Dibandingkan sekolah-sekolah lain di desa, sekolahku cukup luas dan fasilitasnya oke. Bangunannya memang belum bertingkat seperti sekolah di kota, tapi bangunannya kokoh dan bersih. Paijo selalu mencabuti rumput-rumput liar di halaman sekolah, mengecat dinding yang mulai kusam, dan memperbaiki dinding atau atap yang rusak.
Gedung guru dibangun terpisah dengan gedung sekolah. Ruangan di gedung guru cuma ada 4: ruangan kepala sekolah, ruangan semua guru, gudang penyimpanan alat-alat mengajar, dan toilet. Sedangkan gedung sekolah cuma berisi 3 kelas: X, XI, dan XII. Kelas terdekat dengan gedung guru adalah X dan ruangan paling ujung adalah XII.
Di depan gedung sekolah terdapat lapangan upacara yang juga dipakai untuk senam di setiap hari Jumat. Agak jauh di belakang sekolah ada gedung kecil yang digunakan sebagai kantin. Melangkah lebih jauh lagi, ada satu lapangan yang basket yang juga bisa digunakan sebagai lapangan voli.
Ruang UKS terletak di pojok deretan kelas XII. Tidak ada cara lain menuju UKS selain Mama harus berjalan melewati teras kelas.
Toilet siswa berada di bangunan terpisah dan letaknya cukup jauh di belakang gedung sekolah. Tidak masalah kalau mau ke toilet saat cuaca cerah, tapi jadi masalah besar kalau hujan deras karena harus berlari-lari melintasi jalan setapak yang mengarah ke toilet.
Mama berdiri di teras kelas yang sepi karena kegiatan belajar sudah dimulai. Kakinya gemetaran. Ia mengamati sekelilingnya dengan waspada. Sejauh ini cuma ada seekor kucing yang melintas di halaman sekolah. Paijo mungkin masih memotong rumput di lapangan parkir, guru-guru lagi mengajar, dan murid-murid jelas lagi fokus belajar.
"Mama jangan kelamaan berdiri di sini. Keburu ada yang lihat," kataku.
Ia menarik napas panjang, lalu melangkah maju. Kelas yang harus dilewati pertama adalah kelas X.
Mama melangkah cepat-cepat. Pintu kelas dalam keadaan tertutup, tapi jendela-jendelanya terbuka. Murid-murid di dalam bisa melongok keluar.
Mama menarik bagian bawah kemejanya agar menutupi sebagian memeknya. Langkahnya memang cepat, tapi terkadang kakinya goyah karena Mama mengenakan sepatu high heels. Setelah susah payah, akhirnya ia bisa melewati kelas X.
Aku mengikuti Mama sambil tersenyum. Masih ada sisa dua kelas lagi untuk dilewati.
Pintu kelas XI juga tertutup, cuma terdengar suara berisik dari dalam. Dari suaranya, kelas itu sedang diajar Bu Sartika yang memang lembut ke murid-murid. Jadi murid-murid suka ribut kalau diajar beliau.
Mama terus melangkah dengan kecepatan tinggi. Saat hampir melewati kelas XI, ujung sepatu Mama tergesek lantai. Ia hampir kehilangan keseimbangan kalau saja tidak berpegangan dinding.
Walau terhambat beberapa detik, murid-murid yang duduk di dekat jendela jadi menoleh ke Mama. Mereka melongo melihat Mama.
"Itu Bu Kepala Sekolah. Tapi kok ada yang aneh," bisik mereka. "Kayaknya roknya melorot deh."
"Masa sih?" timpal yang lain sambil ikut-ikutan melongok ke jendela.
Mama mempercepat langkahnya. Ia pasti panik! Aku sampai bisa melihat keringat merembes di punggung kemejanya.
"Wuih bener roknya melorot!" seru seorang murid. "Tuh lihat pantatnya keliatan!"
Mama sudah mencapai kelas XII sebelum murid-murid di belakangnya tambah ramai. Napasnya tersenggal.
"Gimana Ma? Seru?" tanyaku sambil menepuk pundaknya. "UKS masih jauh tuh."
"Anak kurang ajar kamu!" jerit Mama. Sadar kalau dirinya lagi di teras sekolah, ia memelankan suaranya. "Ini lebih memalukan daripada di pasar."
"Ayo jalan lagi." Kutampar pantatnya. "Kecuali Mama mau pantat Mama dilihat murid lain."
"Mama mau ambil napas dulu," kata Mama. Keningnya berkeringat.
