Keesokan harinya aku mendatangi Bagas di rumahnya. Ia melongo saat kuceritakan pengalamanku bersama Mama dan kutunjukkan rekaman-rekamannya.
"Gilaaaaaaa!" Itu saja komentarnya saat melihat rekaman terakhir. Ia mengulang rekaman-rekaman itu dari awal.
"Gak nyangka ya? Hahahahaha!" Aku terbahak.
Bagas memberikan smartphone-ku. "Hebat juga kamu bisa bikin malu ibumu sampai sebegitunya."
Kusandarkan punggungku ke sandaran kursi. "Omong-omong mana ibumu?"
"Lagi belanja di pasar." Wajahnya terlihat lesu. Dari tadi ia selalu mengetuk jari telunjuknya ke permukaan meja seperti sedang gelisah.
"Ada masalah apa?"
Bagas menghela napas. "Denger-denger videoku nyebar keluar kampung. Waktu ibuku ketangkap warga, aku gak nyangka bakal ada yang bawa hape. Padahal kukira orang-orang sini masih banyak yang belum punya hape."
"Ya itu memang risiko kalau pamer di tempat umum sih." Aku jadi ikut lesu. Kepalaku berputar-putar memikirkan apa ada orang yang merekam Mama selain aku? Aku rasa tidak. Orang-orang sini masih mementingkan beras daripada smartphone. Cuma orang-orang dengan ekonomi cukup saja yang mampu membeli smartphone sepertiku.
"Jadi apa rencanamu kalau berita ini semakin nyebar?" tanyaku.
"Kalau cuma jadi bahan gosip sih gak apa-apa ya, toh tetangga-tetangga sini juga pada tahu kelakuan ibuku. Masalahny itu kalau kepolisian ikut campur." Bagas meluruskan kedua kakinya. "Mungkin aku dan ibuku harus kabur dari sini."
"Tapi bagaimana caranya kamu tahu seandainya ada polisi mau ke sini?"
"Aku punya saudara polisi. Dia pasti bakal ngasih tahu kalau ada yang mau datang kemari," jawab Bagas. "Beberapa hari ini aku harus lebih waspada. Ibuku sudah gak pernah kusuruh telanjang di tempat umum lagi. Dia kukentot di rumah saja."
"Kamu ada rencana mau kabur ke mana?"
"Entahlah. Tapi bapakku punya rumah kosong di desa lain. Aku ada kuncinya. Mungkin aku bakal ke sana kalau terjadi apa-apa."
Kami terdiam cukup lama, setelah itu aku pamit pergi. Sebelum pergi, Bagas memintaku untuk lebih waspada saat mau memamerkan Mama. Aku mengiyakan dan berjanji bakal lebih berhati-hati.
Aku mengebut menuju rumah. Selama perjalanan, aku terus memikirkan apa yang bakal terjadi seandainya polisi benar-benar datang ke rumahnya. Mungkinkah dia bakal memberitahu kalau bukan cuma dia yang melakukan perbuatan bejat itu? Ah, aku rasa tidak. Dia melakukan itu sendirian, begitu pula aku. Meski kami sama-sama nakal, tapi kami melakukan kenakalan itu sendiri-sendiri.
Mendekati desaku, aku melihat beberapa orang yang sedang membangun tenda-tenda di lapangan sebelah jalan besar. Beberapa mobil bermuatan berbagai macam barang diparkir di pinggir jalan. Aku jadi ingat kalau ada pasar malam yang bakal dibuka malam ini.
Aku tersenyum. Ini saatnya melatih Mama lagi!
"Assalamualaikum!" ujarku saat masuk ke ruang tamu.
"Waalaikumsalam," jawab Mama. Ia sedang menyapu ruang tamu. Mama cuma mengenakan kaus pendek tanpa pakai celana. Pantat telanjangnya bergoyang-goyang setiap kali ia menyeret debu lantai dengan sapu.
