Tubuh Mama terlihat kecokelatan karena terpapar sinar matahari. Ia sesekali berjalan di bawah bayangan-bayangan pohon untuk supaya kulitnya tidak menggosong, lalu balik lagi ke rombongan agar yang lain tidak curiga.
Jalan setapak di depan terlihat bercabang. Rombongan kami mengambil jalur kiri yang akan membawa kami kembali ke sekolah.
"Ibu pakai krim apa ini?" tanya salah satu murid perempuan.
"Krim racikan dokter," jawab Mama.
"Baunya aneh ya. Kayak amis-amis gimana gitu," komentar murid perempuan lain.
"Namanya juga obat. Gak ada pewanginya," kata Mama.
Aku tersenyum mendengar penjelasan Mama. Ia benar-benar jago beralasan.
Murid perempuan lain datang tergopoh-gopoh ke Mama.
"Bu, tadi saya lihat ada rombongan anak kecil di sana. Ibu sebaiknya tutup aja deh biar gak bikin pengaruh buruk ke mereka," jelas murid itu.
"Gak usah, mereka juga belum ngerti apa-apa," kata Mama.
Benar saja. Kami berpapasan dengan rombongan bocah laki-laki berjumlah empat orang. Mereka membawa layangan dan kantong plastik berisi kelereng.
"Wih ada ibu-ibu telanjang," seru salah satu bocah itu. Mereka terpaku menyaksikan kami lewat.
Mendadak aku mendapat ide cemerlang.
"Ma, beri mereka hiburan dong," kataku.
"Hiburan apa?"
"Jelasin bagian tubuh Mama ke mereka," kataku. "Tapi tunggu rombongan ini menjauh dulu biar guru-guru gak curiga. Ita berhenti saja sekarang."
Kami berhenti mengikuti rombongan. Murid-murid mengamati kami, berbisik-bisik, lalu meninggalkan kami.
"Mungkin mereka mau ciuman kalik." Aku mendengar salah satu dari mereka berkata begitu. "Siapa tahan lihat cewek teteknya gede gitu. Kalau itu ibu kandungku, pasti sudah aku sikat."
Setelah rombongan sekolah cukup menjauh, aku menoleh ke Mama. "Yuk beri mereka pelajaran biologi."
Anak-anak itu bingung menatap Mama.
"Assalamualaikum anak-anak," sapa Mama dengan nada ramah.
"Walaikumsalam," sahut anak-anak itu bersamaan.
"Kalian tahu saya siapa?" tanya Mama.
Hampir semua anak menggeleng, kecuali satu anak.
"Ibu bukannya kepala sekolah SMA deket sini?" tanya anak itu.
"Pinter. Kok kamu tahu?"
"Kakakku sekolah di situ," jawab anak itu.
"Siapa namamu?" tanya Mama sambil mengelus rambut anak itu.
"Iqbal," jawab anak itu lagi.
"Nah Iqbal, sebagai kepala sekolah, saya harus mendidik kalian supaya tahu bagian-bagian tubuh perempuan. Jadi kalian gak kaget kalau sudah besar nanti," ujar Mama.
Anak-anak itu mengangguk mendengar Mama. Mata mereka terus menatap tetek dan memek Mama.
Mama duduk di sebuah batu besar.
"Kalian tahu ini namanya?" Mama menunjuk ke pentilnya.
"Tetek!" seru mereka.
"Nah pinter. Tapi nama aslinya payudara. Ukurannya bisa lebih besar kalau saya lagi hamil karena payudara ini penuh berisi susu," jelas Mama.
"Memangnya Ibu lagi hamil?" tanya Iqbal. "Teteknya udah gede gitu."
Mama tersenyum. "Saya gak hamil dan ukuran payudara saya memang besar."
"Tetek ibuku juga besar, tapi gak segede itu," kata salah satu anak.
"Ukuran payudara memang beda-beda. Gak bisa disamakan," jelas Mama.
"Omong-omong, apa aku boleh pegang tetek Ibu?" tanya Iqbal malu-malu. "Kok teteknya lucu."
Mama menatapku. Aku mengangguk.
"Boleh saja. Kalian boleh gantian memegang payudara Ibu," kata Mama.
Iqbal yang pertama memegang tetek Mama. Awalnya ia ragu-ragu mau menyentuh, lalu ia mengusap tetek Mama. Wajahnya terlihat senang.
"Kenyal kayak adonan tiwul," ujarnya.
Anak-anak lain bergantian memegang tetek Mama. Mereka setuju dengan penilaian Iqbal. "Bener, kayak adonan tiwul."
"Ini kalau ditarik sakit gak?" tanya Iqbal. Jari telunjuknya menutul pentil Mama.
"Bo-boleh saja," ujar Mama.
Jari telunjuk dan jempol Iqbal menjepit pentil Mama, kemudian menariknya.
"Aduh!" pekik Mama tertahan.
Iqbal melepas jepitannya. Wajahnya ketakutan. "Ibu gak apa-apa?"
"Gak apa-apa. Tapi pelan-pelan nariknya ya," kata Mama.
