Mobil bergerak keluar dari lapangan parkir sekolah. Sesuai kebiasaan, Mama menurunkan kaca untuk mengucapkan terima kasih ke Pak Paijo. Begitu ban menyentuh aspal jalan besar, Mama langsung tancap gas. Mobil melesat meninggalkan sekolah.
Bagian dalam mobil terasa sejuk. Rupanya Mama sudah memperbaiki AC mobil. Aku agak kecewa karena sebenarnya aku mau meminta Mama membuka kancing seragamnya lagi kalau dia kepanasan.
Perjalanan ke pasar cukup jauh dan Mama tidak bisa terus melaju karena beberapa kali harus berhenti karena ada bebek atau sapi menyeberang jalan. Sebagian jalan belum diaspal sehingga mobil terguncang-guncang karena menginjak bebatuan.
Setelah melewati banyak hambatan, akhirnya kami sampai di pasar. Tempat itu satu-satunya tempat teramai di desaku. Semua orang, baik dari desa lain maupun kota, datang ke sana untuk berbelanja karena barang-barangnya lebih lengkap dan harganya murah.
Seorang tukang parkir membantu Mama mengarahkan mobil ke tempat parkir. Setelah berhasil memarkir mobil, Mama mematikan mesinnya. Kami keluar dari mobil bersamaan.
Begitu di luar, Mama membenahi jilbabnya agar wajahnya tidak terkena sinar matahari. Ia cepat-cepat berlindung ke sebuah bangunan kecil. Mama memang tidak suka kepanasan.
Dari bangunan itu, kami berjalan lurus dan belok ke kanan. Kami tiba di deretan ruko yang menjual berbagai macam peralatan dapur, handphone, peralatan tani, dan pakaian.
Kami masuk ke salah satu toko pakaian. Lantai bawah toko itu menjual berbagai macam pakaian pria, wanita, dan anak. Pakaian dalam wanita diletakkan di bagian belakang, berdekatan dengan ruang ganti. Mungkin biar pembeli tidak repot-repot membawa pakaian dalam untuk dicoba.
Mama melihat-lihat pakaian dalam wanita yang dipajang. Ia mengambil sehelai sempak berwarna putih tebal, lalu menunjukkannya kepadaku.
"Menurutmu gimana?" tanya Mama.
"Modelnya kuno," kataku.
"Mama gak pentingin model, yang penting pas," kata Mama.
"Sesekali pakai yang modelnya kekinian dong, biar Papa juga senang lihatnya," kataku.
Mama menyibak sempak-sempak wanita yang di gantungan pakaian. Ia mengambil sehelai sempak yang lebih tipis dari sebelumnya, tapi lingkar pinggangnya lebar.
Aku mengacungkan jempol. "Nah itu keren!"
Mama mengambil tiga sempak yang modelnya sama, tapi berbeda warna. Sekarang ia mencari beha yang sesuai.
Aku membantunya memilih beha. Dasar Mama yang memang kuno, semua beha yang dia pilih modelnya kuno semua. Aku memilih beha yang bahannya tipis, bahkan ada yang transparan. Mama menerimanya tanpa banyak tanya.
Mama membawa beha dan sempak pilihanku ke kamar ganti. Ia menggeser gorden sampai tertutup. Aku menunggunya di depan kamar ganti sambil membaca Facebook.
"Gimana Ma, cocok gak?" tanyaku.
"Gak tahu nih, Mama baru pertama kali pakai beginian," sahut Mama dari dalam ruang ganti.
Aku mendapat ide.
"Gordennya buka aja Ma, biar aku lihat," kataku.
Gorden bergeser ke samping, memperlihatkan Mama yang cuma memakai kemeja dan sempak baru. Sempak itu begitu tipis sehingga aku bisa melihat belahan memeknya yang menerawang.
"Gimana menurutmu?" tanya Mama.
"Coba Mama berbalik," kataku.
Mama berbalik. Sempak itu nyaris tenggelam di belahan pantatnya yang besar dan padat.
"Gimana?"
"Oke kok Ma," kataku. Tanganku bergetar karena menahan keinginan untuk meremas pantatnya.
"Mama mau ganti yang lain," kata Mama. Tangannya bergerak hendak menutup gorden.
Aku buru-buru mencegahnya. "Ma, mendingan gordennya tetep dibuka aja. Jadi aku bisa nilai Mama."
Mama melirik ke pelayan toko yang berdiri agak jauh. Pelayan itu sedang mengobrol dengan pelayan lainnya.
"Nanti kelihatan mereka," kata Mama.
"Terus kenapa? Mereka sama-sama cewek. Kalau Mama takut, nanti aku kasih tahu kalau mereka mendekat."
"Oke deh. Beneran awasin mereka ya," kata Mama.
