Langit mulai gelap saat kami melesat di jalanan. Beberapa sepeda motor meneriakkan suara klakson ketika aku menyalip mereka. Sebuah mobil terpaksa mengerem mendadak karena aku muncul dari sebelah kiri dan tiba di depannya.
Wajarlah mereka seribut itu karena aku membonceng Mama yang tanpa memakai celana. Aku membayangkan para pengemudi sepeda motor dan mobil itu melihat buntalan pantat telanjang Mama yang berkilau terkena lampu kendaraan mereka.
"Kasih lihat anus Mama ke mereka!" Suaraku kurang jelas terdengar karena terpapar angin.
"Hah?" Mama tidak mendengar.
Kukeraskan suaraku. "Buka lubang anus Mama pakai tangan biar mereka lihat!"
Kali ini Mama mendengar. Ia memajukan badannya sedikit sampai pantatnya menungging. Kedua tangannya menjulur ke belakang. Meski tidak bisa melihat anusnya, aku bisa mengecek kalau Mama benar-benar menuruti perintahku dari kaca spion.
Klakso-klakson di belakang kami semakin memekik nyaring. Aku terbahak-bahak membayangkan mereka melihat pemandangan indah di depan mereka.
Repotnya adalah meski jalanan ramai kendaraan, tapi tidak ada lampu jalan yang menyinari jalanan. Tidak masalah jika aku berada di belakang karena terbantu sinar lampu kendaraan di depanku. Lain cerita kalau harus menyalip kendaraan lain dan berada di ururan terdepan. Jalanan begitu abu-abu dan tanganku harus lincah mengendalikan sepeda motor agar tidak mengarah ke lubang jalan yang tersamar.
Tiba-tiba seekor ayam melintas di depan. Untung aku sempat melihat bayangan ayam itu sebelum ia menyeberang jalan, jadi aku bisa menginjak pedal rem sehalus mungkin sehingga sepeda motorku tidak terjungkal. Meski begitu, Mama tetap tersentak ke depan. Kedua tangannya sempat memeluk pinggangku sebelum aku menginjak pedal rem. Teteknya yang tebal menabrak punggungku. Yah setidaknya kalau ada apa-apa, Mama punya pengaman alamiah sendiri.
Kami tiba di area perkebunan bawang. Di sebelah kiri dan kanan terbentang lahan perkebunan yang luas. Cuma ada lima rumah yang dibangun saling berjauhan. Meski sepi rumah dan warga, jalanan semakin padat kendaraan. Teriakan-teriakan klakson memekik di mana-mana, padahal tidak macet.
Hebat sekali pantat Mama karena bisa bikin keributan di mana-mana.
"Wih lihat tuh!" seru anak-anak yang mau berangkat mengaji. Mereka melongo saat kami melintas di depan mereka. Senter-senter kecil di tangan mereka menyorot ke arah kami. Aku berani bertaruh kalau mereka baru pertama kalinya melihat pantat sepadat punya Mama.
Ada sekitar tujuh sepeda motor yang mengekor kami. Setiap kali aku membelok, mereka ikut membelok. Lampu sepeda motor mereka menyorot tepat di belakang kami. Sudah jelas mereka mengincar Mama.
Walau tujuanku biar Mama dilihat banyak orang, tapi instingku mengatakan ini terlalu berbahaya.
Adrenalinku terpacu. Kutancap gas sampai aku beberapa meter lebih jauh dari mereka. Mereka sempat kebingungan sebentar, lalu ikut melaju. Tampaknya mereka benar-benar ingin menangkap kami.
Pikiranku berputar-putar mencari jalan keluar.
Tahun lalu, aku dan Indra pernah ke daerah ini untuk memancing. Seharusnya ada sebuah jalan kecil yang nyaris tidak terlihat dari jalan besar karena tertutup pepohonan lebat. Satu-satunya petunjuk keberadaan jalan itu adalah sebuah batu besar dengan coretan cat merah di atasnya.
Aku melihat ke kiri dan kanan untuk memastikan keberadaan batu tersebut. Namun, pinggiran jalan kosong melompong. Cuma ada pepohonan dan pagar bambu. Mungkinkah batu itu sudah dipindah? Atau malah terlewat?
