Tunggu Mama cuci aja."
Mama membungkukkan badan untuk mengambil sempak di lantai. Ketika tangannya menyentuh sempak, bagian bawah handuknya tertarik ke atas. Pantatnya jadi menonjol.
Aku ternganga melihat anus Mama meski sekilas. Di belaham pantatnya ada juga bulu-bulu jembut. Tampaknya Mama tidak rutin memotong jembutnya.
"Besok ajalah Mama cuci. Mama masih capek bener," kata Mama. "Atau kamu aja yang nyuci. Masa Mama melulu. Kamu ngerti pakai mesin cuci 'kan?"
"Ngerti Ma. Gampang kok. Mama tidur aja, biar aku yang nyuci," kataku.
"Ya udah kalau gitu. Mama mau tidur dulu."
Setelah Mama pergi, kumasukkan pakaian-pakaian kotor itu ke mesin cuci. Sebaiknya aku mencuci sekarang supaya Mama senang. Sempak bekas aku pakai coli tadi juga aku masukkan ke mesin cuci. Setidaknya aku bisa menghilangkan barang bukti.
Mesin cuci berderu nyaring saat kunyalakan. Sambil menunggu cucian selesai, aku pergi ke ruang tamu.
Dari arah kamar Mama, terdengar suara dengkuran. Mama sepertinya memang kecapekan. Jarang dia tidur mendengkur kecuali benar-benar capek.
Pikiran nakal kembali menguasai otakku.
Kuintip kamar Mama lewat lubang kunci. Kulihat Mama memunggungi pintu.
Kenop pintu kuputar sepelan mungkin. Terdengar suara klik pelan dan pintu terdorong ke dalam kamar. Begitu terbuka cukup lebar, aku berjalan menghampiri Mama sambil berjingkat.
Mama cuma mengenakan kaus dan sempak. Aku menelan ludah karena melihat bongkahan pantatnya yang terbungkus sempak tipis. Sempak itu seakan-akan tidak sanggup menahan beban berat di belakangnya.
"Kubantu melepaskan beban itu," bisikku.
Bagian belakang kaus Mama kugeser ke atas pelan-pelan sampai punggungnya yang kecokelatan terlihat. Kuendus punggung Mama. Ah, aromanya lebih kuat daripada sempak dan behanya.
Sekarang bagian tersulit.
Meski sempak Mama tipis dan karetnya agak longgar, aku tetap harus berhati-hati agar mengurangi gesekan di kulitnya.
Ada sedikit celah di antara belahan pantat Mama dan karet sempaknya. Kuselipkan ujung jari telunjukku ke dalam celah itu, lalu kunaikkan sedikit ke atas. Setelah itu, aku tarik karet sempaknya ke bawah sepelan mungkin.
Seperti tirai pembukaan teater, pelan-pelan seluruh bongkahan pantat Mama semakin terlihat. Awalnya cuma bagian tulang ekornya, lalu belahan pantat bagian tengah yang gelap, kemudian seluruh pantatnya menyembul keluar.
Sempak Mama kuturunkan sampai tepat di perbatasan paha dan pantat. Itu sudah lebih dari cukup.
Kudekatkan wajahku ke belahan pantatnya. Anusnya tidak terlihat karena terjepit pantat Mama yang besar.
Apa harus dibuka pakai jari? Bisa saja, tapi ini sangat berisiko karena Mama bisa terbangun.
Beberapa helai bulu jembut Mama mencuat keluar dari belahan pantatnya. Kujulurkan lidahku sampai meyentuh bulu jembutnya. Lidahku terasa geli seperti menyentuh sikat gigi.
Tiba-tiba alarm mesin cuci berdering. Fitur alat itu memang bisa mengeluarkan bunyi alarm ketika selesai menyuci.
Tubuh Mama bergerak-gerak. Tangannya merenggang ke atas.
Sial!
Aku merayap ke gorden terdekat, lalu menelusup masuk ke belakang gorden. Ujung gorden itu menyentuh lantai, jadi seluruh badanku tersembunyi aman.
Kudengar suara Mama menguap, lalu suara kasur berdenyit. Mesin cuci sialan itu terus berdering. Kemudian aku mendengar suara langkah kaki berat yang menjauhi kamar.
Aku mengintip dari pinggir gorden. Mama sudah pergi. Kemungkinan besar dia ke dapur buat mematikan mesin cuci. Ini kesempatanku buat kabur!
Aku lari menuju ruang tamu. Pelan-pelan kubuka pintu menuju teras supaya Mama tidak tahu kalau pintunya baru aku buka. Kemudian aku duduk di bangku kayu teras.
Beberapa menit kemudian, Mama membuka pintu teras. Ia melongok keluar. Aku pura-pura bermain game di smartphone.
"Kamu nyuci baju? Kok gak mesinnya gak dimatiin? Mama sampai terbangun," kata Mama.
"Wah aku lagi main game. Gak tahu kalau alarmnya bunyi," kataku.
Mama mengangguk. Wajahnya masih terlihat mengantuk. "Omong-omong kamu tadi masuk ke kamar Mama?"
"Nggak Ma. Aku dari tadi di sini."
"Aneh bener. Pintunya terbuka, terus sempak Mama melorot," kata Mama.
"Pintunya lupa ditutup kalik, Ma," kataku. "Terus Mama kayaknya juga harus beli sempak baru deh. Sempak-sempak Mama yang kotor udah pada longgar karetnya."
"Mungkin." Mama menggaruk kepalanya. "Mama mau tidur lagi. Kamu juga jangan main hape melulu. Banyakin belajar."
"Oke, Ma."
Mama menutup pintu.
Selutuh ototku terasa lemas. Hampir saja aku ketahuan!
Meski menegangkan, di satu sisi aku kecewa karena kalau bukan karena mesin cuci sialan itu, mungkin aku bisa menikmati pantat Mama lebih lama.
Aku bingung. Kenapa hari ini aku melihat Mama dengan sudut pandang berbeda? Apa karena mendengar gosip dari Indra? Apa wajar bernafsu sama ibu kandung sendiri?
Kepalaku jadi pusing memikirkannya. Kuputuskan untuk tidur siang sebentar.29413Please respect copyright.PENANAtMwnUtMzxh