Mama menghadap cermin lebar di ruang ganti. Ia berusaha meraih kait behanya, tapi kedua tangannya tidak sampai. Ia menatapku malu-malu. "Boleh minta tolong lagi?"
Aku dengan senang hati membantu Mama. Kulepas kait behanya, lalu kucantolkan di tiang luar. "Beha Mama biar aku yang pegang. Mama gak usah pakai beha ini dulu, biar gampang pakai yang lain."
Mama mengambil beha lain, lalu memasangnya di teteknya. Aku bersiul pelan saat melihat kedua teteknya di pantulan cermin. Mau dilihat dari sisi mana pun, tetek Mama tetap bikin nafsu.
"Tolong pasangin dong," pinta Mama.
Kedua tanganku maju untuk mengaitkan behanya. Mama mengangguk puas. "Yang ini Mama ambil deh. Ukurannya pas."
Ia berlama-lama bercermin sambil bergaya. Beha itu bahannya transparan sehingga pentilnya membayang. Ritsleting celanaku menonjol lagi.
Kubantu ia melepas beha lagi. Saat kait terlepas, beha itu meluncur ke depan. Tanganku refleks bergerak menahannya dari belakang. Namun, aku kalah cepat sehingga beha itu jatuh ke lantai, sementara tanganku malah menyenggol pentil Mama.
"Eh!" Aku dan Mama tersentak kaget.
"Sorry Ma!" Aku buru-buru minta maaf.
"Gak apa-apa," kata Mama.
Walau cuma sekilas, gumpalan kenyal yang menempel di tanganku tadi masih membayangi pikiranku.
Mama mencoba beha lainnya, kali ini yang modelnya sports bra. Aku sengaja memilihkan yang lebih ketat supaya kedua teteknya semakin menonjol.
Ia menggelengkan kepala. "Ini bahannya nyaman, tapi terlalu ketat."
"Ini memang harus ketat. Kalau longgar bakal jelek dilihat," jelasku.
"Menurutmu dari depan gimana?" Mama membalikkan badan ke arahku. Kedua teteknya yang terbungkus sports bra berada tepat di depan wajahku.
"Ini oke banget Ma, tapi ada cara pakainya biar lebih oke," kataku.
Mama memandangku heran. "Kok kamu tahu banyak soal pakaian dalam cewek?"
Aku tersipu malu. "Aku 'kan udah gede Ma. Kadang-kadang lewat informasinya di Youtube atau Facebook."
Mama menoyorku. "Kamu yang sengaja nyari kalik. Terus gimana cara pakainya biar lebih oke?"
“Begini caranya.” Kutarik bagian depan sports bra itu ke bawah. Kedua tetek Mama langsung menyembul keluar.
“Masa pentilnya harus kelihatan begini?” tanya Mama.
“Yang penting bagian bawah tetek Mama tertahan beha. Pentil yang kelihatan justru bagus karena kulit Mama bisa bernapas,” kataku. Tentu aku cuma mengasal saja. Mataku menatap kedua pentilnya yang mengacung di depan wajahku.
Mama menggaruk-garuk kepalanya. “Kayaknya Mama harus banyak belajar dari kamu deh.”
“Ma, aku boleh minta sesuatu gak?” tanyaku.
“Apa itu, Nak?”
“Aku boleh selfie sama Mama?” Permintaanku memang terdengar kurang ajar, tapi ini sudah kepalang tanggung. Jarang-jarang dapat kesempatan seperti ini.
“Nanti ya kalau udah selesai belanja,” kata Mama.
“Bukan nanti Ma, tapi sekarang. Mama seksi bener kalau teteknya kelihatan, jadi pengen selfie di sebelah tetek Mama.”
Mama terdiam sebentar. “Ada-ada aja permintaanmu.”
“Boleh gak, Ma?”
Mama menghela napas panjang. “Ya boleh. Sebagai tanda terima kasih karena sudah menemani Mama belanja dan ngasih saran.”
Seluruh tulangku rasanya mau copot karena lega Mama tidak marah.
Kupeluk Mama dari samping. Tangan kiriku memegang pinggangnya yang lunak. Kutempel pipiku di samping tetek kanan Mama. Pentilnya cuma berjarak beberapa milimeter dari mulutku. Betapa dekatnya surga! Tapi aku belum berani asal mengenyot pentilnya.
Kuarahkan kamera smartphone ke wajahku dan Mama. Tetek Mama saking besarnya sampai nyaris memenuhi layar smartphone. Aku dan Mama tersenyum ke kamera, lalu CEKREK! Aku mengambil sebelas foto selfie.
“Aseli, Mama cantik bener. Berasa foto bareng artis,” kataku sambil melihat-lihat hasil foto.
“Kamu makin jago ngerayu aja,” kata Mama sambil menoyorku lagi. “Yuk terusin lagi coba-coba pakaiannya nih biar gak terlalu sore. Mama udah laper.”