"Lumayan 'kan sekalian olahraga," kataku.
Setelah napasnya mulai teratur, Mama lanjut melangkah. Kelas terakhir tinggal beberapa langkah di depan.
Saat hampir mencapai kelas XII, tiba-tiba pintu terbuka. Bu Ramadhan, guru bahasa inggris, keluar dari kelas. Ia menutup hidungnya dengan sapu tangan dan bersin-bersin. Ia menatap Mama yang berdiri di depannya. "Aduh Bu, kebetulan sekali ketemu Ibu di sini. Saya mau izin pulang duluan karena badan saya lagi gak sehat."
Mama menggangguk. "Oke, Bu Ramadhan boleh istirahat di rumah."
Bu Ramadhan mengamati Mama dengam pandangan heran. "Kayaknya ibu juga tidak enak badan seperti saya."
Mama terbatuk-batuk kecil. "Be-benar, saya juga lagi gak enak badan."
Mama menarik bagian bawah kemejanya untuk menyembunyikan memeknya dari Bu Ramadhan.
"Saya ada urusan penting," kata Mama sambil melewati Bu Ramadhan.
"Bu Kepala Sekolah, tunggu dulu!" seru Bu Ramadhan.
Mama berhenti, ia membalik badan. "Ya, ada apa lagi Bu?"
Bu Ramadhan membenarkan posisi kacamatanya. "Rok Ibu melorot sampai pantatnya menongol begitu. Sebaiknya Ibu benarkan dulu rok Ibu sebelum dilihat orang lain."
"Ups, maaf saya gak perhatikan. Kancing rok saya rusak dan saya gak sadar kalau udah melorot," ujar Mama berpura-pura kaget. Ia menaikkan roknya sampai menutupi pantat. "Terima kasih sudah diberitahu."
"Sama-sama Bu. Hati-hati jangan sampai kelihatan anak-anak sini."
Bu Ramadhan tersenyum saat berpapasan denganku. "Ingetin ibunya kalau celananya melorot lagi," katanya.
Begitu Bu Ramadhan menghilang dari pandangan, kucubit pantat Mama. "Siapa yang suruh Mama naikin rok? Ayo turunin lagi."
Mama menurunkan roknya lagi.
"Turunin lagi sampai lutut Mama," kataku.
"Apa! Ini udah cukup! Jantung Mama udah mau copot tadi!" seru Mama.
"Jadi Mama menolak?" Aku menantangnya.
Mama membungkuk. "Oke kalau itu mau kamu."
Ia menurunkan rok dan sempaknya sampai ke lutut. Ikat pinggangnya dikencangkan di lutut supaya roknya tidak jatuh.
"Puas kamu?" ujar Mama. Kedua matanya sembab.
Aku mengacungkan jempol. "Begini 'kan enak dilihat."
Mama mengetuk pintu UKS. Tak beberapa lama kemudian, pintu terbuka dan Bu Fatimah kaget melihat Mama.
"Waduh, kok roknya melorot begitu Bu? Ayo cepet masuk!" seru Bu Fatimah.
Sayangnya pintu langsung tertutup saat Mama melangkah masuk. Aku cuma bisa menguping pembicaraan di dalam UKS.
"Bu Kepala Sekolah kenapa penampilannya begitu?" suara Bu Fatimah terdengar marah.
"Ta-tadi pagi perut saya gatal. Jadi saya oles krim biar gatalnya reda," suara Mama terbata-bata.
"Tetep gak pantes dilihat murid-murid lain. Untung aja lagi pada belajar. Kalau ada yang lihat gimana?"
"Saya tadi cepet-cepet jalan biar gak ada yang lihat."
"Ibu memang kepala sekolah di sini dan saya sangat menghormati ibu. Saya tidak mau nama ibu dan sekolah ini tercoreng cuma karena krim gatal."
"Maafkan saya. Saya janji gak bakal mengulanginya lagi,"ujar Mama. "Omong-omong dimana peralatannya?"
"Ibu benerin dulu roknya, baru kita bicarain peralatan yang udah datang."
Terdengar suara ritsleting yang dinaikkan.
"Ini peralatannya," ujar Bu Fatimah.
Mereka kemudian membicarakan peralatan kelengkapan UKS. Aku berhenti menguping karena topiknya membosankan.
Aku tersenyum-senyum mengingat wajah Mama yang panik saat "pameran berjalan" tadi. Itu baru pameran memek, belum pameran yang lain.
Begitu Mama keluar dari ruangan nanti, petualangan lain segera menanti.
ns 15.158.61.48da2