Iqbal mengulangi tindakannya. Kali ini ia menarik pentil Mama pelan-pelan. Aku tertawa dalam hati melihat pentil Mama yang memanjang.
"Kayak karet," komentar Iqbal. Jari-jarinya kini bergerak memelintir pentil Mama.
"Ugh!" desah Mama.
"Eh Ibu senang diginiin?" tanya Iqbal. Pelintirannya semakin cepat.
"Cuma geli," ujar Mama. Kedua matanya setengah terpejam.
"Gantian dong!" protes yang lain.
Iqbal pun mundur supaya teman-temannya bisa ikut memegang pentil Mama.
"Pertama kalinya aku megang pentil cewek," ujar temannya. "Asik juga ternyata."
Mama memejamkan mata saat anak-anak itu menarik pentilnya. Tampaknya ia mulai menikmati sensasi yang diberikan anak-anak polos itu.
Tanpa disuruh, Iqbal melebarkan kedua telapak tangannya, lalu menempelnya ke kedua tetek Mama. Ia meremas tetek Mama. Gerakannya lembut. Rupanya ia berinovasi sendiri.
"Aduh enak banget," desah Mama. Perutnya kembang kempis.
"Ajarin ini dong Bu," kata Iqbal. Ia menunjuk ke memek Mama. Teman-temannya mengiyakan.
"Ini namanya vagina," kata Mama. Ia melebarkan memeknya sampai rongganya yang merah muda terlihat. Anak-anak itu memandang takjub keindahan di depan mereka.
"Selain untuk buang air kecil, ini juga untuk melahirkan," lanjut Mama.
"Kalau itu sih aku juga tahu," sahut seorang anak yang berbadan paling besar. "Itu juga tempat buat anak."
Anak-anak lain memandangnya kagum. "Wah Ojan pinter juga."
"Itu aman gak kalau dimasukin jari?" tanya Iqbal penasaran.
"Aman selama jari kalian bersih," jawab Mama.
Anak-anak itu memandangi tangan mereka masing-masing.
"Tangan kami bersih. Boleh pegang memek Ibu juga gak?" tanya yang lain.
"Bo-boleh. Ini buat pelajaran kalian," kata Mama.
"Buka lebar lagi dong biar bisa lihat lebih jelas," pinta Ojan.
Kedua tangan Mama membuka memeknya lebih lebar lagi. Mama sampai meringis. "Nih, udah jelas belum?"
"Udah Bu. Mantap deh," ujar anak lain.
"Aku mau pegang duluan," kata Ojan. Anak itu menjulurkan tangannya ke memek Mama. Ia menempel telapak tangannya, lalu mengelus bibir memek Mama.
"Agak basah ya. Ini air kencing?" tanya Ojan.
"Bu-bukan. Vagina memang selalu basah biar biar lubangnya gak kering," jawab Mama. Napasnya mulai memburu.
"Dalamnya kayak apa ya." Ojan memasukkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke memek Mama. Otot perut Mama langsung mengejang.
"Pelan-pelan," rintih Mama.
Ojan memandang Mama dengan takut. "Beneran gak apa-apa nih?"
"Gak apa-apa asal pelan-pelan."
Anak itu memasukkan jarinya lebih dalam ke memek Mama. Kedua kaki Mama mengejang. Tangannya mencengkeram batu yang didudukinya.
"Wih keren, jariku bisa dijepit!" seru Ojan kegirangan.
"Aku juga mau coba!" seru anak lain. Ia berusaha menarik tangan Ojan, tapi Ojan langsung menepisnya. "Yang sabar dong Abdul. Gantian kayak yang lain."
Anak yang dipanggil Abdul itu memasang muka cemberut. "Tapi jangan lama-lama. Penasaran nih."
Ojan memutar jarinya. Mama melenguh nyaring. Kening Mama bercucuran keringat.
"Hihihihi perutnya naik turun," komentar Iqbal. Anak itu mengusap-usap udel Mama. "Aku sering mainan udel ibuku di rumah. Gak tahu kenapa kok rasanya asik."
"Kalau aku sih sering ngintip ibuku mandi," kata anak satunya yang berbadan paling kurus. "Burungku langsung gede kalau abis lihat ibuku mandi."
"Oh jadi kau juga suka ngintip ibumu mandi, Amir? Aku juga suka sih,", sahut Abdul.
Amir mengangguk. "Yang ngintip gak cuma aku. Kakakku juga suka ngintip ibuku."
Aku kagum memerhatikan obrolan keempat anak itu. Mereka sudah punya bibit-bibit incest. Tinggal dipoles, pasti mereka bisa lebih hebat dariku atau Bagas.
"Bu, burungku jadi bengkak nih," kata Ojan sambil menunjuk ke celananya. "Rasanya sakit sekali."
"Iya, burungku juga jadi bengkak." Iqbal mengintip ke sela-sela celananya. "Selalu begini setiap lihat ibu-ibu."
Kedua anak lain juga menyuarakan keluhan yang sama.
"Oke, kalau gitu buka celana kalian," kataku. "Kita akan belajar cara berkembang biak."
ns 15.158.61.8da2