Kuselipkan jari telunjukku ke belahan pantat Mama, lalu kucium lehernya. "Malam ini kita latihan lagi ya."
"Kamu sudah baca berita hari ini?" tanya Mama sambil terus menyapu.
"Di kampung sebelah ada ibu-ibu yang ketahuan telanjang di jalan. Beritanya sudah menyebar di website berita lokal."
"Oh ya?" Aku pura-pura terkejut. "Berarti ada orang mesum selain Mama dong."
Mama berhenti menyapu. Ia menatapku dalam-dalam. "Nak, kamu harus hati-hati. Bisa saja perbuatan kita menyebar kalau ada yang rekam kita. Kalau itu terjadi, apa kata Ayahmu? Dan gimana nasib kita?"
Seingatku, cuma Indra yang punya rekaman Mama waktu Mama ikut jalan santai sekolah, selain itu tidak ada.
Kuelus rambut Mama untuk menenangkannya. "Aku pastikan itu gak terjadi. Orang-orang sini masih jarang yang punya hape."
Jariku berpindah ke depan dan menelusup ke dalam memeknya. Mama mencengkeram gagang sapu kuat-kuat.
"Nanti malam ada pasar malam nih," kataku. "Mama latihan lagi ya."
"Tapi di sana bakal banyak orang." Paha Mama bergetar. Jariku masuk ke memeknya semakin dalam.
"Pelan-pelan Mama bakal dilihat banyak orang." Cairan memeknya mengalir di jariku.
Kudorong pundak Mama ke dinding. Kedua tangannya refleks menekan dinding di depanny.
"Mendingan kita santai dulu buat petualangan nanti malam," kataku sambil menurunkan celanaku. Batang kontolku menjulur keluar. Kukocok kebanggaanku itu supaya mengeras.
"Pantatnya dinaikin dikit dong biar enak ngentotnya," kataku.
Mama menaikkan pinggulnya. Kedua tangannya masih berpegangan ke dinding.
Kuarahkan kepala kontolku ke lubang memeknya yang sudah basah. Pelumas alami itu bikin batang kontolku menerobos mulus ke rahimnya.
"Hmmmmmmm!" erang Mama saat kontolku mentok di rongga memeknya.
Memek Mama berkedut-kedut memijat batang kontolku. Pikiranku serta merta terbang tinggi. Napasku memburu, begitu pula napas Mama.
Perutku memantul di pantat Mama saat kupompa memeknya dari belakang, menciptakan suara seperti tepuk tangan. Plak! Plak! Plak! Plak!
"Memek Mama terbaiklah!" Aku berseru sambil meraih rambut Mama. Ia mengerang saat rambutnya kutarik sampai kepalanya mendongak.
Plak! Plak! Plak! Plak!
Kontolku semakin mengeras, rasanya seperti membeku. Memek Mama dibanjiri cairan kental bening. Sepertinya Mama mau orgasme.
"Aku mau crot nih!" Kupompa memeknya sekencang mungkin. Kedua tangan Mama mencengkeram dinding kuat-kuat sampai permukaan dinding itu mengelupas.
"Ugh!" Mama mengerang.
Pejuhku menyembur deras di rahim Mama. Bongkahan pantatnya mengencang, lalu pelan-pelan melunak kembali. Cairan kami menetes di lantai.
Kucabut kontolku dari memeknya. Lubang kontolku masih menyemprotkan sisa-sisa pejuh. Kutempelkan kepala kontol yang belepotan pejuh itu ke pantat Mama. Pejuh itu menempel di pantatnya seperti lem menempel di kertas.
Setelah orgasme, pikiranku jadi lebih enteng, begitu pula semua ketegangan di badanku. Mama mengambil tisu, lalu membersihkan sisa-sisa pejuh di kontolku yang loyo. Setelah bersih, aku masuk ke kamar untuk tidur siang.
Sayup-sayup aku masih mendengar suara Mama mengepel lantai ruang tamu sebelum aku terlelap.
ns 15.158.61.20da2