Sekilas aku melihat bayangan batu besar yang mirip dengan ingatanku soal batu penanda jalan. Seandainya lampu sepeda motor ini belum aku perbaiki dua bulan lalu, aku pasti tidak akan melihat batu itu karena terlalu gelap.
Kuputuskan untuk mengambil risiko. Kumatikan lampu sorot, lalu kubelokkan sepeda motor tepat di samping batu tersebut. Dalam hati, aku cuma mengandalkan keberuntunganku saja semoga tanah yang kuinjak bukan lumpur atau lubang.
Roda sepeda motor menginjak jalan yang berkerikil. Mama memeluk pinggangku erat-erat. Aku bisa merasakan kedua teteknya berguncang di punggungku mengikuti guncangan sepeda motor.
Ah dugaanku benar. Ini memang jalan yang dulu pernah aku lalui dengan Indra. Aku ingat sensasi kerikil jalanan dan deretan pohon cempedak memang ditanam warga.
"Kita mau ke mana? Di sini gelap betul," keluh Mama.
Aku menoleh ke belakang. Ketiga penguntitku sudah hilang, tapi aku masih bisa mendengar deru mesin sepeda motor mereka. Kelihatannya mereka tidak tahu jalan tersebut atau tidak tahu kalau aku masuk ke jalan itu.
Untuk sementara, kami aman dari mereka.
Kunyalakan lampu kembali. Mesin sepeda motor kupacu untuk menerobos jalanan berkerikil. Masih ada kemungkinan mereka mengikuti, jadi aku harus terus bergerak maju.
Jalanan itu mengarah ke kolam buatan yang dipakai warga untuk memelihara ikan. Kolam itu yang dulu menjadi tujuanku memancing bareng Indra. Tapi kali ini tujuanku bukan ke kolam itu, melainkan berjalan lurus terus sampai tembus ke jalan besar lainnya.
Di ujung jalan, permukaannya cukup menanjak sehingga aku harus menarik gas supaya sepeda motorku sanggup mendakinya. Tahu-tahu kami sudah berada di pinggir jalan yang sepi. Namun, kali ini ada banyak lampu jalan yang menyala di pinggiran jalan. Jalan kerikil sebelumnya tergantikan oleh jalan aspal. Jalan ini sepertinya tidak terhubung dengan jalan besar lainnya.
"Hah bebas juga dari mereka." Aku menyeka keringat. "Mama aman?"
Kedua tangannya masih memeluk erat pinggangku. "Mama cuma gemetar sedikit. Mama udah siap-siap kalau jatuh."
"Haus nih. Cari minum yuk." Mesin sepeda motor kutancap lagi.
Jalanan itu sepi dan tidak ada warung yang buka. Pintu rumah-rumah di sekitar tertutup rapat. Barangkali karena sudah masuk magrib.
Setelah sepuluh menit berjalan tanpa hasil, aku melihat kerlap-kerlip cahaya di kejauhan. Semakin dekat, aku bisa melihat papan Indomaret terpampang jelas di depan sebuah bangunan yang lebih bagus dan kokoh daripada rumah-rumah di sekitarnya. Bangunannya juga tampak luas. Aku tidak menyangka bakal menemukan Indomaret sebagus itu di tempat sesepi ini.
Aku berhenti di parkiran Indomaret. Ada dua sepeda motor lainnya yang terparkir. Awalnya aku curiga apakah itu termasuk dua sepeda motor yang tadi mengikutiku, tapi setelah kuperhatikan baik-baik, ternyata bentuknya berbeda.
"Nah, Mama belikan aku air mineral dingin dong," kataku. "Mama terserah mau minum apa. Pakai uang Mama ya."
Mama turun dari sepeda motor. Ia mengamati bangunan Indomaret itu dengan seksama. Tampaknya ia sedang menilai apa banyak orang di dalamnya atau tidak.
Kuberikan dompet Mama yang kusimpan di jok sepeda motor. Mama menjepit dompet itu di ketiaknya, lalu melangkah masuk melewati pintu kaca yang tergeser otomatis.
ns 15.158.2.213da2