Mama mencoba-coba beberapa pakaian dalam lainnya. Dia mengambil sempak dan beha yang modelnya serupa dengan yang aku pilih. Setelah yakin dengan pilihannya, ia pun membayar ke kasir.
Kami keluar dan ruko, lalu berjalan menuju lapangan parkir. Di tengah jalan, Mama berbelok menuju toilet umum.
“Mama mau kencing dulu,” kata Mama.
Aku juga mau kencing, jadi aku mengikuti Mama.
Meski jaraknya dekat, kami harus bersusah payah melewati kerumunan orang di depan deretan ruko. Kemeja Mama sampai basah kuyup, terutama di punggung dan ketiaknya.
Toilet umum berada di sudut terdalam pasar. Lorong-lorongnya agak sepi karena pedagang memilih berjualan di ruko atau di depan ruko yang banyak orang daripada di dalam pasar. Di lorong itu cuma ada beberapa pedagang sayur dan ikan.
Seorang bapak berbadan gemuk sedang duduk sambil menghitung uang di depan toilet umum. Di sebelahnya ada meja kecil yang di atasnya ada kaleng berisi uang receh dan kertas bertuliskan:
KENCING 1000
BOKER 2000
MANDI 5000
Ada lima bilik toilet dan tidak dibeda-bedakan antara pria dan wanita. Ventilasi toilet begitu lebar sampai suara di setiap bilik terdengar. Baik pria dan wanita bebas mau pakai toilet yang mana. Mama memilih toilet di ujung dan aku di toilet sebelahnya.
Lagi enak-enak kencing, Mama memanggilku dari sebelah.
“Nak, bantuin Mama dong.”
Aku buru-buru mengancingkan celana. “Bantuin apa Ma?”
“Mama jadi kebelet boker. Di sini gak ada cantolannya. Bantuin pegangin rok sama sempak Mama. Roknya jangan ditaruh sembarangan, nanti kotor.”
Aku keluar dari toilet. Pintu toilet Mama terbuka sedikit, Tangan Mama yang memegang rok dan sempak keluar dari balik pintu. Aku menerimanya. Pintu toilet tertutup lagi.
Di dinding luar toilet, ada cantolan bersih. Rok dan sempak Mama kucantolkan di situ. Sambil menunggu Mama, aku bermain game di smartphone.
Selintas ide nakal lewat di kepalaku. Ide nakal yang cukup berani, tapi sangat berisiko.
Kuambil rok dan sempak Mama dari cantolan, lalu kugulung. Di belakang toilet umum, ada tembok yang memisahkan wilayah pasar dengan jalan raya. Aku mencari pijakan supaya bisa mengintip ke balik tembok. Sesuai harapanku, banyak sampah bertebaran di bawahnya. Kumasukkan tangan ke saku roknya. Ada uang Rp200.000 dan kunci mobil yang langsung kuambil. Seingatku dompet Mama ditaruh di mobil dan dia membawa uang secukupnya saja.
Setelah selesai memeriksa rok Mama, rok dan sempaknya kulempar ke tumpukan sampah.
Kuintip bapak penjaga toilet dari tepi dinding. Bapak itu masih menghitung uang. Setelah uang di tangannya selesai dihitung, ia menaruhnya ke laci meja dan menguncinya. Kemudian ia bangkit dari kursinya, lalu pergi.
Semua berjalan sesuai rencana. Aku segera masuk kembali ke toilet di sebelah Mama. Pintu sengaja aku banting biar Mama mendengarnya.
“Nak, kok ke toilet lagi?” tanya Mama dari sebelah.
“Kebelet boker,” jawabku.
“Rok sama sempak Mama gimana?”
“Ada di cantolan depan.”
Terdengar suara guyuran air.
"Mama udah selesai nih. Minta tolong ambilin rok sama sempak Mama dong," sahut Mama.
"Aku belum selesai Ma. Ambil sendiri aja di depan. Sepi kok," kataku.
Terdengar suara pintu terbuka.
"Nak, rok sama sempak Mama kok gak ada?"
"Masa sih?" Aku berusaha terdengar kaget.
Kuguyur kakus agar Mama mengira aku sudah selesai buang air besar. Aku keluar dari bilik toilet. Kepala Mama menyembul dari bilik toiletnya. Wajahnya panik.
"Waduh kok hilang?"
"Kamu yakin tadi gak ada orang?" tanya Mama.
"Yakin banget Ma."
"Coba tanyain penjaga toilet dong," kata Mama.
Aku menoleh ke tempat penjaga toilet. Orang itu belum balik dari urusannya.
"Gak ada orang Ma," kataku.
"Yah gimana ini. Mana jam tiga nanti Mama mau rapat di Zoom," keluh Mama.
"Ah aku tahu caranya," kataku.19715Please respect copyright.PENANA1c8pmu4cMb